Setiap penguasa pasti ada tim pembisik. Tak peduli zaman dahulu hingga sekarang. Istilahnya kerennya zaman now disebut ‘think-thank’. Mereka bisa datang dari kalangan apa saja asal dipercaya oleh sang penguasa. Lazimnya dari sanalah asal usul nasihat atas suatu kebijakan negara muncul sebelum diketahui publik.
Salah satu kisah klasik dalam khazanah Islam dalam soal para pembisik penguasa ini terjadi di bahagian barat Turki, yakni Edirne. Kala itu yakni pada 30 Mac 1432, di kota inilah Muhammad Al-Fatih dilahirkan. Konon, menjelang kelahirannya, sang ayah, Sultan Murad II sedang menderas Al-Qur’an dan sampai pada Surah al-Fath.
Nama Fatih konon terinspirasi dari sana. Apalagi di surah ini berisi janji Allah akan kemenangan kaum muslimin. Qadarullah, sebutan Al-Fatih lalu tersemat di belakang namanya, jauh-jauh hari di kala baru lahir atau belum menjadi Sultan Turki yang berhasil menaklukkan Konstantinopel.
Tepat 588 tahun yang lalu, narasi sejarah mulai dituliskan bersamaan dengan lahirnya bayi itu. Sang ayah lalu menghadirkan guru-guru terbaik untuk menggemblengnya sejak Fatih belia.
Tercatat dua guru yang selalu bersamanya, Syekh Aaq Syamsuddin dan Syekh Ahmad Al Kurani.
Dari kedua gurunya inilah semangat untuk menjadi pemimpin terbaik dari pasukan terbaik yang akan membebaskan Konstantinopel mulai mengalir dalam darahnya. Menghujam kuat dalam sanubari seiring desah nafasnya.
Ia tak pernah meninggalkan gurunya hingga detik-detik yang paling menentukan. Senin, 28 Mei 1453, Al-Fatih menyaksikan sujud-sujud panjang yang dilakukan Syekh Aaq Syamsuddin dalam keheningan malam.
Usai bermunajad, Syekh Aaq lalu menemui murid kesayangannya itu. Diberikannya nasihat agar seluruh pasukan berpuasa esok hari, shalat qiyamul lail, berzikir dan memohon ampun atas segala dosa agar Allah bukakan pintu kemenangan.
Pasukan terbaik itu bukan tanpa persoalan. Hampir sebulan, tepatnya sejak mulai pengepungan 6 April 1453, perjuangan belum juga menunjukkan titik terang.
Hingga akhirnya Allah hadirkan pertolongan. Benteng Konstanstinopel yang selama berabad-abad berdiri dengan pongahnya, hari itu, 29 Mei 1453 berhasil dijebol pasukan Al-Fatih.
Gemuruh suara takbir merobek keheningan malam. Membuat siapa saja yang mendengar tergetar hatinya.
“Sesungguhnya kalian melihatku sangat gembira. Kegembiraanku bukan karena penaklukan benteng ini semata. Akan tetapi, kegembiraanku muncul karena adanya seorang Syekh yang mulia pada zamanku. Dia adalah guruku, Syekh Aaq Syamsuddin.”
Nama itu selalu disebutnya dengan ta’zim. Segala nasihatnya didengar dan dilaksanakan. Sekalipun dunia mencatatnya sebagai pemimpin terbaik dari pasukan terbaik, namun ia sadar, tanpa gurunya ia bukan siapa-siapa.
Syekh Aaq bukan sekadar guru yang mengajarinya bermacam ilmu. Namun juga penasihat utama, Sang Pembisik yang selalu dimintai pendapat saat menghadapi persoalan pelik.
Suatu ketika setelah kemenangan itu ia hendak menemui Syekh Aaq untuk menyampaikan hal penting, namun gurunya itu tak mau ditemui.
“Syekh tak mau menemuiku,” keluhnya pada panglimanya. “Barangkali Syekh melihat ada ke sombongan dalam diri Sultan, karena pembebasan Konstantinopel tidak bisa dilakukan oleh para sultan sebelumnya. Beliau ingin melawan sebagian kesombongan itu dari dirimu.”
Begitulah seharusnya menjadi seorang pemimpin. Dikelillingi oleh orang-orang alim yang akan selalu mengingatkannya saat salah melangkah.
Memilih pembisik yang hanya membisikinya dengan nasihat berdasar ayat-ayat Allah. Bukan menjerumuskan untuk kepentingan sesaat dan keserakahan yang sesat.
Betapa banyak telah kita saksikan, para pemimpin yang menjadi dzalim karena penasihatnya yang lalim. Semoga kita bisa belajar di hari kelahiran Al-Fatih.
Recent Comments