Teringat kisah lama. Kisah masa kecil di kampong. Saya pernah ditampar pipi oleh ayah kerana membahasakan diri dengan menyebut “Aku”. Ketika itu, saya tidak berfikir panjang, kerana sebutan ‘aku’ adalah genti nama lazim dalam percakapan antara dan rakan-rakan. Bagi ayah, tidak elok membahasakan diri ‘aku’ kerana ia tidak mencerminkan kesopanan dan berbudi luhur, terutama ketika bercakap dengan orang yang lebih dewasa.

Falsafah ‘budi bahasa’ tetap menjadi pegangan budaya dalam kehidupan, termasuklah kehidupan yang bernuansa perbuatan, peradaban dan kesopanan yang tinggi. Bahkan Rukunegara, yang menjadi falsafah pembinaan negara telah meletakkan Kesopanan dan Kesusilaan sebagai rukun kelima selepas (1) Kepercayaan Kepada Tuhan; (2) Kesetiaan Kepada Raja dan Negara; (3) Keluhuran Perlembagaan;  dan (4) Kedaulatan Undang-undang.

Ada juga yang menyebut, kita memerlukan ‘budi bicara’, maksudnya kaedah bercakap-cakap dengan sopan dan beradab. Bagi Abdul Mua’ti @ Zamri Ahmad, seorang pensyarah komunikasi dari Universiti Putra Malaysia (UPM), percakapan yang sopan itu dipanggil ‘kesantunan berkomunikasi’ atau ‘kesantunan berucap’. Beliau menulis buku Santun Komunikasi (2001)

Hariyati Arifin dalam rencananya “Bahasa kurang sopan ubah cara komunikasi remaja masa kini’, Sinar Harian, 18 November 2019 menjelaskan: Mengutuk dan menjatuhkan maruah orang yang tidak dikenali dengan perkataan kasar dan memalukan seakan budaya baharu masyarakat kita. Lebih banyak perkataan mencarut dan lucah yang ditulisnya, lebih ramai yang komen dan memberi respons. Ianya seperti memeriahkan komunikasi di [ruang] maya

Saya tidak bersetuju, hanya golongan remaja yang bercakap atau menulis apa yang difikirkannya secara ‘kotor, kasar,  mencarut, maki hamun’ di ruang maya, bahkan saya pernah mendengar ceramah terbuka politikus menggunakan bahasa seumpama ‘orang meracau’ dan ‘mencarut’ di pentas terbuka. Sambutan khalayak juga menarik, bukan sahaja ketawa berdekah-dekah mendengan bila si perucap berkata ‘pegang telur’ dan ada yang menyokong secara spontan “kasi pecah telur tu”.

Siapakah politikus itu? Mungkin sebahagian daripada pemerhati politik tanah air boleh mengenalinya, tetapi politikus berkenaan menjadi sedikit sopan apabila dilantik sebagai menteri dan timbalan menteri. Bila dilantik sebagai menteri atau timbalan menteri, mesti kena jaga ‘air muka’, tidak boleh hempas mikrofon tetapi sesekali berkata: .balik dari Hanoi kerajaan jatuh. Haram jadah”.

Haram Jadah ditujukan kepada siapa? Apakah maki hamun itu ditujukan kepada orang yang meletakkan jawatan tanpa berunding dengan kawan-kawan? Apakah maki hamun itu reaksi rasa kecewa ‘terlucut kuasa”? Apa yang dapat gambarkan daripada perspektif kesantunan berucap, ia sudah terkeluar daripada bicara yang sopan.

Kristianto Naku, dalam tulisannya “Bahaya Kata: Memisahkan, Mengancam, dan Menguasai”, qureta.com (10 Oktober 2020) membebelkan pemerhatian sehariannya di Jogjakarta mengenai tulisan di sepanduk memerihalkan arahan terhadap penularan COVID 19.

Bagi Kristianto, kata ‘lockdown, stop, jalan ditutup, dilarang lewat, atau tamu wajib lapor’ adalah “border atau pemisah.” Ia juga bermakna “ada ketakutan, ada kecemasan, ada kecurigaan, ada perang opsi, yakni antara hidup dan mati….semua kata-kata yang ditulis…adalah bernyawa” yang akhirnya membuatkan “orang patuh dan taat….Kita patuh pada kata-kata. Kita takut kepada kata-kata. Meskipun tidak bersenjata, kata lebih kejam dan   berkuasa.”

M Samad Adji, “Bahaya Kata-Kata”, qureta.com (25 Mei 2018) menulis ‘Saya percaya…[kita] sering dan tanpa sedar berbicara (lantas kemudian tertawa) dengan spontanitas pontanitas seperti seorang balita yang sedang belajar menggunakan huruf-huruf dan kata-kata. Spontanitas ini mereduksi kehadiran subyek dalam tutur seperti yang diagung-agungkan oleh Ferdinand De Saussure, Bapak linguistik modern, sebagaimana juga Plato serta Socrates, yang kedua-duanya adalah filsuf raksasa di masa lalu

Tulisnya lagi, “Kata-kata adalah akar penghubung antara dunianya dan dunia saya. Setidaknya begitu hingga hari ini. Tanpa kata-kata, kami hanya sepasang ‘kera’ yang suka bercumbu dan sering kali tertawa bersama…..Kata-kata bagi saya sangat mempengaruhi setiap perubahan besar yang terjadi di dunia. Dahulu, dapat kita baca dari buku-buku sejarah, bahwa pidato tokoh-tokoh besar dunia seperti Soekarno, Napoleon Bonaparte, Abraham Lincoln, hingga Franklin De Roosevelt, mampu mengubah dunia dengan kata-katanya, dalam pidato-pidato mereka.”

Saya begitu terkesan dan teringat sebuah buku susunan Simon Sebag Montefiore, Speeches That Changed The World (2005) dan sudah diterjemahkan ke bahasa Melayu oleh Nor Idatul Akmar Zulkipli dan Wan Nor Azah Wan Chik dengan tajuk Pidato Yang Mengubah Dunia (ITBM, 2019).

Versi bahasa Melayu ada sedikit kekurangan, empat ucapan yang dikategorikan berjaya mengubah dunia tidak diterjemahkan:  iaitu ucapan Nabi Musa A.S adalah yang pertama “Thou shall have no other gods berfore me”; Nabi Isa A.S (Jesus of Nazareth), “Blessed are the poor in spirit: for their of kingdom of heaven”; Nabi Muhammad SAW, “Turn your face towards the Sacred Mosque”; dan St Francis of Assasi, “My little sisters, the birds, much bounden are you unto God”. Tiada keterangan mengenai ‘tinggalan-tinggalan’ itu. Bagaimanapun, ia tidak mengecewakan sebab dapat kita kaji, ada ucapan-acapan yang bercorak retorik, mengungkapkan kebenaran dan dalam masa yang sama ‘pembohongan besar’ telah berjaya ‘mengubah dunia’ (hal.xi).

Bagi Alif Danya Munsyi, “Pengetahuan kita perkara bahasa , yang patut menurut konteks sopan-santun sebagai orang yang layak disebut bersusila dan bekeperti, berakhlak dan beradab, dan bermoral dan beretika, ditentukan oleh pembedaan dalam memilih khazanah perkataan yang berkonotasi baik dan yang berkonotasi kurang baik.

Kita belajar hal itu dari anjuran-anjuran orang tua. Misalnya, kita tidak menyapa seseorang yang hendak kita hormati dengan memakai kata ‘kamu’ melainkan “anda’; kita tidak menyebut ‘babu’ melainkan ‘pembantu’; kita tidak menyebut ‘kakus’ (yang kita serap dari bahasa Belanda, kak yang artinya tahi dan huis (artinya rumah) melainkan ‘WC’ (yang kita serap pula dari bahasa Belanda water yang artinya air dan  closet yang artinya jamban; kita pun tidak menyatakan ‘berak’ melainkan ‘buang air besar’; kita tidak mengatakan ‘p**i’ melainkan ‘kemaluan’; kita tidak mengatakan ‘mampus’ melainkan ‘mati’; tetapi kita pun tidak mengatakan ‘mati’ melainkan ‘meninggal’; kita tidak mengatakan ‘lonte’ melainkan ‘pelacur’ (sekarang malahan bertambah variasinya antara WTS: wanita tuna susila dan PSK: pekerja seks komersial), dan sebagainya.

Ini memang bagian cara kita membentuk jatidiri di dalam kesibukan dan kerepotan merangkai-rangkaikan nilai baru dan nilai lama ke dalam format apa yang dibahasakan oleh pepatah sebagai ‘bahasa menunjukkan bangsa”, yaitu berbahasa senonoh untuk menceritakan bangsa yang berbudaya; bersusila dan berpekerti, beradab dan berakhlak, bermoral dan beretika.” (Alif Danya Munsyi, Bahasa Menunjukkan Bangsa, Jakarta: KPG, 2005: 86-87).

(BERSAMBUNG)

(Catatan: nalar bahasa Indonesia sengaja saya kekalkan)

Kamarun KH

Translate »