Kenapa kita dilahirkan di dunia? adalah pertanyaan yang selalu beruputar-putar di dalam pikiran manusia ketika ia mulai berpikir tentang penciptaan manusia dan hakikat hidup di dunia. Sebuah pencarian panjang tentang tujuan hidup manusia di dunia hingga akhirnya menemukan jawaban tersebut.

Dunia secara etimologi berasal dari bahasa arab, yaitu dari akar kata “dana-yadnu-dunyanan” yang bermakna dekat dan singkat, sebagaimana yang dimaksud di dalam Al-Quran Surah Ar-Rahman ayat 26 Allah Subhanahu wa Ta ‘ala berfirman “Semua yang di dunia akan binasa“. Sedangkan di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dunia berarti alam kehidupan atau segala yang bersifat materialisme yang tidak kekal.

Sedangkan di dalam pengertian terminologi, Surah Al-Ankabut ayat 64 Allah Subhanahu wa Ta ‘ala berfirman “Dan tiadalah kehidupan dunia ini selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa, maka tidakkah kamu memahaminya ?“.

Baginda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Dunia merupakan penjara bagi orang beriman dan surga bagi orang kafir”(HR. Muslim Nomor 2329). Imam Nawawi rahimahullah dalam Syarah Muslim mengatakan “Orang mukmin terpenjara di dunia karena mesti menahan diri dari berbagai syahwat yang diharamkan dan dimakruhkan. Orang mukmin juga diperintah untuk melakukan ketaatan…..”.

Jika kita telaah dan kita fahami makna dari dunia, maka yang kita dapati dunia itu hanyalah bersifat fana. Artinya segala sesuatunya yang ada di dunia itu memiliki awal dan akhir, alpha dan omega, yin dan yang. Semua datang silih berganti dan berpasang-pasangan berdasarkan kehendak dzat Rabulalamin.

Sebagaimana firmannya di dalam Surah Ali Imran ayat 140 “…..Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, kami pergilirkan diantara manusia (agar mendapat pelajaran)…” ayat ini diturunkan saat tentara muslimin sedang mengalami kekalahan di perang uhud. Ayat ini diturunkan untuk menenangkan hati kaum muslimin yang terguncang akibat kekalahan perang uhud.

Hikmah dan pelajaran yang dapat diambil dari peristiwa itu adalah kesabaran dalam menerima ujian tersebut. Karena sesungguhnya kaum mukmin itu diberikan dua kebaikan, jika ia diuji dengan kelapangan dia bersyukur dan ketika ia diuji dengan kesempitan dia bersabar.

Pertanyaan selanjutnya mengapa kaum mukmin dapat seperti itu? jawabannya adalah dengan berpikir. Berpikir, menelaah dan meneliti dengan suatu metodologi yang telah teruji validitasnya atas setiap fenomena-fenomena baik yang tersirat maupun yang tersurat. Itulah semuanya hakikat dari makna Iqro yang berarti bacalah, fahamilah, analisislah, telitilah dan telaahlah.

Perintah pertama di dalam Al-Qur’an adalah perintah untuk berpikir, sebagaimana yang disebut Descrates “cogito ergo sum” aku ada karena aku berpikir. Berpikirlah dan membacalah dengan menggunakan akalmu sungguh kau akan menemukan tanda-tanda keberadaan tuhan.

Al-Quran tidak melarang umatnya untuk berpikir, namun sebaliknya Al-Quran malah mengajak, memerintahkan bahkan menantang agar manusia berpikir dengan akalnya sehingga dia dapat menemukan tanda-tanda eksistensi Allah Subhanahu wa Ta ‘ala.

Karena sejatinya akal itu sendiri adalah hidayah dari Allah Subhanahu wa Ta ‘ala, maka Allah lah yang paling memahami tentang hakikat kemampuan akal manusia tersebut. Allah Subhanahu wa Ta ‘ala menghendaki manusia untuk mengimaninya bukan dengan penghambaan yang buta.

Namun sebaliknya Allah Subhanahu wa Ta ‘ala memerintahkan pengimanan atas dirinya berdasarkan pembuktian, berdasarkan bukti-bukti kebenarannya, sehingga akan menjadi kokohlah keimanan seorang hamba tersebut.

Laksana seseorang yang kehilangan kudanya dipadang pasir, dimana ia hanya menemukan jejak-jejak kaki kudanya, kemudian disusurinyalah padang pasir itu dengan sabar, apakah orang tersebut melihat kudanya? jawabannya tidak, ia hanya berpatokan pada tapak kaki kuda yang terpatri di atas padang pasir tersebut.

Namun dia berkeyakinan bahwa jejak tersebut adalah jejak kuda, bukan jejak hewan lain dan ia berharap kuda itu adalah kudanya, karena dari ilmu pengetahuan yang ia pelajari bentuk jejak seperti itu adalah bentuk jejak kuda, hingga akhirnya setelah sekian lama orang tersebut berjuang mencari kudanya akhirnya ditemukanlah kuda tersebut.

Betapa girangnya orang tersebut atas pencariannya, disana berpadu antara sunatullah berupa perbuatan yang dilandasi ilmu pengetahuan dan pengharapan kepada Allah akan ditemukannya kuda miliknya, inilah sejatinya yang disebut sebagai konsep Tawakal.

Seperti itulah analogi seorang mukmin dalam mencari tuhannya dan memahami tuhannya, ia membaca tanda-tanda keberadaan tuhannya dari bukti-bukti yang telah disebar tuhannya, dan untuk itu ia harus berpikir serta berharap kepada dzat pemilik jiwanya, karena tanpa berpikir dan berharap diri maka orang tersebut akan mudah tersesat.

Hingga akhirnya pada satu titik ia akan menemukan kemana ia akan kembali yaitu Allah Azza wa Jalla. Sebagaimana di dalam firman Allah Subhanahu wa Ta ‘ala di ujung Surah Al-Baqarah ayat 28 “………… kemudian kepadanyalah kamu dikembalikan”. Kesanalah akhir tujuan hidup manusia, dari Allah manusia berasal dan kepada Allah juga manusia akan kembali.

Maka apa yang telah kita persiapkan untuk menghadapnya kelak ? Apakah akal yang telah dikaruiniakan oleh Allah kepada kita telah kita fungsikan sebagaimana yang Allah kehendaki atau justru kita fungsikan berdasarkan hawa nafsu kita ?.

Karena dengan akal, manusia dapat menemukan Allah Subhanahu wa Ta ‘ala dan dengan akal pula manusia dapat mengikat hawa nafsunya, sehingga ia tidak terjun pada derajat yang lebih rendah daripada binatang, namun sebaliknya tinggi membumbung melebihi malaikat. Karena sejatinya akal berasal dari bahasa arab yang berarti ikatan.

Akal yang telah dipahami dengan tujuan penciptaan dan norma-norma agama akan menjadi tali kekang dan cemeti terhadap hawa nafsu hewaniah manusia, sebagaimana perkataan Syeh Abdul Qadir Jailani, “Wahai goulam, janganlah sekali-sekali kau kendurkan cemeti nafsumu, ambil lah dunia dengan tangan agama”. Allah tidak menghendaki manusia membelenggu akalnya namun Allah menghendaki manusia mengendalikan akalnya.

Manusia hidup di dunia hanyalah semata-mata untuk mengumpulkan bekal untuk menghadap Allah Subhanahu wa Ta ‘ala dan bukan untuk mencari kebahagiaan hidup di dunia. Maka adalah suatu kemustahilan jika berharap kebahagiaan selama hidup dunia akan berlangsung abadi.

Dengan uang manusia beranggapan dapat terhindar dari kesusahan. Dengan kekuasaan manusia beranggapan dapat terhindar dari kesusahan. Dengan ilmu pengetahuan manusia beranggapan dapat terhindar dari kesusahan.

Semua itu hanyalah perbuatan sia-sia semata, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta ‘ala di dalam Surah Al-Humazah ayat 3-4 “Dia manusia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya, sekali-sekali tidak, pasti dia akan dilemparkan ke dalam neraka Hutamah”.

Apakah sekarang ini ada yang lebih berkuasa daripada Firaun ? Apakah sekarang ini ada yang lebih cerdas daripada Hamman? Apakah sekarang ini ada yang lebih kaya daripada Qarun ? Dan bagaimana kah kesudahan hidup mereka? Apakah kekuasaan, ilmu pengetahuan dan harta tersebut mengekalkan mereka? Apakah itu semua membahagiakan mereka?.

Namun dengan ilmu pengetahuan, dengan harta dan dengan kekuasaan itu pula manusia dapat memperoleh ridho Allah Subhanahu wa Ta ‘ala asalkan manusia tersebut paham akan tujuan penggunaannya.

Allah Subhanahu wa Ta ‘ala menghendaki manusia berani dalam menghadapi hidup, sebagaimana petuah dari Buya Hamka Rahimahullah, satu ‘usri diapit dengan 2 (dua) yusra sebagaimana di dalam Surah Asy Syarah ayat 5 dan 6, maksudnya jika Allah Subhanahu wa Ta ‘ala menutup satu jalan maka ia akan membukakan banyak jalan, sehingga tidak ada alasan manusia untuk takut.

Hakikat kebahagian dan kesusahan hidup di dunia adalah silih berganti, tiada yang abadi. Karena sejatinya yang abadi adalah ia Al-Hayyu Al-Qayyum, yang maha hidup lagi maha berdiri sendiri.

Yang harus dipersiapkan justru adalah keikhlasan itu sendiri. Sabar dalam kesempitan dan bersyukur dalam kelapangan pada akhirnya mendekatkan manusia pada keikhlasan.

Al Quran selalu menanti untuk dikaji, maka kajilah Al Quran itu dengan segala disiplin ilmu, karena hanya seorang sarjana sastralah yang dapat merasakan tingginya bahasa Al Quran, hanya sarjana biologilah yang memahami sistematisnya teori penciptaan, hanya sarjana astronomilah yang memahami keteraturan tata surya dan hanya sarjana hukumlah yang memahami keindahan bentuk keadilan yang kesemua jawaban tersebut ada dalam Al-Quran.

Al Quran ibarat samudra tak bertepi, maka teruslah dikaji untuk memuaskan dahaga keilmuan kita. Sebagaimana di dalam firman Allah Subhanahu wa Ta ‘ala di dalam Surah Al-Kahfi ayat 109 “Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)”.

Begitu indahnya firman Allah dalam menggambarkan betapa luasnya samudra ilmu Allah jika dibandingkan dengan ilmu manusia, dengan memahami betapa luasnya ilmu Allah maka semakin kecillah kita memandang diri ini.

Akhirul kalam segala kebenaran datangnya dari Allah Subhanahu wa Ta ‘ala dan segala kesalahan datangnya dari Penulis yang Al-Fakir Al-Dhaif.

Sumber : qureta.com

Translate »