Homo sapien (manusia) adalah makhluk yang pandai beradaptasi. Kalau tak pandai pastilah sudah punah sejak lama, seperti nasib homo erectus, homo habilis, dan homo neanderthal. Tapi, homo sapien juga dikenal makhluk paling ngeyel dalam menyikapi setiap perubahan. Jika ada sesuatu yang berubah di sekitarnya, manusia secara spontan akan menolak atau paling tidak menunda untuk menerimanya.

Beradaptasi memang bukan perkara mudah. Tak ada orang yang dengan enteng meninggalkan zona nyaman. Seperti kata John Maynard Keynes, ekonom agung asal Inggris itu: “yang jadi masalah bukanlah mendukung ide-ide baru, tapi bagaimana meninggalkan kebiasaan lama.” Kita sering antusias berbicara tentang hal-hal futuristik, tapi begitu hal-hal itu ada di depan kita, belum tentu kita siap menerimanya.

Ini berlaku pada dunia perbukuan dan bagaimana kita menyikapi buku. Sejak semakin mudahnya akses terhadap internet, industri bacaan digital semakin bergelora. Perusahaan-perusahaan baru terus lahir, mengikuti jejak sukses Amazon, toko buku online pertama yang jenis usahanya kini merambah beyond books. Perusahaan-perusahaan lama tak mau ketinggalan, ikut terjun membuka toko online atau membuka layanan digital bagi para pelanggannya.

Masalahnya adalah agresifitas industri buku digital tidak diiringi dengan turn-out yang sepadan. Kendati hampir semua orang berbicara tentang ebook sebagai masa depan buku dan ratusan toko buku virtual didirikan setiap tahunnya, angka penjualan buku-buku digital tidak seperti yang diharapkan.

Sebagai contoh, Amazon, toko buku terbesar di planet ini, hanya mampu mengeruk 7% dari total revenue tahunannya. Sebagian besar pemasukan Amazon bukan dari penjualan buku, kendati perusahaan ini memulai bisnisnya dari buku (dan sampai sekarang dikenal lebih sebagai toko buku ketimbang yang lainnya). Hal yang sama dirasakan oleh Gramedia, penerbit terbesar di Indonesia. Revenue dari hasil penjualan buku digitalnya tak sampai 1%. Penjualan terbesar tetaplah buku cetak.

Mengapa hal itu bisa terjadi? Mengapa di satu sisi terjadi penurunan daya beli masyarakat terhadap buku cetak, tapi pada saat yang sama, orang masih enggan mengeluarkan uangnya untuk membeli buku digital? Apakah telah jerjadi penurunan minat baca umat manusia dalam beberapa tahun terakhir?

Banyak penjelasan mengenai hal ini. Ada yang mengatakan bahwa dengan semakin banyaknya alternatif bacaan di internet, perhatian orang terhadap buku menjadi berkurang. Jika sebelumnya orang mendapatkan informasi dari media konvensional (majalah, koran, tabloid, plus TV dan radio), kini semuanya tergantikan dengan internet. Waktu orang untuk membaca buku (cetak) semakin tergerus.

Ada yang mengatakan bahwa orang pada dasarnya belum siap membeli buku secara online. Alasannya bermacam-macam, dari soal ketidakpunyaan akses pembayaran (kartu kredit, paypal, dll), kegagapan terhadap teknologi, hingga ketidakpercayaan bertransaksi secara online. Orang-orang seperti ini mayoritas jumlahnya dan mereka lebih menikmati buku-buku (atau materi tulisan lainnya) secara gratis. Dengan kata lain, mereka mau baca jika bisa diakses secara gratis.

Saya kira, alasan-alasan itu cukup masuk akal. Kita hidup di zaman transisi. Jangan lupa, meskipun internet sudah ada sejak tahun 60an, penggunaannya secara massif baru terjadi dalam satu atau dua dekade belakangan. Di Amerika dan beberapa negara maju, internet mulai digunakan banyak orang sejak era 2000an, sementara di Indonesia, baru sejak 10 atau 15 tahun terakhir. Sebelum itu, internet adalah gurun pasir yang jarang dilewati orang.

Menurut laporan Internet Society, organisasi internet terbesar di dunia, hingga May 2015, pengguna internet di seluruh dunia berjumlah tiga miliar orang, atau sekitar 41% dari total jumlah penduduk di planet Bumi. Artinya, masih ada lebih dari separuh penduduk Bumi yang belum menggunakan internet. Dari jumlah 3 miliar pengguna itu, sebagian adalah generasi yang sebagian besar hidupnya berada dalam “paradigma cetak.”

Sebagian besar pengguna internet mengakses informasi dari gawai cerdas (smartphone). Selama lebih dari seribu tahun, bentuk buku tidak banyak berubah. Ukurannya hanya bisa diakomodir dengan komputer PC berlayar lebar, atau dengan tablet ukuran 7 hingga 10 inci.

Upaya yang dilakukan Amazon mengeluarkan Kindle dengan ukuran yang lebih kecil dari rata-rata buku cetak dan tablet adalah sebuah revolusi. Mungkin perlu beberapa puluh tahun atau beberapa generasi agar manusia terbiasa dengan ukuran baru itu.

Ada cara lain yang mungkin lebih singkat. Yakni mengubah konsep buku. Bayangan tentang buku sebagai sebuah benda berukuran folio (12X15) atau quarto (9.5X12) sudah harus dihilangkan. Bagi sebagian besar generasi yang lahir sebelum tahun 2000, sulit menghilangkan konsepsi itu. Tapi, bagi generasi yang lahir setelah era internet, mengubah konsepsi itu mungkin lebih gampang.

Ukuran standar buku tak hanya menyangkut soal dimensi, tapi juga terkait isi. Buku didefinisikan sebagai kumpulan informasi yang tebal, mendalam, dan sistematis, berbeda dari makalah atau artikel yang bersifat tipis dan instan. Makalah baru layak disebut buku jika ia dikumpulkan, disusun, dan dicetak dalam bentuk yang tebal.

Dengan hadirnya gawai cerdas yang rata-rata berukuran 2.5 hingga 5 inci, konsep buku harus mengalami adaptasi. Sebelum manusia bisa beradaptasi dengan bacaan baru, format buku tampaknya harus mengalami adaptasi terlebih dahulu. Buku tidak lagi harus terikat pada halaman-halaman yang baku, tapi harus cair mengikuti format gawai yang beredar di pasaran.

Istilah “buku” mungkin juga harus diganti atau harus mengalami pemaknaan ulang. Ukuran buku tidak perlu lagi seberapa tebal atau seberapa banyak jumlah halamannya, tapi seberapa banyak kata atau karakter yang dikandungnya. Dengan demikian, batasan antara buku dan artikel/makalah tidak perlu lagi terlalu dirisaukan.

Kita hidup di zaman transisi, seperti era bangsa Sumeria dan Mesir Kuno ketika pertama kali menggunakan Alfabet. Penemuan alfabet telah mentansformasikan budaya oral ke budaya tulis. Alfabet memudahkan orang berkomunikasi, menyimpan pesan, dan meneruskannya ke sebanyak mungkin orang dengan cara yang lebih efektif dan efisien.

Alfabet melahirkan tradisi penulisan dalam bentuk skroll (gulungan perkamen) dan sekaligus mengakhiri tradisi penulisan piktograf dalam bentuk tablet (yang berbahan dasar batu). Ketika kertas ditemukan Tsai Lun pada 105 Masehi di China dan semakin luas penggunaannya di Arabia, perlahan-lahan skroll digantikan buku.

Lebih dari 1500 tahun buku mendominasi dunia literasi manusia. Usianya jauh lebih panjang ketimbang penggunaan skroll dan tablet. Tapi, kini perlahan-lahan dominasi buku mulai terancam, digantikan oleh sesuatu yang belum punya nama.

Sebagian kita masih menyebutnya sebagai “buku” dengan imbuhan elekteronik atau digital. Jadilah “ebook” atau “digital book.” Sebagian yang lain menamakannya “tablet” atau “iPad.” Tapi, nama-nama ini belum menjadi standar, karena medium bacaan digital bukan hanya iPad, atau tablet, atau laptop. Orang juga banyak menggunakan smartphone dan membaca dari gawai cerdas itu.

Kita hidup di masa transisi, sama seperti bangsa Sumeria yang mengalami transisi dari tablet ke skroll, atau bangsa Romawi yang mengalami transisi dari skroll ke buku. Peradaban kita adalah peradaban HTML, di mana format tulisan tidak lagi didefinisikan berdasarkan bentuk fisik medium penulisannya.

Tablet kuno, skroll, dan buku, didefinisikan berdasarkan bentuk fisiknya. Tapi tulisan-tuisan digital tidak bisa didefinisikan dengan hanya satu medium fisik saja. Apa yang kita sebut sebagai “buku” ketika kita membaca “ebook” di internet adalah penyederhanaan dari tradisi bacaan yang telah mengakar lebih dari 15 abad.

Ketika penggunaan internet semakin luas dan dunia cetak semakin ditinggalkan, buku (dalam pengertain yang kita pahami selama ini) akan semakin kehilangan maknanya. Sebagaimana tablet kuno dan skroll, peran buku akan berakhir. Istilah baru yang lain akan menggantikannya.

Kita tidak tahu kapan. Yang jelas, perlahan tapi pasti, buku sedang menuju gerbang kematiannya.

Sumber : qureta.com

Translate »