UMAR ibnu al-Khaththab ibnu Nufail ibnu Abdul Uzza ibnu Riyah ibnu Abdullah ibnu Qurth ibnu Razah ibnu Adi ibnu Ka’ab. Ibunya ialah Hantamah binti Hisyam ibnu al-Mughirah ibnu Abdullah ibnu Umar ibnu Makhzum. Umar termasuk salah seorang bangsawan Quraisy. Zaman Jahiliyyah, beliau senantiasa diutus ke luar negeri untuk diplomasi. Jika terjadi peperangan antara kabilah Quraisy dengan kabilah lain, Umar kerap kali dipilih menjadi perantara. Kalau terpaksa bertanding, beliau sanggup mempertahankan kemuliaan dan kemegahan kabilahnya.
Ketika Rasulullah ﷺ diutus, Umar termasuk salah seorang diantara musuh-musuh kaum Muslimin yang sagat keras sekali. (Prof. Dr. Hamka, Sejarah Umat Islam Pra-Kenabian hingga Islam di Nusantara, Gema Insani, 2016).
Abu Ihsan al-Atsari, dalam Masa Khulafa’ur Rasyidin menulis, berkenaan istri dan anak-anak beliau, Ibnu Katsir berkata, “Jumlah anak Umar ada tiga belas orang, yakni Zaid (sulung), Zaid (bungsu), Ashim, Abdullah, Abdurrahman (sulung), Abdurrahman (pertengahan), az-Zubair bin Bakkar atau Abu Syahmah, Abdurrahman (bungsu), Ubaidullah, Iyadh, Hafshah, Ruqayyah, Zainab, Fathimah. Sedangkahn, jumlah perempuan yang pernah Umar nikahi pada masa Jahiliyyah dan Islam baik yang diceraikan maupun ditinggal wafat sebanyak tujuh orang.”.
Setelah keislamannya, Umar ibnu al-Khaththab memiliki gelar al-Faruq (pembeda antara kebenaran dan kebatilan), Sebab kepribadiannya menjadi lebih terasah dan lebih bersinar daripada masa sebelum keislamannya.
Dalam sejarah Islam, beliau bisa menemukan kecerdasan dan pedomannya. Bidangnya bukan lagi patung-patung bisu disekeliling Ka’bah atau urusan-urusan tidak bernilai di Kota Makkah. Tetapi berubah, aktivitasnya berkaitan dengan “langit dan bumi” atau “abdullah dan khalifatullah”. Titik sentral perjuangan beliau ialah agama yang dipahaminya dengan kecerdasan yang cemerlang, bahwa beliau tidak akan berhenti di daerah gurun dan unta, melainkan agama ini akan terus menyebar ke wilayah Timur dan Barat hingga dunia ternaungi didalamnya. (Syaikh Khalid Muhammad Khalid, 5 Khalifah Kebanggaan Islam, Jakarta, Akbar Media, 2011).
Terbukti, dibawah komandonya, perluasan daerah Islam mengalami kesuksesan yang gemilang. Pada masanya kekuatan-kekuatan yang bercokol lama di belantika peradaban dunia, seperti Persia dan Romawi, tunduk dihadapan umat Islam. Banyak hal yang menjadikan Umar memiliki keistimewaan dalam luasnya cakrawala ilmu pengetahuan dan keberanian dalam memperluas medan kerja akal. Misalnya saat beliau berijtihad dalam masalah-masalah yang tidak ada ketetapan nashnya, pasti beliau berusaha untuk mengidentifikasi kemaslahatan yang menjadi motivasi ketetapan nash dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, kemudian menjadikan kemaslahatan yang teridentifikasi tersebut sebagai petunjuk dalam menetapkan hukum. Dan masih banyak kisah tindakan-tindakan bijaksana beliau yang bisa ditemukan dalam berbagai literatur biografi Umar ibnu al-Khaththab.
Perjalanan Hidup Umar Ibnu al-Khaththab
Ada pertanyaan, apakah Umar ibnu al-Khaththab Ra. pernah mengubur bayi perempuannya hidup-hidup sebagaimana adat orang Arab jahiliyyah?
Syaikh Utsman al-Khamis mengatakan bahwa, “Riwayat kisah Umar ibnu al-Khaththab mengubur bayi perempuannya hidup-hidup itu dari Jabir al-Ju’fi, seorang Syiah Rafidhah dan pendusta. Riwayatnya tidak diterima sebab kebid’ahannya sebagai seorang Rafidhah, dan sebab cacat dalam ucapannya sebagai pendusta.” Salah satu dari istri Umar ibnu al-Khaththab yang dinikahinya di masa Jahiliyyah ialah Zainab binti Maz’un, saudara perempuan Utsman bin Maz’un. Dari Zainab ini lahirlah bayi perempuan beliau yang bernama Hafshah sebagai anak yang paling besar dan dilahirkan lima tahun sebelum masa kenabian.
Mengapa Hafshah, anak perempuan tertua, dibiarkan hidup jika beliau dikatakan benci kepada anak perempuan? Dengan demikian, Umar ibnu al-Khaththab Ra memang tidak pernah membunuh bayi perempuannya. Hal ini juga dikuatkan oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Dr. Shalih al-Ushaimy (Dosen Aqidah di Arab Saudi) yang menyatakan bahwa riwayat dan tuduhan Umar ibnu al-Kaththab membunuh dan mengubur hidup-hidup bayi perempuannya di masa Jahiliyyah adalah tidak benar atau kabar bohong. (Dr. Muhammad Baltaji, Metodologi Ijtihad Umar bin al-Khathab, Jakarta: Khalifah, 2005).
Penyayang Binatang
Suatu ketika Amirul Mukminin Umar ibnu al-Khaththab Ra. tengah duduk disamping unta yang sakit. Ia duduk sambil menangis dan berkata, “Demi Allah, aku tidak mengerti apa yang terjadi pada mu. Aku sungguh takut, kelak Allah akan menanyaiku tentang mu dan meminta pertanggungjawaban ku pada hari kiamat.”
Di lain waktu, Khalifah Umar Ra. pernah mengatakan, “Jika ada seekor unta yang tergelincir di jalan di negeri Iraq, aku takut dituntut Allah di akhirat kelak: Mengapa kau tak membuat jalan yang baik sehingga seekor unta tergelincir karenanya?”
Suatu hari, Ali ibnu Abi Thalib Ra. melihat ada orang tinggi besar dan gagah sedang berlari cepat bagaikan prajurit perang. Ternyata, setelah dilihat dengan seksama, beliau Umar ibnu al-Khaththab Ra. Ali ibnu Abi Thalib Ra. bertanya, “Mau kemana wahai Amirul Mukminin?”, “Ada unta sedekah (milik negara) yang kabur, aku berlari mengejarnya!” jawab Umar.
Dalam riwayat lain, lelaki tinggi besar berlari-lari di tengah padang. Siang itu, matahari seakan didekatkan hingga sejengkal. Dan lelaki itu masih terus berlari mengejar dan menggiring seekor anak unta sambil menutupi wajahnya dengan sorban dari pasir yang beterbangan. Tidak jauh darinya, berdiri sebuah dangau berjendela. Sang pemilik, Utsman ibnu Affan, sedang beristirahat dengan hidangan buah-buahan dan air sejuk sambil melantunkan ayat-ayat al-Qur’an. Ketika melihat lelaki yang berlari-lari itu, beliau mengenalinya, “Masya Allah” Utsman berseru, “Bukankah itu Amirul Mukminin?” Ya, lelaki tinggi besar itu ialah Umar ibnu al-Khaththab. “Ya Amirul Mukminin!” teriak Utsman sekuat tenaga dari pintu dangaunya, “Apa yang engkau lakukan di tengah angin ganas ini? Masuklah kemari!” Dinding dangau disamping Utsman bergerak keras diterpa angin yang deras.
“Ada dua ekor unta sedekah yang tertinggal dari kawanannya, sementara kawanan unta sedekah telah berlalu, maka aku berniat untuk menyusul dan membawa mereka ke pekarangan khusus sebab aku khawatir mereka hilang. Aku takut Allah akan menanyakan pada ku. Aku akan menangkapnya. Masuklah hai Utsman!” Umar berteriak dari kejauhan.
“Masuklah kemari!” seru Utsman, “Akan ku suruh pembantu ku menangkapnya untuk mu!”.
“Tidak!”, balas Umar, “Masuklah Utsman! Masuklah!”. “Sungguh, hai Amirul Mukminin, kemarilah. InsyaAllah unta itu akan kita dapatkan kembali.”
“Tidak, ini tanggungjawab ku. Masuklah engkau wahai Utsman, anginnya makin kencang dan badai pasirnya deras!”
Utsman pun masuk dan menutup pintu dangaunya. Dia bersandar di baliknya dan bergumam dengan suara perlahan, “Demi Allah, engkau wahai Umar bagaikan Nabi Musa As. seorang yang kuat lagi terpercaya.” (Fariq Gasim Anuz, Kepemimpinan dan Keteladanan Umar bin Khathab (Jakarta: Daun, 2016). Itulah Amirul Mukminin, seorang pemimpin tegas tapi di sisi lain hatinya sangat lembut, bahkan terhadap binatang.*/Taufik Hidayat
Recent Comments