Perubahan Negara ke arah yang lebih maju, hendaknya diiringi dengan keinginan generasi penerus untuk tidak melupakan sejarah bangsanya. Soekarno pernah mengatakan, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarah dan menghargai jasa-jasa pahlawannya”. Semboyan ini perlu diabadikan karena banyaknya generasi muda yang tidak mengetahui sejarah bangsanya. Bahkan para pelaku sejarah banyak yang telah tiada dan bukti-bukti sejarah telah banyak yang rusak atau hilang, sehingga perlu kiranya kita menggeneralisasikan sejarah kepada yang lebih muda. Salah satu cara menggeneralisasikan sejarah ini, yaitu dengan cara menggali, menyusun dan menulis kembali sumber-sumber sejarah yang ada seobjektif mungkin menjadi sebuah buku sejarah yang lebih refresentatif sehingga dapat dibaca dan dipelajari oleh generasi penerus bangsa.

Di Siak Sri Indrapura, misalnya banyak sumber-sumber sejarah seperti; dokumen, arsip dan catatan-catatan sejarah lainnya yang belum tergarap dengan baik. Sumber sejarah tersebut belum terkumpul dan masih berserakan di daerah Siak, Riau maupun di luar Riau, bahkan ada yang terdapat di luar negeri.

Secara keseluruhan sebenarnya Sejarah Kerajaan Siak belum terungkap sama sekali, bahkan dalam buku Sejarah Riau (Mukhtar Lutfi, dkk, 1977), informasi tentang Kerajaan Siak hanya terdapat beberapa lembar pembahasan saja, sehingga belum dapat dikatakan mewakili Sejarah Kerajaan Siak secara utuh. Nilai, jiwa dan semangat kejuangan Kerajaan Siak belum tergambar sebagai refleksi perjuangan rakyat Siak yang berjiwa kesatria, bahkan sebagian pejuang menyandang sebutan kepahlawanan. Oleh karena itu, Sejarah Kerajaan Siak perlu segera di gali melalui kegiatan penelitian yang direncanakan ini.

Pada tahun 1980-an banyak diterbitkan buku-buku sejarah yang berhubungan dengan daerah Siak dan Riau pada umumnya seperti; Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme Kolonialisme di Riau oleh Suwardi MS dkk, (1981). Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Riau oleh Marlely Rahim (1983). Menegakkan Merah Putih di Daerah Riau oleh Hasan Basri (1985). Raja Ali Haji Fisabilillah Dalam Perang Riau Melawan Belanda oleh Rustam S. Abrus (1989). Sultan Syarif Kasim II Sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemda Bengkalis (1997). Walaupun buku di atas sudah banyak yang terbit, tetapi dalam jumlah yang masih terbatas, sehingga masyarakat belum banyak mengenal dan mengetahui secara luas tentang Sejarah Kerajaan Siak Sri Indrapura khususnya, karena buku sejarah yang diterbitkan tersebut lebih banyak mengupas Sejarah Riau.

Menurut Husein Djajadiningrat (1965), sebagai salah seorang pakar sejarah dan bahasa, mengatakan bahwa peninggalan Sejarah Lokal mempunyai arti penting sebagai sumber sejarah. Untuk itu, sumber Sejarah Lokal Siak yang tersusun dalam buku-buku di atas belum mampu menunjukan semangat kejuangan Rakyat Siak yang lebih refresentatif untuk di jadikan pegangan sejarah bagi generasi muda khususnya di daerah Siak dan Riau pada umumnya. Kalau kita bandingkan pada daerah lain di luar Riau, seperti daerah Sumatera Utara dan Sumatera Barat mereka memiliki sumber sejarah yang lebih refresentatif dan memuat berbagai informasi, data yang relatif akurat dan dapat dibaca, dipelajari serta dipahami oleh generasi mendatang.

Pada tahun 2002-2004 para Sejarahwan yang tergabung di dalam Masyarakat Sejarah Indonesia (MSI) Cabang Provinsi Riau telah berusaha menggali sumber Sejarah Riau yang ada di berbagai tempat di wilayah Indonesia seperti; Padang, Medan, Yogyakarta, dan Museum Nasional Jakarta. Namun data atau informasi tentang Kerajaan Siak Sri Indrapura belum terungkap secara keseluruhan.

Sumber sejarah pribumi yang patut dipelajari dalam mengkaji Sejarah Kerajaan Siak Sri Indrapura adalah sumber-sumber melayu seperti; otobiografi, sajak deskriptif, perundang-undangan, buku harian, surat pribadi dan memoranda, termasuk literatur Melayu Kuno merupakan bahan sejarah beharga (Soejatmoko, dkk, 1995).

Pada Arsip Nasional Jakarta terdapat sumber sejarah lainnya, mengenai laporan dan perjanjian kerajaan-kerajaan Riau umumnya dan Siak khususnya dengan Pemerintahan Belanda (VOC), Inggris dan juga telah terkumpul sumber sejarah lisan yang perlu dikaji ulang terutama yang terekam dalam media audio visual. Puntowidjoyo dalam bukunya Metode Sejarah (1994), mengatakan bahwa pada zaman modern ini banyak permasalahan sejarah yang tidak terungkap dalam dokumen-dokumen, sehingga sejarah lisan dapat dijadikan sebagai metode dan bahan dokumenter.

Anthony Reid (1987) mengatakan, bahwa Siak Sri Indrapura pada masa pemerintahan Sultan Syarif Kasim (1915 -1945) akan tetap dikenang oleh rakyatnya sebagai sultan yang telah memajukan pendidikan dan pembaharuan pemerintahan. Tetapi dimata Belanda, daerah itu adalah daerah yang bertuan sendiri karena bebasnya.

Dalam penyusunan dan penulisan Sejarah Kerajaan Siak Sri Indrapura ini perlu dikaji pula konsep etika kehidupan berbangsa sebagaimana yang dituangkan dalam Sidang Tahunan MPR tahun 2001, antara lain; “……mencermati berbagai kondisi masa lalu dan masa kini serta tantangan masa depan diperlukan pokok-pokok etika kehidupan berbangsa yang mengacu kepada cita-cita persatuan dan kesatuan,……….pokok-pokok etika mengedepankan kejujuran, amanah, keteladanan, sportifitas, disiplin, kemandirian, sikap toleransi, rasa tanggung jawab, menjaga kehormatan serta martabat diri sebagai warga bangsa yang dapat mencerminkan watak dan jati diri bangsa (character and identity building). Kesemua butiran di atas tentu saja bersumber dari sejarah perjuangan di daerah-daerah, termasuk Siak Sri Indrapura.

Sejarah telah membuktikan, bahwa nilai-nilai kejuangan, keperintisan, kepeloporan dan kepahlawanan dari pendukung budaya Melayu telah membuktikan dirinya sebagai bagian dari budaya bangsa yang besar dan dihormati sehigga perlu untuk dilestarikan. Kerajaan Siak Sri Indrapura didirikan pada tahun 1723 M oleh Raja Kecil yang bergelar Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah putera Raja Johor (Sultan Mahmud Syah) dengan istrinya Encik Pong, dengan pusat kerajaan berada di Buantan. Konon nama Siak berasal dari nama sejenis tumbuh-tumbuhan yaitu siak-siak yang banyak terdapat di situ. Sebelum kerajaan Siak berdiri, daerah Siak berada dibawah kekuasaan Johor. Yang memerintah dan mengawasi daerah ini adalah raja yang ditunjuk dan di angkat oleh Sultan Johor. Namun hampir 100 tahun daerah ini tidak ada yang memerintah. Daerah ini diawasi oleh Syahbandar yang ditunjuk untuk memungut cukai hasil hutan dan hasil laut. Pada awal tahun 1699 Sultan Kerajaan Johor bergelar Sultan Mahmud Syah II mangkat dibunuh Magat Sri Rama, istrinya yang bernama Encik Pong pada waktu itu sedang hamil dilarikan ke Singapura, terus ke Jambi. Dalam perjalanan itu lahirlah Raja Kecil dan kemudian dibesarkan di Kerajaan Pagaruyung Minangkabau. Sementara itu pucuk pimpinan Kerajaan Johor diduduki oleh Datuk Bendahara tun Habib yang bergelar Sultan Abdul Jalil Riayat Syah.

Setelah Raja Kecil dewasa, pada tahun 1717 Raja Kecil berhasil merebut tahta Johor. Tetapi tahun 1722 Kerajaan Johor tersebut direbut kembali oleh Tengku Sulaiman ipar Raja Kecil yang merupakan putera Sultan Abdul Jalil Riayat Syah. Dalam merebut Kerajaan Johor ini, Tengku Sulaiman dibantu oleh beberapa bangsawan Bugis. Terjadilah perang saudara yang mengakibatkan kerugian yang cukup besar pada kedua belah pihak, maka akhirnya masing-masing pihak mengundurkan diri. Pihak Johor mengundurkan diri ke Pahang, dan Raja Kecil mengundurkan diri ke Bintan dan seterusnya mendirikan negeri baru di pinggir Sungai Buantan (anak Sungai Siak). Demikianlah awal berdirinya kerajaan Siak di Buantan.

Namun, pusat Kerajaan Siak tidak menetap di Buantan. Pusat kerajaan kemudian selalu berpindah-pindah dari kota Buantan pindah ke Mempura, kemudian pindah ke Senapelan Pekanbaru dan kembali lagi ke Mempura. Semasa pemerintahan Sultan Ismail dengan Sultan Assyaidis Syarif Ismail Jalil Jalaluddin (1827-1864), pusat Kerajaan Siak dipindahkan ke kota Siak Sri Indrapura dan akhirnya menetap di sana sampai akhirnya masa pemerintahan Sultan Siak terakhir. Pada masa Sultan ke-11 yaitu Sultan Assayaidis Syarief Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin yang memerintah pada tahun 1889 – 1908, dibangunlah istana yang megah terletak di kota Siak dan istana ini diberi nama Istana Asseraiyah Hasyimiah yang dibangun pada tahun 1889. Pada masa pemerintahan Sultan Syarif Hasyim ini Siak mengalami kemajuan terutama dibidang ekonomi. Dan masa itu pula beliau berkesempatan melawat ke Eropa yaitu Jerman dan Belanda. Setelah wafat, beliau digantikan oleh putranya yang masih kecil dan sedang bersekolah di Batavia yaitu Tengku Sulung Syarif Kasim dan baru pada tahun 1915 beliau ditabalkan sebagai Sultan Siak ke-12 dengan gelar Assayaidis Syarif Kasim Abdul Jalil Syaifuddin dan terakhir terkenal dengan nama Sultan Syarif Kasim Tsani (Sultan Syarif Kasim II). Bersamaan dengan diproklamirkannya Kemerdekaan Republik Indonesia, beliau pun mengibarkan bendera merah putih di Istana Siak dan tak lama kemudian beliau berangkat ke Jawa menemui Bung Karno dan menyatakan bergabung dengan Republik Indonesia sambil menyerahkan Mahkota Kerajaan serta uang sebesar Sepuluh Ribu Gulden. Sejak itu, beliau meninggalkan Siak dan bermukim di Jakarta. Baru pada tahun 1960 kembali ke Siak dan mangkat di Rumbai pada tahun 1968. Beliau tidak meninggalkan keturunan baik dari Permaisuri Pertama Tengku Agung maupun dari Permaisuri Kedua Tengku Maharatu. Pada tahun 1997 Sultan Syarif Kasim II mendapat gelar Kehormatan Kepahlawanan sebagai seorang Pahlawan Nasional Republik Indonesia. Di awal Pemerintahan Republik Indonesia, Kabupaten Siak ini merupakan Wilayah Kewedanan Siak di bawah Kabupaten Bengkalis yang kemudian berubah status menjadi Kecamatan Siak. Barulah pada tahun 1999 status kecamatan Siak berubah menjadi Kabupaten Siak dengan ibukotanya Siak Sri Indrapura.

Semua data di atas menunjukkan demikian hebatnya sejarah Melayu Riau masa lalu. Namun, tatkala kembali ditanyakan pada generasi hari ini, maka sangat sedikit yang mengerti. Hal tersebut disebabkan karena data historis tersebut tudak terekam secara baik dalam kurikulum dan materi ajar di lembaga pendidikan di bumi Lancang Kuning ini.

Oleh Prof. Dr. H. Samsul Nizar, MA

Translate »