Dalam beberapa ayat al-Qur’an terdapat sejumlah ayat yang menjelaskan tentang keburukan perilaku orang Yahudi dan kebenciannya terhadap orang-orang yang beriman. Semisal pada surah al-Maidah ayat 71-72 dan 82, al-Baqarah 120, dan Ali Imran ayat 100.
Banyak orang yang menggunakan ayat-ayat tersebut sebagai landasan pembenaran untuk membenci dan memusuhi Yahudi. Sebenarnya bagaimana hukum membenci Yahudi? Bolehkah orang Islam membenci kaum Yahudi?
Pakar tafsir al-Qur’an yang juga pengasuh Pondok Pesantren Bayt al-Qur’an-Pusat Studi al-Qur’an (PSQ) Jakarta, Ustaz Syahrullah Iskandar, menjelaskan dalam al-Qur’an terdapat surah al-Isra atau disebut juga surah bani Israel. Dinamakan demikian karena sembilan ayat pada awal surat itu berisi keterangan anugerah Allah SWT kepada bani Israel.
Surah al-Isra’ juga menjelaskan tentang pembinasaan dan penghancuran bani Israil karena perilaku dosa dan kerusakan yang dilakukannya. Ustaz Syahrullah menjelaskan, Allah menyandingkan pemuliaan Nabi Muhammad dengan peristiwa Isra’ pada ayat pertama dan pada ayat kedua berupa pemuliaan kepada Nabi Musa dengan kitab Taurat yang dibawanya sebagai tuntutan bagi bani Israel dari kebodohan dan kekufuran menuju cahaya ilmu dan iman.
Al-Qur’an menjelaskan tentang terminologi bani Israel. Menurut Ustaz Syahrullah, Bani Israil dinisbahkan kepada keturunan Nabi Yakub yang dinamai Israel. Sebagaimana dalam surah Maryam ayat 58 jelas menyebut Nabi Yakub sebagai Israel.
Ustaz Syahrullah menerangkan, keturunan Nabi Yakub adalah Nabi Yusuf, Nabi Musa, Nabi Harun, Nabi Daud, Nabi Sulaiman, Nabi Ayyub, Nabi Zakariya, Nabi Yahya, dan Nabi Isa.
Dengan begitu, dia menjelaskan, bani Israel mencakup para nabi yang disebutkan tersebut yang wajib diimani umat Islam. Bani Israel juga sering disebut Israiliyun kerena pengikut atau keturunan Nabi Yakub.
Dua belas anak Nabi Ya’qub AS inilah nantinya yang berkembang menjadi 12 suku bani Israel. Israel berasal dari kata berbahasa Ibrani, isra berarti ‘hamba’ dan il atau iyl adalah ‘Allah’, dalam bahasa Arab sepadan dengan makna Abdullah yang berarti hamba Allah. Menurut Ustaz Syahrullah, bani Israel juga disebut inraniyyun yang berarti cucu Nabi Ibrahim karena dinisbahkan kepada Nabi Ibrahim.
Muhammad Sayyid Thanthawi dalam bukunya, Banu Isra’il fi al-Qur’an menyebut alasan lain bahwa sejarah bani Israel adalah berpindah-pindah dari satu wilayah ke wilayah lain untuk mencari penghidupan. Awalnya mereka bermukim di Padang Sahara, kemudian berpindah.
Ibariniyyun dari kata abara yang bererti melintasi satu wilayah ke wilayah lain. Begitu gambaran awal dari bani Israel. Persoalannya, apakah Negara Israel sekarang ini adalah yang disebutkan oleh al-Qur’an atau bukan?
“Tentu kita harus objektif melihat persoalan ini bahwa Israel yang berkonflik dengan Palestin sekarang adalah sebuah negara bentukan beberapa puluh tahun belakangan, sedangkan bani Israel yang dibicarakan dalam al-Qur’an itu sudah hadir jauh sebelum kenabian Muhammad SAW,” ujar Ustaz Syahrullah kepada Republika, beberapa waktu lalu.
Ia menjelaskan, bani Israel juga dinamai Yahudi yang makna bahasanya adalah taubat atau berarti kembali. Ini didasarkan pada surah al-A’raf ayat 156. Pendapat yang masyhur menyatakan bahwa kata Yahudi terambil dari nama salah seorang putra Nabi Yakub ibn Ishaq yang bernama Yahudza. Hal yang berkaitan dengan Yahudi dalam al-Qur’an terulang sebanyak 22 kali dalam 21 ayat dan sembilan surah al-Qur’an.
Perinciannya adalah kata hadu sebanyak 10 kali, kata hudan sebanyak 3 kali, dan kata yahud terulang sebanyak 9 kali. Ketiga istilah tersebut memiliki konteks penyebutan berbeda dalam al-Qur’an. Kata yahud lebih berkonotasi negatif yang dikecam oleh sekian banyak ayat al-Qur’an disebabkan oleh kederhakaan dan sikap melampaui batas.
Secara global, al-Qur’an menggambarkan bani Israel dalam tiga konteks, iaitu memperoleh kurnia, pembangkangan, dan balasan. Bani Israel memperoleh kelebihan di antaranya terselamatkan dari kekejaman Fir’aun, diutusnya banyak rasul dari golongan mereka, diturunkannya kitab Taurat melalui Nabi Musa AS, kelebihan kaumnya pada masanya, dan selainnya.
Namun, al-Qur’an juga menggambarkan sifat buruk dari kaum Yahudi, seperti melanggar perjanjian, membunuh nabi mereka, dan selainnya.
Pada masa Rasulullah SAW di Madinah terdapat beberapa suku yang menganut Yahudi, seperti bani Qainuqa’, bani al-Nadhr, dan bani Quraizhah. Muhammad Izzah Darwazah dalam bukunya, al-Yahudu fi al-Qur’an al-Karim, menyatakan bahawa mereka digolongkan sebagai keturunan bani Israel, bukan keturunan Arab asli. Mereka mendiami wilayah khusus dan agak terpisah dari komuniti lain dan kesehariannya menuturkan bahasa Ibrani di antara mereka dan juga piawai berbahasa Arab.
Surah al-Maidah ayat 82 menyebutkan, “Pasti akan kamu dapati orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman, iaitu orang-orang Yahudi dan orang-orang Musyrik.”
Menurut Ustaz Syahrullah, ayat itu difahami oleh oleh sebahagian mufasir secara umum, mencakup semua Yahudi. Pendapat itu dibantah oleh sebagian mufasir bahwa tidak semua Yahudi bersikap demikian kepada kaum Muslimin.
“Di masa pewahyuan, terdapat kalangan Yahudi yang tidak memusuhi kaum beriman kendati mereka taat menjalankan agamanya. Demikian halnya dengan kata nashara pada ayat itu ditafsirkan sebagai Raja Najasyi, seorang penguasa beragama Nasrani yang memberi jaminan keamanan dan menyambut baik kaum Muslimin yang berhijrah ke wilayahnya. Tentu terlalu gegabah jika menggeneralisasi cakupan ayat ini sehingga bersikap eksklusif dan tidak mengakui eksistensi Yahudi dan Nasrani,” kata dia.
“Bukankah tercatat dalam Piagam Madinah betapa penganut agama lain juga hidup berdampingan dengan kaum Muslimin?. Kita ingat bagaimana Rasulullah SAW memperlakukan secara adil Zaid ibn al-Samin, seorang Yahudi, ketika berperkara dengan Thu’mah ibn Ubairiq, seorang Muslim. Peristiwa ini juga terkait dengan sebab turunnya surah an-Nisa ayat 105,” tambah dia.
Dalam konflik Israel-Palestin, menurut dia, semua orang harus berpihak pada kemanusiaan. Kezaliman tidak boleh ditoleransi dalam kehidupan. Dia menjelaskan, semestinya bukan agama yang dijadikan sorotan dalam konteks tersebut, melainkan kemanusiaan yang harus diutamakan.
“Ibarat tindak terorisme yang kebetulan (misalnya) pelakunya seorang Muslim, itu bukan bererti agama Islam adalah agama yang bernuansa terorisme. Terorisme bisa disematkan kepada siapa pun tanpa harus dilabeli kepada agama tertentu jika tindakannya memang bernuansa teror. Kekerasan atas nama agama adalah musuh bersama umat manusia. Demikian halnya dengan kezaliman dan kebiadaban tidak boleh dibela,” tutur dia.
Sumber: ANDRIAN SAPUTRA, https://www.republika.id/posts/17239/bolehkah-membenci-yahudi
Recent Comments