Bidadari surga seolah menjadi alasan banyak orang untuk melakukan jihad. Bahkan, beberapa menggunakan cara-cara yang kurang elok. Tak jarang pula memakai kekerasan untuk melegitimasi hal tersebut.
Bagaimana sebenarnya hukum Islam melihat konsep ini? Simak analisis hadis dan konteksnya di bawah ini.
Konon, motivasi terbesar mereka yang menebar teror maupun melakukan bom bunuh diri, pembunuhan, dan kemungkaran lainnya adalah mendapatkan 72 bidadari di surga. Mereka yang mengatasnamakan agama menganggap dirinya sebagai mujahid laiknya para sahabat yang ikut berperang di masa Nabi dulu, sehingga merasa berhak untuk mendapatkan fasilitas surga seperti halnya para mujahid lainnya.
Sebetulnya, menyebut teroris sebagai mujahid merupakan kekeliruan dan permasalahan. Jihad yang mereka lakukan sekarang justru sangat bertolak belakang dengan jihad yang dilakukan di masa Nabi dan juga para sahabatnya. Terlebih lagi, ada banyak etika Islam dan prinsip kemanusiaan yang mereka langgar.
Impian akan mendapatkan 72 bidadari ini disebutkan dalam hadis riwayat al-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad yang bersumber dari sahabat Miqdam bin Ma’di. Rasulullah bersabda:
“Orang yang mati syahid mendapatkan tujuh keistimewaan dari Allah; diampuni sejak awal kematiannya, melihat tempatnya di surga, dijauhkan dari azab kubur, aman dari huru-hara akbar, diletakkan mahkota megah di atas kepalanya yang terbuat dari batu yakut terbaik di dunia, dikawinkan dengan tujuh puluh dua bidadari, serta diberi syafaat sebanyak 70 orang dari kerabatnya.”
Merujuk pada ilmu hadis, ketika ditemukan sebuah riwayat, maka yang pertama kali dilakukan adalah analisis autentisitas sanad, setelah itu baru dilakukan analisis matan hadis (redaksional).
Andaikan hadis tersebut sahih dan redaksinya juga tidak bermasalah, hadis tersebut belum tentu bisa diamalkan karena perlu ditinjau lagi dengan metode pemahaman hadis. Tingkah langkah ini mesti digunakan dalam memahami hadis agar tidak terjebak dalam kekeliruan dan kesalahan.
Analisis Sanad
Menurut al-Tirmidzi, hadis di atas termasuk kategori hadis hasan. Akan tetapi, jika ditelaah lebih lanjut, di dalam sanad hadis terdapat dua perawi yang perlu diperhatikan, yaitu Baqiyah bin Walid dan muridnya, Nu’aim bin Hammad.
Pasalnya, Baqiyah dikenal sebagai seorang mudallis ((mereka yang mengaku mendapatkan hadis-ed), tapi ketadlisannya ini dinilai tidak merusak sanad, karena ia meriwayatkan hadis ini dari rawi yang tak diragukan lagi kredibilitasnya, sekalipun ia hanya menyebut gelar gurunya saja, dan tidak menyebut namanya secara langsung.
Sementara Nu’aim bin Hammad adalah orang yang sangat jujur, tapi sering melakukan kesalahan dalam periwayatan. Oleh karena itu, banyak juga ulama yang mendaifkannya.
Namun, di sisi lain, para ulama, seperti Ibnu Ma’in, memuji ketangguhannya membela sunnah Nabi. Bahkan, ia pernah masuk penjara dan meninggal di sana lantaran membela sunnah.
Mayoritas ulama hadis berpendapat bahwa riwayat Nu’aim dapat diterima selama ia meriwayatkan hadis tersebut dari orang Syam yang kredibel. Dan hampir semua guru-guru Nu’aim dalam hadis ini merupakan orang-orang Syam. Sehingga, dalam hal ini, penulis setuju dengan penilaian al-Tirmidzi, yang mengatakan hadis ini Hasan.
Hasan adalah sebutan untuk hadis yang hafalan salah satu perawinya tidak sekuat hadis sahih. Posisinya terletak antara sahih dan daif.
Analisis Matan dan Bagaimana Memahaminya
Timbulnya kata “bidadari (hur al-‘ain)” dalam hadis ini menarik untuk dicermati. Soalnya, dalam riwayat lain, imbalan menikah dengan 72 tidak disebutkan. Perlu bahasan khusus untuk membuktikan apakah redaksi menikahi 72 bidadari merupakan tambahan (idraj) dari perawi atau bukan.
Terlepas dari persoalan ini, yang menarik untuk dipertanyakan adalah apakah imbalan bidadari itu faktual atau hanya sekadar ilustrasi?
Dalam literatur Islam, keindahan surga dinarasikan dengan sebuah tempat yang indah, penuh pepohonan, ada sungai yang mengalir, dan disediakan pula bidadari-bidadari cantik untuk para penghuninya. Gambaran ini tak jauh berbeda dengan pemandangan lokasi-lokasi wisata yang ada di Indonesia. Bagi orang Indonesia, mungkin narasi seperti ini tidak terlalu fantastis, karena kita sudah terbiasa melihat pemandangan seperti itu.
Cerita bisa lain jika ilustrasi ini disampaikan kepada orang Arab. Dulu, ketika Alquran diturunkan, negeri mereka masih gersang, tandus, dan panas. Sehingga, gambaran tentang pohon, sungai, plus bidadari cantik ialah ilustrasi paling pas untuk menggambarkan keindahan surga.
Impian menikah dengan bidadari kelihatannya merupakan iming-iming yang sangat menggiurkan bagi masyarakat Arab yang masih kental dengan pernikahan antar sesama klan dan mahar tinggi.
Dilihat dari aspek bahasa, kata hur al-‘ain (yang diterjemahkan dengan bidadari oleh banyak penerjamah) terdiri dari dua kata, hur artinya wanita yang putih, sementara al-‘aindiartikan wanita yang memiliki mata bulat yang indah.
Hal ini secara tidak langsung menunjukan bahwa wanita paling cantik menurut bangsa Arab waktu itu ialah wanita yang berkulit putih dan bermata bulat. Standar ini tentu sangat relatif, masing-masing daerah memiliki standar yang berbeda-beda mengenai kecantikan perempuan.
Andaikan kisah tentang bidadari itu faktual, pertanyaan lanjutannya, siapa yang berhak memilikinya? Siapa yang dimaksud dengan syahid dalam hadis di atas?
Syahid bisa diartikan dengan “yang banyak disaksikan”, sebab kelak Allah dan para malaikat akan menyaksikan mereka masuk surga dan mereka juga akan menyaksikan kenikmatan yang dijanjikan Allah kepadanya. Sementara secara terminologis, syahid berarti orang yang meninggal di jalan Allah karena membela agama Allah.
Kemudian syahid juga identik dengan jihad, yang berati mencurahkan kemampuan, usaha, dan seluruh tenaga. Berikutnya, kata jihad ini mengalami perkembangan makna.
Jihad selalu diidentikkan dengan peperangan dan pertumpahan darah. Padahal, bila diperhatikan dalam Alquran dan hadis, jihad tidak hanya sekadar perang.
Ibnu Umar mengatakan bahwa jihad adalah perbuatan baik (ihsan) dan perbuatan baik tidak selalu berati berperang, apalagi melakukan aksi terorisme dan menganggu ketertiban umum, semisal bom bunuh diri. Dalam hadis lain juga disebutkan, orang yang meninggal karena sakit perut pun dapat dikategorikan mati syahid.
Intinya, ada banyak tafsir dan penggunaan kata syahid dan jihad dalam Alquran dan hadis. Sekali lagi, andaikan menikahi bidadari dengan 12 itu benar, kita juga perlu bertanya ulang, apakah layak mereka yang membunuh orang atas nama agama itu mendapatkan fasilitas tersebut? Bukankah melakukan pembunuhan, perang, dan bom bunuh diri di saat negara dalam keadaan aman merupakan tindakan kriminal yang dilarang agama?
Sejarah Nabi SAW pun berkata demikian. Beliau tidak pernah mendeklarasikan perang kecuali jika diserang terlebih dahulu dan demi menyelamatkan diri.
Sumber : qureta.com
Recent Comments