Selama di dunia kita tidak mengetahui siapa saja di antara kita yang ahli surga maupun ahli neraka kecuali orang-orang yang mendapatkan nash jaminan masuk surga, seperti sepuluh orang yang telah dijanjikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara mereka adalah Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Sa’ad bin Abi Waqash, Abdurrahman bin Auf dan lain sebagainya. Di luar orang yang mendapat jaminan, tidak ada makhluk manapun yang dapat memastikan orang ini masuk ke surga atau neraka.

Namun setidaknya, Abdullah bin Zaid radliyallahu anh sebagaimana dikutip oleh Abdul Wahab as-Sya’rani dalam Mukhtashar at-Tadzkirah lil Qurthubi (Kairo, Dâru Ihya’ al-Kutub al-Arabiyyah, halaman 93) memberikan gambaran ciri-ciri orang ahli surga yang dapat ditelisik saat mereka masih di dunia sesuai dengan sifat yang telah difirmankan dalam Al-Qur’an.

Di antara mereka ciri ahli surga yang dapat dilihat di dunia ini adalah orang yang hidupnya penuh dengan kesedihan, galau, menangis, dan takut akan adzab Allah. Kesedihan dan galau di sini bukan sebab memikirkan masalah dunia, namun sedih tentang bagaimana hubungannya dengan Allah, nasibnya di akhirat kelak dan seterusnya. Dengan kesedihan yang mendalam tersebut, Allah subhânahu wa ta’âlâ menggantinya dengan hidup penuh kebahagiaan di akhirat kelak.

قَالُوا إِنَّا كُنَّا قَبْلُ فِي أَهْلِنَا مُشْفِقِينَ، فَمَنَّ اللَّهُ عَلَيْنَا وَوَقَانَا عَذَابَ السَّمُومِ

Artinya: “Mereka berkata ‘Sesungguhnya kami dahulu, sewaktu berada di tengah-tengah keluarga kami merasa takut (akan diazab). Maka Allah memberikan karunia kepada kami dan memelihara kami dari azab neraka’.” (QS At-Thȗr: 26-27)

Demikian berlaku sebaliknya. Allah juga memberikan ciri-ciri orang yang kelak akan menghuni neraka. Yaitu orang yang di dunia selalu bergembira ria dan tertawa-tawa (melupakan akhirat, red).

إِنَّهُ كَانَ فِي أَهْلِهِ مَسْرُورًا

Artinya: “Sesungguhnya dia dahulu (di dunia) bergembira di kalangan kaumnya.” (QS Al-Insyiqaq: 13)

Dalam tafsir al-Jalalain dikatakan, maksud bergembira di sini adalah dengan mengikuti hawa nafsunya.

Dengan demikian kita dapat mengambil pelajaran, betapa pentingnya memikirkan nasib kita di akhirat. Kata Buya Hamka, “kalau hidup sekadar hidup, babi di hutan pun hidup. Kalau bekerja sekadar bekerja, kera juga bekerja.” Oleh karena itu, sebagai umat Islam kita tidak boleh sekadar makan, bekerja dan bercanda.

Islam tidak menentang kemajuan. Islam tidak anti terhadap inovasi. Tapi terobosan-terobosan manusia Muslim tetap berdasar keimanan dan ketakwaan. Umat Islam perlu memikirkan kehidupan setelah mati secara serius supaya tidak terbuai dengan rayuan dunia yang bisa menjadikan orang lalai, korupsi, dan lain sebagainya.

Dipetik:NU on line

Translate »