Dalam Jelajah Diri (JD), Fadhullah Haeri mengungkapkan betapa kecamuknya psikologi barat atas alasan, sebahagian daripada kita ‘menerima begitu saja dogma-dogma terselubung, yakni—di antaranya—positivisme, materialisme dan prasangka negatif yang cukup kental terhadap pengalaman religious dan spiritual”. (Halaman 4). Kita sentiasa membaca mengenai ketidakpercayaan ahli psikologi terhadap agama, kerana sebahagian besar mereka melihat perlakuan atau tindak-tanduk manusia bukan ada kaitannya dengan Tuhan, ia berlaku sama ada secara pilihan manusia itu sendiri atau dipengaruhi oleh sifat-sifat semulajadi dan pengaruh persekitaran.
Syeikh Abdullah Haeri merupakan seorang guru tarekat yang terkenal di Amerika Syarikat dan khalifah kepada Syeikh Abdulkaqir as-Sufi turut mendirikan pusat pelatihan sufi di Texas, Amerika Syarikat yang dikenal sebagai Bait al-Din dan juga menerbitkan majalah bulanan al-Surat, sebuah majalah tentang sufisme”, (dipetik dari Muhamad Faizal Harun dan Muhamad Hazwan Abdul Razak, Tarekat: Pertumbuhan dan Penyebaran di Dunia Islam, Sintok: UUM Press, 2018: xxiii).
Dalam karya yang terawal, Journey to Universe as Expounded in the Quran (1985) yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia dengan tajuk Membaca Alam, Memahami Zaman: Perjalanan Jagad Raya dari Awal Penciptaan Hingga Akhir Kehancurannya (diterjemahkan oleh Zaimul Am dan diterbitkan 2004:1), menulis “Al-Quran memaparkan makna waktu dan pengalaman manusia di dalam waktu, meskipun sang kebenaran di luar matra waktu, sebab waktu itu sendiri tercakup di dalam realitas tak berwaktu”. Ertinya, wahyu Allah SWT itu ‘menjanjikan pengalaman lain setelah kematian yang di dalamnya waktu kehilangan makna, perbuatan menjadi mustahil, dan segala menjadi apa yang adanya buat selama-lamanya—di luar matra waktu, sebab waktu itu sendiri tercakup di dalam realitas dimensional tak berwaktu.’. Sebab waktu paling banyak disia-siakan oleh manusia, walhal waktu itu sangat mahal harganya dan perlu kepada sebuah perancangan yang teratur kerana membuang waktu adalah satu tindakan yang sia-sia.
Namun dalam kehidupan, selalunya waktu tidak banyak digunakan secara bermanfaat. Selalunya waktu disia-siakan seolah-olah hidup keseluruhannya seperti hal yang tidak perlu diberikan perhatian, seumpama kita merasakan udara yang disedut setiap saat tiada nilainya, kecualilah ketika nafas semakin sesak. Ketika inilah baharu kita sedar betapa berharganya oksijen, ya apabila tanpa mesin oksijen denyut nadi seseorang itu akan berhenti. Sedangkan Allah SWT menciptakan apa sahaja di muka bumi untuk manusia menggunakan secara berhemah dan penuh tatacaranya, seumpama hutan yang menjadi lahan melahirkan oksijen daripada pencernaan pokok terhadap gas-gas lainnya, termasuk karbon dioksida yang boleh mematikan manusia.
Pokok-pokok akan menyerap karbon dioksida, dan seterusnya mengeluarkan gas oksijen untuk membolehkan manusia menghirup udara segar. Tetapi, sayangnya atas pandangan yang tindakan manusia, hutan semakin hilang metamorphosis oksijen kerana ketamakan untuk mengeksploitasikannya, atas kepentingan ekonomi. Biodiversiti alam terganggu, maka gangguan itulah akhirnya mempercepatkan proses ‘kemusnahan’ termasuklah menjadikan banjir seolah-olah tidak terkawal lagi. Dalam keseharian hidup kita merasakan semakin lama iklim menjadi semakin panas, bahkan ada teori mengatakan suhu dunia semakin meningkat dan setiap peningkatan antara 1.5 hingga 2.0 darjah celcius akan menyebabkan puluhan juta manusia akan berhadapan dengan gelombang haba, masalah kekurangan air dan banjir besar di kawasan pantai.
Kita mungkin pernah merasai kesan perubahan iklim pada tahun 2015 dan 2016, dalam keadaan panas berlakunya kebakaran hutan yang meningkatkan kadar jerebu dan berlaku pula pelbagai bentuk musibah seperti La Nina dan El Nino. Ya! Kita mungkin merasai betapa sengsaranya rakyat Lembangan Irrawadi di Myanmar pada tahun 2017. El Nino menyebabkan cuaca kering manakala La Nina menyebabkan banjir yang begitu dahsyat.
Tahun 2018 berlaku menyaksikan tujuh amarah bencana berlaku: (1) gempa bumi di Lombok dengan kekuatan 6.4 skala richter menyebabkan 16 maut dan 160 orang tercedera; (2) Banjir di Myanmar terutama di daerah Mon, Karen dan Bago menyebabkan 54,000 terpaksa dipindahkan dan 10 orang terkorban; (3) Taufan Jongdari (Jepun), menyebabkan 21 orang cedera dan 150,000 rumah terputus bekalan elektrik, yang turut meragut lebih 200 nyawa; (4) Banjir di India, menyebabkan 545 orang maut dan 1 juta orang terjejas; (5) Kebakaran Hutan di California, telah memusnakan lebih seribu bangunan, lapan orang kanak-kanak meninggal dan 38,000 penduduk di Reading diarahkan berpindah; (6) Kemarau di Jerman, yang memerlukan lebih I juta pound untuk memulihkan tanaman akibat kemarau dan sebanyak 30 peratus hasil pertanian lenyap; dan (7) Gelombang haba di Eropah, sehingga suhu di London direkodkan berada pada tahap 34.9 darjah Celsius.
Dalam hal itu, Tere Liye dengan sinisnya menulis “Karena kenangan sama seperti hujan. Ketika dia datang, kita tidak bisa menghentikannya. Bagaimana kita akan menghentikan tetes air yang turun dari langit? Hanya bisa ditunggu, hingga selesai dengan sendirinya. (halaman 201). Itulah yang berlaku, manusia tidak dapat menyekat kehadiran bencana, tetapi manusia boleh membantu agar alam tidak “menangis” dengan sekuat-kuatnya, tangisan alam itu boleh menghapuskan segala apa yang manusia ada, termasukkan kebolehannya menyimpan aset bertahun-tahun boleh musnah dalam beberapa saat sahaja. Umpama tragedi tsunami yang berlaku pada tahun 2004, semuanya musnah dan ratusan ribu nyawa terkorban.
Begitu juga dengan bencana yang menimpa Palu, Sulawesi Tengah, hampir melenyapkan wilyah Sigi akibat gempa bumi dan diikuti tsunami pada petang Jumaat 28 September 2018. Dengan kekuatan 7.7 skala richter, 2000 orang dilaporkan terbunuh dan 30,000 orang mengalami trauma akibat kehilangan harta benda serta rumah kediaman mereka. Ketika tsunami berlaku, ramai juga mempersalahkan ritual penduduk setempat yang dilihat sebagai punca ‘kemarahan Laut Sulawesi” membedal Palu dan Donggala dengan gelombang setinggi 12 meter, yang turut menghancurkan ‘kawasan maksiat’.
Jelas Fadhullah Haeri lagi, :Selama hidupnya, fitrah manusia itu sendiri mendorong untuk membuat visinya kian jauh dari eksistensi-hewani-kesehariannya, melampaui ufuk waktu. Hanya dengan mempertahankan diri di jalan ketuhanan dia akan mampu menggunakan waktunya secara efisyen, penuh daya, dan bermanfaat. Alam dan hukum-hukum perjalanannya telah ditetapkan sebelum kesadaran tentang eksistensinya bangkit. Manusia tidak mempunyai pilihan selain berserah diri dan sepenuhnya menempuh jalan menujuk takdirnya.: (Membaca Alam, Memahami Zaman:182-183.)
Dalam kehidupan, ada banyak perihal yang dilalui oleh manusia. Manusia adalah “makhluk sosial” dan kerana ini amat memerlukan perhubungan yang baik dan rasa hormat. Cinta juga menjadi rasa hormat yang menyenangkan dan kerana itu, Tere Liye menulis: Ciri-ciri orang yang sedang jatuh cinta adalah merasa bahagia dan sakit pada waktu bersamaan. Merasa yakin dan ragu dalam satu hela napas. Merasa senang sekaligus cemas menunggu hari esok. (halaman 205). Ada dua situasi yang saling bercanggah, ada imajinasi indah dan igauan yang mungkin mengerikan kerana manusia bercinta dalam situasi ‘berjudi’; berjudi dengan perasaan dan bertarung dengan kesangsian, namun dalam kesangsian itu ada rindu yang mencengkam dan kadangkala kebosanan terbit setelah rasa terkilan atau bayangan harapan yang tidak kesampaian.
“Nah, bukankah kamu jatuh cinta pada Soke Bahtera saat gerimis? Waktu-waktu terbaikmu bersamanya juga saat hujan, kan? Kabar buruk bagimu jika Soke Bahtera ternyata mencintai Claudia. Aku tidak bisa membayangkan betapa sakitnya kamu setiap kali hujan turun, mengenang semuanya. Itulah kenapa kamu selalu suka hujan selama ini. Aku sekarang paham. Karena setiap kali menatap hujan, kamu bisa mengenang banyak hal indah bersama Soke Bahtera. Kebersamaan kalian. Naik sepeda merah. Masuk akal lagi, bukan?” (halaman 201)
Karena kenangan sama seperti hujan. Ketika dia datang, kita tidak bisa menghentikannya. Bagaimana kita akan menghentikan tetes air yang turun dari langit? Hanya bisa ditunggu, hingga selesai dengan sendirinya. (halaman 201)
Orang kuat itu bukan karena dia memang kuat, melainkan karena dia bisa lapang melepaskan (halaman 228) Ya cukup jelas, langit tidak sentiasa mendung, dan bukan semua mendung bakal menurunkan hujan. Itulah ada seseorang berkata, Dilarang Mengutuk Hujan (Iqbal Aji Daryono (2021), Jakarta: Diva Press) kerana hujan itu ibarat cinta, ia membawa keberkatan ketika hadirnya ketika diperlukan, tepat pada waktu dengan curahan yang mencukupi. Jika curahannya terlebih, maka sesuatu yang buruk akan berlaku. Begitu juga dengan cinta, tidak perlu berlebihan kerana berlebihan itu akan merosakkan cinta itu sendiri. Kata orang, too much love, will kill you; Wihout love, you will live in the lonely planet. Ya, kerana dalam erti cinta ada citra “mulutmu membantah, tapi wajahmua bilang sebaliknya’. Tere Liye, Hujan, halaman 247). Ini kerana “Ada orang-orang yang kemungkinan sebaiknya cukup menetap dalam hati kita saja, tapi tidak bisa tinggal dalam hidup kita. Maka biarlah begitu adanya, biar menetap di hati, diterima dengan lapang. Toh dunia ini selalu saja ada misteri yang tidak bisa dijelaskan. Menerimanya dengam baik justru membawa kedamaian. (Halaman 255)
Bagian terbaik jatuh cinta adalah perasaan itu sendiri. Kamu pernah merasakan rasa suka, sesuatu yang sulit dilukiskan kuas sang pelukis, sulit disulam menjadi puisi oleh pujangga, tidak bisa dijelaskan oleh mesin paling canggih sekalipun. Bagian terbaik dari jatuh cinta bukan tentang memiliki. Jadi kenapa kamu sakit hati setelahnya? Kecewa? Marah? Benci? Cemburu? Jangan-jangan karena kamu tidak paham betapa indahnya jatuh cinta. (halaman 255 – 256)
Ada banyak hal yang bisa saling dipahami oleh dua sahabat sejati tanpa harus bicara apapun. (halaman 271) Dan sebenarnya “Kita tidak akan tahu apa yang akan terjadi besok lusa. (halaman 281). Juga, “Kita tidak bisa menyelamatkan semua orang. (halaman 289) kerana ‘Hanya orang-orang kuatlah yang bisa melepaskan sesuatu, orang-orang yang berhasil menaklukkan diri sendiri. (halaman 298). (Bersambung)
Recent Comments