Ia adalah Abu Rasyid, Nafi bin Al-Azraq bin Qais Al-Hanafi, Al-Bakri Al-Wailim Al-Haruri (65 H/685M); pemimpin sekte Azariqah dari kelompok Khawarij. Nama sekte ini dinisbahkan kepada Al-Azraq. Dia dinamakan juga Al-Haruri sebagai salah satu dari kelompok Khawarij yang mengkristal pada masa Ali bin Abu Thalib (23 SH-40 H/600-661M) di Desa Harura’, salah satu desa di pinggir kota Kufah. Kerana itulah, Azariqah juga disebut sekte Haruriah dengan menisbahkannya pada Desa Harura’.
Nafi bin Al-Azraq adalah penduduk kota Basrah dan salah satu ahli fiqih kota tersebut. Kehidupan ilmiahnya dimulai dengan seringnya dia berinteraksi dengan Abdullah bin Abbas r.a.
Ketika revolusi terhadap Utsman bin Affan (47 SH-35H/577-656M) di akhir masa kekhalifahannya dimulai, Nafi dan para pengikutnya turut mendukung revolusi tersebut. Revolusi ini bertujuan untuk menurunkan khalifah ketiga, kerana kelemahan khalifah dan ketidakmampuannya dalam mengekang hawa nafsu kerabatnya, bani Umayyah, yang mendahulukan mereka dalam pemerintahan daripada masyarakat lainnya. Kelompok Azariqah ini mengekspresikan pendapat mereka tentang Utsman dengan ucapan,
“Sesungguhnya dia lebih mendahulukan para kerabat. Ia mengambil mutiara dan meletakkan cemeti. Ia merobek Al-kitab (hukum Al-Quran), memukul orang yang mengingkari kezaliman, melindungi orang yang diusir oleh Rasulullah s.a.w, memukul orang-orang yang terdahulu dalam keutamaan dan mengahramkan mereka, serta mengambil gharta fa’I serta membaginya kepada orang-orang fasik Quraisy dan orang-orang gila bangsa Arab.”
Setelah masa Utsman bin Affan berakhir dengan kesyahidannya Nafi bin Azraq dan kawan-kawannya menjadi pendukung Ali bin Abu Thalib. Mereka berjuang menolongnya dan berperang bersamanya melawan semua musuh dan penentangnya, iaitu Thalhah bin Ubaidillah (28 SH-36 H/596-656 M), Zubeir bin Awwam (28 SH -36H/596-656 M), dan Muawiyah bin Abi Sufyan (20 SH-60 H/603-680 M).
Ketika hasil dari ‘tahkim’ antara Ali dan Muawiyah dalam Perang Shiffin dipublikasikan, Nafi bin Azraq merupakan salah satu pemimpin Khawarij yang menolak hasil tahkim tersebut. Mereka mengangkat semboyan, la hukma illa lillah (tiada hukum kecuali hukum Allah), sehingga mereka kemudian disebut Muhakkimah. Selain itu, mereka juga disebut Haruriyah kerana berpusat di Desa Harura’ dan juga Khawarij kerana-menurut lawan-lawannya-mereka melawan agama dan keluar darinya, sedang menurut mereka sendiri kerana mereka telah membela agama dalam melawan pemimpin-pemimpin yang zalim.
Nafi bin Al-Azraq, sebagaimana halnya seluruh Khawarij, memandang bahawa imamah dan khilafah bagi orang yang layak dan memenuhi syarat-syaratnya, sebagai dua hal yang menolak monopoli Quraisy terhadap imamah dan khilafah, bukan kaum Muslimin pada umumnya. Sebagaimana mereka memandang-berlawanan dengan syiah-bahawa jalan menuju khilafah dan imamah adalah syura (musyawarah), pemilihan dan baiat umat kepada pemimpin, bukan melalui nash, penunjukan, dan warisan.
Sikap mereka terhadap perjalanan sejarh politik khulafaurasyidin adalah wala’ (loyalitas)kepada masa Abu Bakar dan Umar bin Khathab. Adapun keloyalan mereka pada masa Utsman atas urusan kekhalifahan. Setelah masa itu, mereka mengumumkan kebebasannya dari khalifah ketiga. Begitu pula pada masa Ali bin Abu Thalib. Mereka mengumumkan keloyalan sampai terjadinya peristiwa tahkim, kemudian mereka membebaskan diri setelah peristiwa tersebut.
Sedangkan sikap mereka pada kudeta yang dilakukan oleh Muawiyah dan negara bani Umayyah adalah menolak dan membebaskan diri, kerana beranggapan bahwa mereka merupakan orang-orang yang melakukan dosa besar dan bersikukuh atasnya.
Ketika memanasnya pemberontakan terhadap bani Umayyah, terjadi perdebatan antara para ahli fiqih tentang hukum orang yang melakukan dosa besar. Sebagian berpendapat bahawa orang itu munafik, sedang yang lainnya berpendapat bahawa ia mukmin dan kelompok ketiga mengatakan bahawa ia fasik. Adapun pendapat Nafi bin Al-Azraq- dimana pada saat itu ia memimpin pemberontakan Khawarij yang terbesar melawan pemerintahan bani Umayyah-berpendapat bahawa mereka adalah orang yang melakukan dosa besar, di mana bererti ditujukan pada derajat pertama, yakni bani Umayyah, para pembantu dan pendukungnya, adalah kafir dan kekal di dalam nereka. Pendapat ini merupakan awal pemikiran tentang ‘pengafiran orang yang mengucapkan dua kalimat syahadat’ dalam sejarah pemikiran Islam. Pengafiran tersebut berkisar antara ‘kafir syirik’ dan ‘kafir nikmat’, iaitu mengingkari nikmat-nikmat Allah swt.
Khawarij juga berpendapat tentang kebebasan manusia dan pilihannya. Mereka menolak pendapat Jabariyah yang digunakan oleh bani Umayyah untuk menjustifikasi diri mereka terhadap perubahan yang telah mereka adakan dalam filsafat khilafah dan hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin (rakyat).
Mereka berlebihan dalam mewajibkan amar makruf nahi mungkar. Dari sini mereka melangkah kepada teori tsaurah (revolusi) dan mengangkat pedang atau senjata melawan pemimpin yang zalim, fasik, dan lemah. Pendapat ini dapat juga dinamakan ‘teori revolusi terus-menerus’. Mereka mewajibkan pemberontakan dan keluar dari pemerintahan jika jumlah penentang mencapai 40 orang. Mereka menamakan batas ini sebagai had asy-syira (batas pembelian), iaiatu orang-orang yang membeli syurga ketika menjual nyawanya. Wajib atas mereka untuk keluar dan melakukan pemberontakan sampai mati atau menangnya agama Allah Swt serta padamnya kekafiran dan kezaliman.
Apabila jumlah pemberontak di atas tiga orang dan di bawah 40 orang maka mereka berada dalam had ad-difa ( batas pertahanan). Mereka bersiap sebagai orang yang mempertahankan diri terhadap musuhnya, bukan keluar dan menyerang. Jika jumlahnya di bawah tiga orang maka diperbolehkan bagi mereka untuk duduk (diam). Pada saat demikian mereka berada pada maslak al-kitman (jalan menyembunyikan pendapatnya). Apabila negara mereka (Khawarij) telah berdiri dan perkara mereka telah tampak maka pada saat itu, mereka berada pada had adh-dhuhur (batas penampakan dan kemenangan). Ertinya, sikap pemberontakan (revolusi) itu berkisar antara maslak al-kitman (batas menyembunyikan), had ad-difa (mempertahankan diri), had asy-syira (keluar dan melawan), dan had adh-dhuhur (batas penampakan dan kemenangan).
Ketika Abdullah bin Zubeir (1-73 H/622-692 M) melakukan pemberontakan di Makkah, pada masa Yazid bin Muawiyah (25-64 H/645 M), Nafi bin Al-Azraq memanggil para pemberontak Khawarij di kota Basrah agar pergi ke Makkah untuk membantu Ibnu Zubeir melawan bani Umayyah, dan mempertahankan Baitullah Al-Haram melawan pengepungan pasukan Umayyah. Ia berkata kepada para pengikutnya,
“Sesungguhnya Allah Swt telah menurunkan kepada kalian Al-Quran. Di dalamnya, Dia telah mewajibkan atas kalian jihad dan Dia telah berhujjah atas kalian dengan bayan. Sedang pedang para ahli kezaliman dan pemusnahan telah teracungkan di hadapan kalian, dan Ibnu Zubeir telah melakukan pemberontakkan di Makkah maka keluarlah kalian bersama kami, datang ke Baitullah dan bergabung dengan orang tersebut. Jika ia sependapat maka kita berjuang bersamanya melawan musuh, dan jika ia tidak sependapat maka kita berjuang mempertahankan Baitullah semampunya, dan setelah itu kita lihat perkara kita.”
Mereka pun pergi ke Makkah di bawah pimpinannya. Pertempuran antara Ibnu Zubeir dengan pasukan Yazid bin Muawiyah semakin sengit. Mereka bergabung bersama Ibnu Zubeir melawan pasukan Yazid. Ketika Yazid meninggal dan pasukannya kembali dari pengepungan kota Makkah, Nafi bin Al-Azraq dan para pengikutnya berdiskusi dengan Ibnu Zubeir untuk mengetahui pendapatnya tentang Utsman bin Affan, apakah ia sependapat dengan mereka, atau di barisan orang-orang yang berbeza dengan mereka. Diskusi tersebut berakhir dengan pernyataan Ibnu Zubeir tentang perbezaan pendapatnya dalam perkara Utsman, sehingga mereka menolak membantunya dan meninggalkan Makkah untuk kembali ke Basrah.
Di kota Basrah, bentrokan antara Khawarij yang dipimpin oleh Nafi bin Al-Azraq melawan gubernur bani Umayyah terus berlanjut. Sampai akhirnya kota Basrah dilanda keguncangan yang ditimbulkan oleh finah antara sebagian kabilah-kabilahnya. Keguncangan dan huru-hara ini dimanfaatkan oleh Khawarij untuk melakukan pemberontakkan terbesar, dimulai dengan penghancuran pintu-pintu penjara, kemudian keluar ke daerah Ahwaz. Di daerah Ahwaz dan sekitar Basrah terjadi gelombang peperangan sengit yang berlangsung beberapa bulan, di mana banyak pemimpin dan panglima perang bani Umayyah terbunuh. Begitu pula dengan Nafi bin Al-Azraq. Ia terbunuh dalam peperangan di daerah Daulab yang berekatan dengan Ahwaz.
Perlawanan Azariqah ini merupakan pemberontakan Khawarij terbesar dalam melawan pemerintah bani Umayyah. Bahkan, banjir darah pemberontakan tersebut mampu melumpuhkan pemerintahan. Kondisi ini dimanfaatkan oleh pasukan Khurasan untuk memberontak, hingga bani Abbasiyah yang memetik hasilnya.
Catatan Ibnu Abas
Recent Comments