PERISTIWA wanita-wanita yang ditinggal wafat suaminya semakin marak terdengar, khususnya di masa pandemi ini. Pengembalian segala aspek terkait keadaan wanita yang menjadi janda karena wafatnya suami perlu didudukkan kembali secara lebih komprehensif. Hal ini agar masyarakat tetap berada dalam rel yang semestinya dan setiap musibah yang terjadi mendatangkan hikmah sekaligus rida Allah SWT.

Masa iddah atau idah menurut KBBI adalah masa tunggu bagi seorang wanita yang berpisah dari suaminya, baik karena kematian ataupun talak. Masa iddah ini disebutkan dalam firman-Nya: Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis ‘iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” (QS: 2:234).

Wahbah az-Zuhaili mengatakan bahwa ayat ini muncul setelah didahului ayat-ayat yang menjelaskan tentang talak dan rujuk. Pemunculan ayat khusus terkait iddah karena meninggalnya suami ini adalah merupakan penekanan dari Allah SWT bahwa penyikapan terhadap perceraian karena pisah hidup dan pisah karena kematian itu memang berbeda.

Lebih lanjut, Wahbah as-Zuhaili menjelaskan pengertian khusus iddah, yaitu waktu bagi para istri untuk tinggal di rumah yang sebelumnya ia tempati bersama suami. Pada masa ini, ia tidak boleh menikah dan tidak meninggalkan rumah selain karena keperluan darurat yang bersifat syar’i. Tujuannya ada dua, pertama untuk memastikan kosongnya rahim dari janin, dan kedua adalah untuk berkabung atas wafatnya suami.

Allah SWT. secara langsung menetapkan hukum iddah wafat ini di dalam Al-Quran. Ini menunjukkan di situ ada permasalahan penting dan strategis untuk kemaslahatan kehidupan manusia secara umum. Sebagaimana dengan ditetapkannya hukum waris secara langsung oleh Allah SWT dalam al-Quran, yang menurut Syaikh Ali Al-Sabouni, penetapan langsung ini menunjukkan kedudukan strategis atau vital masalah warisan tersebut dalam kehidupan manusia.

Iddah wafat empat bulan sepuluh hari ini hanya berlaku atas istri yang suaminya wafat sedangkan ia tidak dalam keadaan hamil. Adapun jika ia hamil, maka iddahnya adalah hingga anak yang dikandungnya lahir, sebagaimana disebutkan dalam QS: 65:4. Iddah wafat ini tidaklah berlaku bagi perempuan yang meninggal ibunya, bapaknya, saudaranya, atau siapapun yang mungkin juga sangat dekat dengan kehidupannya, selain sang suami.

Penetapan Allah SWT di atas mengandung beberapa ibrah yang perlu dipetik dan dijadikan lensa untuk memandang masa iddah yang ditetapkan Allah SWT atas seorang istri yang ditinggal suami.

Pertama, agar setiap wanita yang sudah memiliki suami, mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Bahwa penetapan masa iddah wafatnya suami menunjukkan bahwa di situ niscaya akan ada ujian yang tidak ringan. Hal ini juga kiranya menjadi motivasi bagi para istri untuk meningkatkan bakti dan kasih sayang mereka kepada suami selagi masih diberi kesempatan hidup bersama-sama.

Kedua, boleh jadi ada wanita yang sangat tegar yang tidak merasa perlu berkabung lama-lama. Namun, demi kemaslahatan manusia, Allah SWT menurunkan secara langsung hukum iddah wafat ini. Agar tidak ada seorang wanita pun yang kebablasan tampil sebagai seorang super-woman yang baru beberapa hari suami meninggal, sudah berhias dengan hiasan aneka warna serta berkeliaran ke sana ke mari. Hal ini untuk menjaga perasaan keluarga suami, atau bahkan juga agar menjadikan sang istri tetap mendampingi dan membersamai anak-anaknya jika ada, di rumah mereka.

Ketiga, bagi orang lain yang tidak atau belum mengalami ditinggal suami atau orang terkasih, agar tidak kebablasan juga mengecilkan rasa duka seorang istri yang ditinggal suami. “Segeralah bangkit, beradaptasi, bukan cuma kamu yang mengalami, tak perlu berlama-lama bersedih, semua sudah takdir.” Kata-kata seperti ini tidak patut disampaikan kepada istri yang sedang menjalani masa iddah atas suami yang wafat. Karena Allah SWT dan Rasul-Nya tidak memberikan tuntunan seperti ini. Sebaliknya, Allah SWT secara tegas me-WAJIB-kan sang istri untuk berada dalam perilaku dan sikap sedang berkabung selama empat bulan sepuluh hari.

Keempat, tidak patut menyamakan duka seorang istri ditinggal suami dengan duka seseorang ditinggal kerabat lainnya. “Saya juga baru-baru ngalamin. Adik saya wafat, ibu juga menyusul. Tidak usah terlalu sedih. Ayo bangkit dan mari kita kerja lagi.”

Ungkapan seperti ini juga tidak bersesuaian dengan sunnah. Karena sunnah menuntun manusia untuk memahami bahwa kematian seorang ayah, misalnya, tidaklah seberat kematian seorang suami bagi seorang wanita.

Ini diisyaratkan dalam sebuah hadis Bukhari:  “Dari Zainab binti Abu Salamah bahwa ia telah mengabarkan tiga hadis ini kepadanya. Zainab berkata; Aku menemui Ummu Habibah isteri Nabi  saat bapaknya, Abu Sufyan bin Harb, wafat. Lalu Ummu Habibah meminta wewangian yang di dalamnya terdapat minyak wangi kuning yang sudah usang. Kemudian dari wewangian itu, ia meminyaki seorang budak wanita lalu memegang kedua belah pipinya seraya berkata, “Demi Allah, aku tidak berhajat sedikitpun terhadap wewangian, hanya saja aku telah mendengar Rasulullah SAW bersabda: ‘Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir, untuk berkabung lebih dari tiga hari, kecuali karena kematian suaminya, yaitu selama empat bulan sepuluh hari.‘”

Hadis di atas juga diriwayatkan oleh Imam Muslim. Imam Muslim bahkan menempatkannya dalam sub judul yang bermakna wajibnya istri yang ditinggal suami untuk melaksanakan prosesi berkabung dalam masa iddah.

Kelima, seorang istri yang ditinggal wafat suaminya, harus diberi haknya untuk menjalani masa iddah sebaik-baiknya. Jika Allah SWT mewajibkan sang istri untuk berkabung selama empat bulan sepuluh hari, maka manusia manapun harus memberi waktu bagi sang istri untuk berkabung, berdiam diri dan menenangkan jiwanya selama masa iddah itu. Diriwayatkan juga dalam hadis Bukhari dan Muslim: Zainab  berkata; Aku mendengar  Ummu Salamah  berkata; Seorang wanita pernah datang kepada Rasulullah  dan berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya anak perempuanku ditinggal mati oleh suaminya, sementara matanya juga terasa perih. Bolehkah ia bercelak?” Maka Rasulullah SAW menjawab: “Tidak.” Beliau mengulanginya dua atau tiga kali. Kemudian Rasulullah SAW bersabda: “Masa berkabungnya adalah empat bulan sepuluh hari. Sesungguhnya pada masa jahiliyah dulu, salah seorang dari kalian melempar kotoran setelah satu tahun.”

Jika untuk sekedar memakai celak saja dilarang, padahal itu sangat mudah dan berhias itu biasanya hal yang disukai setiap wanita, maka tidak patut bagi siapapun untuk tetap membebani sang istri dengan tugas-tugas di luar urusan pribadi dan rumahnya.  Meskipun ia mengatakan dirinya baik-baik saja. Karena seringkali, manusia tak mampu mengungkapkan secara gamblang dan jujur semua gejolak rasa yang ia alami kepada pihak lain. Secara tegas, syariat memerintahkan sikap berkabung.

Keenam, agar masyarakat khususnya komunitas sesama Muslim tidak melihat kewajiban iddah ini hanya urusan sang istri yang suaminya wafat. Perlu dibangun suatu sistem sosial yang siap menopang proses iddah seorang wanita sebagai bagian dari syariat Allah taala dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

Ketujuh, agar masa iddah tidak hanya dimaknai sebagai masa menahan diri wanita terkait menikah lagi. Memang benar bahwa salah satu larangan di masa iddah ini adalah terkait pernikahan.

Namun, itu tidak menjadi landasan bagi orang lain untuk mengira setiap wanita butuh terburu-buru menikah lagi sehingga turunlah larangan khusus ini. Tapi hendaknya dilihat bahwa aturan ini adalah perlindungan kepada jiwa sang wanita, keluarga suami, juga mendidik jiwa secara umum untuk memahami bahwa kematian adalah sesuatu yang sudah pada tempatnya disikapi dengan duka.

Empat bulan sepuluh hari itu tidak pendek untuk ukuran sekarang. Bisa setara masa belajar satu semester, jika digabung dengan periode libur. Jika dipaksa untuk dilawan, akan juga melawan kodrat jiwa dan bisa jadi menimbulkan gangguan-gangguan dalam skala yang lebih luas di tengah masyarakat. Wallahu a’lam bish-shawwab.

Sumber: Nesia Andriana, https://www.hidayatullah.com/kajian/jendela-keluarga/read/2021/01/25/200079/hikmah-dan-pelajaran-masa-iddah-wafatnya-suami.html

 

Translate »