Di antara perihal yang selalu dikhawatirkan dan tak pernah diharapkan terjadinya oleh siapa pun di dunia ini adalah lahirnya benih-benih perpecahan yang timbul akibat adanya perselisihan antara siapa saja. Baik itu dalam tingkat personal, komunitas, golongan hingga pada kelompok sosial tertentu.

Sebab adanya perpecahan itulah, maka dampaknya akan berpeluang menghilangkan apa saja. Harga diri, harta, kekuasaan, jiwa, nilai-nilai kemanusiaan, dan bahkan tak jarang juga nyawa manusia.

Begitu ngerinya realitas data sejarah yang dapat kita pelajari mengenai dampak yang timbul dari perselisihan, perpecahan dan permusuhan ini, maka agama Islam melalui ajarannya di dalam Al-Qur’an telah menawarkan konsep yang bermanfaat untuk meredam itu semua. Yakni melalui proses perdamaian (ishlah) atas pihak-pihak yang berselisih, yang kemudian saat ini akrab kita kenal hal ini dengan proses rekonsiliasi.

Allah SWT telah mengajarkan secara nyata sebuah konsep yang luhur tentang upaya perdamaian ini melalui penjelasan di dalam QS Ali-Imran ayat 159 berikut: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah, maka kamu dapat berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap kaku lagi bersikap keras hati terhadap mereka, maka tentulah mereka pun akan semakin menjauhkan diri dari sekelilingmu.  

Oleh sebab itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah bersama mereka dalam urusan (yang menyebabkan perselisihan) itu.

Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal (kepada-Nya).”

Melalui penjelasan pada ayat tersebut, setidaknya kita akan mampu menemukan tahapan-tahapan penting yang dapat kita lalui demi menciptakan terjadinya rekonsiliasi itu. Diantara tahapan tersebut adalah:

  1. Menyadari bentuk rahmat Allah kepada umat manusia dalam wujud kelembutan hati.

Siapa saja hendaknya mampu menyadari bahwa Allah SWT telah memberikan pada diri mereka dalam bentuk kelembutan hati, di mana dengan kelembutan hati inilah setiap manusia akan memiliki potensi untuk bersikap dan berperilaku lemah lembut kepada siapapun, tanpa terkecuali. Sekalipun itu adalah untuk orang-orang yang mereka benci.

Dengan berbekal rahmat Allah yang berupa kelembutan hati ini, maka siapa saja kiranya akan mampu membuka ruang komunikasi untuk berdialog dan bermusyawarah dengan pihak manapun. Terutama dalam bahasan ini adalah dengan pihak yang saling berselisih, sehingga dengan proses komunikasi ini kemudian akan terbuka kesempatan untuk saling memahami dan menghargai satu sama lain.

  1. Memaafkan pihak lain

Upaya untuk dapat melembutkan hati sebelum melaksanakan musyawarah itu tentu tidak serta merta dapat terjadi atau dapat dilakukan oleh siapa saja.

Sebab, sebagaimana lazimnya manusia, mereka masih memiliki kecenderungan untuk bertarung dengan hawa nafsu dan ego mereka sendiri sekaligus melawan bisikan setan yang tentu tak akan diam begitu saja ketika ada upaya dari seorang anak manusia untuk memadamkan api dendam dan permusuhan dari dalam dirinya.

Oleh sebab itulah, untuk menghadapi kedua cobaan (hawa nafsu dan bisikan setan) yang sangat berat ini maka Allah SWT telah membekali para hamba-Nya dengan pengetahuan atau ajaran untuk dapat memaafkan siapa saja (fa’fu ‘anhum).

Selanjutnya, dengan keadaan mereka yang telah mampu memaafkan kesalahan orang lain inilah maka setidaknya mereka telah mampu menguasai nafsu pada diri sendiri dengan meredam, mencairkan dan meluluhlantakkan bibit-bibit kebencian serta dendam dari dalam jiwa mereka.

  1. Memohonkan ampunan atas kesalahan orang lain

Allah SWT adalah Dzat Yang Maha mengetahui bahwa upaya dari hamba-Nya untuk dapat memaafkan pihak lain secara 100 persen ini tentu bukanlah perkara mudah.

Oleh sebab itu, Dia juga telah mengajarkan pada kita sebuah bimbingan dan latihan (riyadhah) untuk mencapai ketulusan dalam memberi maaf itu, yakni dengan cara memohonkan ampunan atas kesalahan orang itu kepada-Nya secara langsung.

Ajaran atau latihan ini diantaranya juga telah kita wiridkan melalui doa yang hampir pasti kita baca seusai melaksanakan shalat lima waktu:

Allahumma ighfir li al-mu`miniina wa al-mu`minaat wa al-muslimiina wa al-muslimaat al-ahyaai minhum wa al-amwaat. Ya Allah, ampunilah dosa di antara orang-orang yang beriman dan orang-orang muslim. Baik mereka yang laki-laki maupun yang perempuan. Baik mereka yang masih hidup maupun yang telah meninggal dunia.

Selain doa ini, tentu masih banyak lagi bentuk-bentuk wirid dan doa-doa lainnya yang dapat kita amalkan untuk melatih ketulusan hati kita dalam memberikan maaf kepada pihak lain.

Berbekal sikap untuk mampu memaafkan dan memohonkan maaf atas kesalahan orang lain, yang bahkan kita upayakan sebelum mereka sempat memintanya itu harapannya adalah akan mengantarkan kita pada keluhuran sikap yang sepatutnya dimiliki oleh setiap manusia yang sadar akan jati dirinya. Yakni sebagai seorang hamba yang senantiasa berupaya untuk menegakkan kebenaran dengan diiringi sikap sabar dalam menjalaninya.

  1. Bermusyawarah

Oleh karena mereka telah diberikan rahmat oleh Allah dengan sikap-sikap yang luhur untuk mempraktikkan ketiga hal yang begitu mulia ini, maka Allah SWT juga telah menengarai bahwa hamba-Nya itu telah siap untuk menjalin musyawarah dengan pikiran yang jernih dan hati yang bening kepada siapa saja.

Berbekal kejernihan dua pandangan ini, maka seseorang kiranya akan mampu terbebas dari ambisi dan ego pribadi pada saat bermusyawarah nanti, yakni dengan cara ikut mempertimbangkan aspek keadilan untuk pihak mana saja atas setiap hal yang akan mereka putuskan.

  1. Memiliki tekad yang kuat

Selama menempuh jalan musyawarah itu tentu mereka sebelumnya harus membekali diri dahulu dengan keinginan yang kuat (‘azam) untuk menciptakan putusan yang adil demi menciptakan kebaikan (kemaslahatan) bagi siapa saja.

Sebab mereka telah menyadari dengan sepenuhnya kesadaran bahwa tujuan musyawarah itu bukanlah untuk meraih kepentingan pribadi, melainkan untuk melahirkan putusan yang bermanfaat untuk meraih kebaikan bersama.

  1. Bertawakkal kepada Allah

Dan barulah dengan berbekal keinginan yang kuat (‘azam) untuk menciptakan keadilan dan kemaslahatan atas semua pihak itu, mereka hendaknya juga senantiasa menyandarkan harapan mereka yang mulia itu kepada Allah SWT sebagai Dzat Yang Maha Menentukan terjadinya setiap perkara.

Mereka kiranya akan mampu mengkombinasikan antara ikhtiar untuk menjalin musyawarah dengan menyandarkan hasil akhir dari musyawarah itu dengan berbekal keyakinan bahwa Allah SWT senantiasa mencintai orang-orang yang berserah diri (bertawakkal) kepada-Nya.

Yakni setelah mereka mengerahkan segenap daya yang mampu mereka lakukan untuk menciptakan keadilan dan kebaikan melalui proses perdamaian ini.

Setelah mereka menempuh berbagai upaya mereka itu secara bertahap, lengkap dan menyeluruh, barulah mereka yang bertawakkal itu akan memaserahkan hasil dari proses perdamaian itu kepada Allah SWT sepenuhnya sebagai Dzat Yang Maha lembut (Al-Lathiif) atas segala hal yang Ia rencanakan.

Barangkali inilah hasil renungan (tadabbur) dari ayat tentang perdamaian yang terkadung dalam QS Ali-Imran 159 tersebut yang kiranya dapat kita jadikan sebagai bekal untuk menjalin ikatan persaudaraan melalui upaya rekonsiliasi atas pihak-pihak yang sedang terlibat di dalamnya tadi. (*)

 

Sumber: Muhammad Adib Mawardi , qureta.com

 

Translate »