Prof Dr Samsul Nizar, Guru Besar dan Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN), Bengkalis, Sumatera, Indonesis  menulis:

Pepatah mengatakan “mulutmu adalah harimaumu”. Sebuah nasihat leluhur agar bijak menggunakan lidah dalam membuat pernyataan tertentu. Sebab, terkadang pernyataan positif yang dikeluarkan secara “boros” pada masyarakat umum menyimpan maksud untuk “menyembunyikan kebalikan” atas apa yang diucapkan atau polesan logika keshalehan untuk menutupi perilaku kesalahan.

Demikian pula penggunaan lidah (mulut) menilai seseorang dengan “goresan tuduhan fitnah yang tajam” menunjukkan kebiasaan perilaku sang penilai atas tuduhan yang dilakukan. Sebab, hanya para pelaku yang tahu atas suatu perilaku yang dituduhkan biasanya dengan mudah memberikan tuduhan yang sama atas perilakunya.

Bak pedasnya rasa cabai, tentu yang tahu pedasnya hanya bagi yang pernah makan cabai. Acapkali penilai memberikan penilaian tapi dirinya tak pernah berada pada posisi yang dinilai.

Logika terbalik justeru perlu digunakan untuk melihat sesuatu fenomena dunia yang sedang terbalik.  Mungkin judul tayangan seri “Dunia Terbalik” di TV menunjukkan fenomena terbalik yang sedang terjadi dan perlu ditelusuri dengan menggunakan logika terbalik pula. Dengan menggunakan logika terbalik, terkadang banyak hal boleh dilihat berkorelasi (berkait) secara lurus.

Namun, tak semua persoalan menggunakan logika lurus (merujuk aturan normatif/lazim) mampu menghasilkan hasil yang lurus. Bahkan  terkadang, norma dilevel bawah secara jelas bertentangan dengan norma dilevel atas tetap terjadi dan dijadikan dasar atas “logika kepentingan”.  Sungguh dunia benar terbalik atau manusianya yang sudah terbalik-balik.

Banyak fenomena terbalik yang terjadi. Berbuat kebaikan acapkali dicurigai dan tak mendapat simpati. Namun, tindakan melawan hukum terkadang kurang diperhatikan dan dianggap “begitu zamannya”. Bila hal ini terjadi, bilakah dunia akan berjalan secara normal? Atau ketidaknormalan merupakan tujuan yang normal.

Kebaikan bukan untuk dipamerkan, sebab akan memunculkan sifat ingin dihormati. Padahal, Rasulullah SAW pernah memberikan bahaya mempamerkan kebaikan. Hal ini terlihat pada hadis dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda : “Ada tujuh  golongan yang akan dinaungi Allah SWT dalam naungan-Nya pada hari yang tidak ada naungan selain naungan-Nya. Di antaranya, seorang yang mengeluarkan suatu sedekah, tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diberikan oleh tangan kanannya” (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadis di atas sangat dalam maknanya. Konteks tangan kanan dan tangan kiri secara filosofis dapat dimaknai sebagai kebaikan (positif) dan keburukan (negatif). Kebaikan yang ditonjolkan jangan sampai menghilangkan keikhlasan, apatah lagi dilakukan untuk menutupi keburukan.

Meski terkadang publikasi kebaikan diperlukan untuk memberi motivasi pada orang lain melakukan kebaikan-kebaikan lainnya.  Logika yang disampaikan lidah terkadang sungguh tajam, melampaui tajamnya sebilah pisau. Kepiawaian lidah “menari” dengan suguhan logika layaknya penjilat dan sosok “berpintar-pintar” di dunia terbalik sangat “menjanjikan”.

Anehnya, logika seperti ini justeru lebih disenangi. Padahal, kata bijak pepatah petuah yang dititipkan memberi pesan bahwa “Tong Kosong Nyaring Bunyinya“. Teriakan kaum anti korupsi terkadang justeru pelaku korupsi. Teriakan keadilan justeru tidak adil. Teriakan berpikir universal justeru berpikir lokal. Teriakan persatuan justeru penyebab keretakan. Teriakan berpijak pada norma hukum justeru mengambil kebijakan menginjak norma hukum. Teriakan menjunjung tinggi hukum justeru (oknum) melanggar hukum. Teriakan kualitas justeru “kausalitas”. Teriakan janji justeru untuk diingkari. Teriakan teman justeru sebatas bila ada kepentingan.

Bahkan berbagai bungkusan teriakan-teriakan logika lurus lainnya, namun dalam realita sebenarnya menunjukkan logika terbalik. Untuk itu, kurangi teriakan, namun perbanyak bukti nyata dalam pengamalan.  Jika teriakan pepesan lebih dominan, di mana letak logika yang lurus yang dimiliki manusia sebagai makhluk yang katanya berbudaya ?

Andai, dunia fiktif “Pinokio” benar terjadi dalam dunia realitas saat ini, mungkin banyak hidung yang panjang dibanding hidung yang normal. Akankah dunia “Pinokio” akan menjadi dunia non fiksi baru logika lurus akan dihargai.

Melihat banyaknya persoalan, sungguh logika terbalik perlu diterapkan guna menjawab dunia yang sedang terbalik. Dengan menggunakan logika terbalik, banyak jawaban akan diperoleh atas persoalan yang ada.

 

Sumber: Logika dan Dunia yang Terbalik – Samsul Nizar (Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis), www.riaupos.jawapos.com

Translate »