Barangkali tulisan ini terlambat, berkaitan dengan virus corona-19. Tetapi, sampai tulisan ini ditulis, 5 Januari 2020, setahu saya, di Pamekasan, kabupaten yang saya tinggali, masjid-masjid masih menyelenggarakan Jumat dan tarawih bersama. Padahal, Pamekasan sudah masuk zona merah. Menurut data per 29 April 2020, positif covid-19 ada 7 orang, dan yang meninggal karena covid-19 ada 1 orang.
Saya tidak akan membahas covid-19, karena memang saya tidak mempunyai kualifikasi untuk menjelaskannya. Saya hanya akan menjelaskan alasan kenapa saya tidak melaksanakan shalat Jumat dan tarawih ke masjid. Saya shalat zuhur di rumah dan shalat tarawih di rumah.
Saya perlu menjelaskan alasan saya, karena banyak sekali teman-teman kampung yang menentang sikap saya ini. Alasan ini juga yang saya gunakan untuk meliburkan pengajian rutin ibu-ibu yang turun temurun dikelola oleh keluarga dalem saya.
Jangan Campur Aduk Wilayah Ilmu Yang Berbeda
Menurut saya, berkaitan dengan covid-19, ilmu Islam bisa dibagi menjadi tiga macam, yaitu tauhid, tasawuf, dan fikih. Setidaknya, untuk menjawab tuduhan teman-teman di kampung saya ini.
Pertama, ilmu tauhid. Orang Madura terkenal sangat PD (percaya diri), terutama kepada Allah. Mereka bilang bahwa semuanya sudah ditentukan oleh Allah. Dengan covid-19 atau tanpa covid-19, kalau sudah waktunya mati, akan mati. Kalau belum waktunya mati, tidak akan mati. Karena semua sudah ditentukan oleh Allah. Ini memang benar.
Tetapi, saya jawab, bahwa semua itu masuk kategori ilmu tauhid, yaitu bahwa kalau Allah berkehendak, dengan sifat qudrat iradat-Nya, semua mumkinat akan terjadi dan semua tidak akan terjadi. Tetapi perlu diingat, bahwa ilmu tauhid ini tempatnya di akal. Biarkan wilayah akal berada di akal.
Bahwa covid-19 tidak akan membunuh jika Allah berkehendak, kebenaran ini tempatkan di akal. Jangan tempatkan di perilaku sosial. Perilaku sosial mempunyai ilmunya sendiri, yaitu ilmu fikih. Meskipun perilaku sosial bisa juga dipengaruhi oleh ilmu tauhid, tetapi pengaruh itu tidak boleh bertentangan dengan ilmu fikih.
Tiga Kelas Takut
Kedua, ilmu tasawuf. Teman-teman saya sering bilang, “Kau terlalu takut kepada covid-19. Tidak takut kepada Allah”. Perlu saya jelaskan, bahwa takut ada tiga kelas. Kelas satu, kelas paling rendah, adalah takut kepada cov-19, karena cov-19 membunuh. Ini takut kelas satu.
Takut kelas dua, keberadaan cov-19 tidak berpengaruh apa-apa, alias tidak takut sama sekali. Ini takut kelas dua. Jadi, takut kelas dua adalah tidak takut sama sekali. Barangkali, teman-teman saya masuk kelas ini.
Tetapi anehnya, salah satu teman yang mengkritik saya, waktu saya takut-takutin hantu di malam hari, dia malah kejang-kejang. Wah, berarti takutnya masih kelas satu. Dia sok-sok an aja tidak takut, padahal beraninya cuma karena kepongahan akibat kurang belajar. Seandainya dia tidak pongah, dia pasti sudah belajar bahwa takut ini wilayah hati, bukan wilayah perilaku sosial.
Takut kelas dua ini, di dalam hatinya tidak takut sama sekali, kepada siapa pun. Yang ada, hanya takut kepada Allah. Jika masih ada rasa takut, sekecil apapun kepada selain Allah, baik takut kepada tajamnya pisau, marah istri, takut tidak makan, takut tidak dapat kerja, dan takut-takut yang lain, maka takutnya masih kelas satu.
Kelas tiga, takut kepada cov-19, karena Allah memerintahkannya untuk takut. Inilah alasan kenapa nabi Muhammad menangis ketika putranya meninggal dunia.
Beliau bukan tidak tahu, bahwa segala sesuatu sudah ditentukan oleh Allah. Tetapi, kesedihan yang datang adalah perintah dari Allah untuk bersedih ketika putra yang dicintainya meninggal dunia. Begitu juga, kita harus takut kepada cov-19, bukan karena cov-19 nya, tetapi karena ada perintah untuk takut.
Di mana perintah untuk takut itu? Inilah wilayah fikih. Maksudnya, bukan “rasa takut”-nya yang merupakan wilayah fikih, tetapi pelampiasan rasa takut, yaitu menggerakkan anggota badan untuk menghindari covid-19 inilah yang merupakan wilayah fikih. Sedangkan rasa takut, tetap wilayah ilmu tasawuf. Tasawuf adalah wilayah hati. Jadi, jangan bawa-bawa tasawuf ke wilayah fikih.
Perlu diingat, saya sedang tidak mempertentangkan ketiga ilmu di atas. Pembahasan batasan ketiga ilmu itu akan mengeluarkan tulisan ini dari tujuan utamanya. Barangkali akan ada tulisan tersendiri mengenai hal itu.
Tidak Shalat Jum’at, Shalat Dzuhur Aja!
Ketiga, ilmu fikih. Saya berpegang pada bahwa ilmu fikih memperbolehkan kita tidak shalat Jumat karena ada halangan, misalnya karena turun hujan. Pamekasan sudah zona merah, sehingga ini sudah cukup menjadi udzur untuk mengganti shalat Jumat di masjid dengan shalat dzuhur di rumah. Selain itu, para dokter sudah mengatakan cov-19 ini sangat berbahaya.
Jadi maksud saya, saya mengganti shalat Jumat di masjid dengan shalat dzuhur di rumah, bukan semata-mata karena takut cov-19, bukan pula karena saya kurang takut kepada Allah, dan bukan pula karena saya tidak percaya kekuasaan Allah.
Tetapi karena ilmu fikih membenarkan tidak shalat Jumat karena ada halangan. Inilah inti tulisan ini. Saya tidak shalat Jumat, karena ilmu fikih. Saya shalat dzuhur saja.
Guru saya bilang, “Jangan kau keluar dari ilmu pengetahuan!”. Ini masih terngiang-ngiang di ingatan saya. Jadi, karena ilmu pengetahuan saya tentang fikih, tauhid, dan tasawuf itu, maka saya bersikap demikian. Menurut saya, jika fikih, tauhid, dan tasawuf bertentangan, maka kita harus menggunakan ilmu fikih.
Fatwa Ulama Seputar Covid-19
Berkaitan dengan fikih, saya akan mengutip buku Fatawa al-‘Ulama Hawla Fairus Korona (Fatwa-Fatwa Ulama Seputar Cov-19), tulisan Mas’ud Shabri. Pada halaman 8 disebutkan bahwa jumhur al-fuqaha’ al-mu’ashirin (mayoritas ahli fikih kontemporer) memperbolehkan seseorang shalat Jum’at di masjid diganti shalat dzuhur empat rakaat di rumah, berkaitan dengan pandemic cov-19 ini.
Pada halaman 126 disebutkan bahwa, jika para dokter dan pihak pemerintah menyatakan bahwa shalat Jumat dan berjamaah bisa berkontribusi terhadap penambahan pasien, maka pemerintah boleh bahkan wajib memerintahkan masyarakat untuk meninggalkan shalat Jumat, shalat berjamaah, dan memerintahkan untuk shalat di rumah.
Pada halaman 139 disebutkan bahwa, Islam tidak mencegah untuk takut kepada cov-19, selama beriman bahwa Allah adalah satu-satunya Pencipta dan Dia menjadikan sebab untuk segala sesuatu. Bahkan, takut itu menjadi wajib.
Ini berarti, kita diperintahkan untuk takut kepada cov-19 oleh Allah swt, dengan catatan kita beriman bahwa Dia Maha Pencipta dan cov-19 adalah salah satu sebab yang diciptakan oleh-Nya.
Buku (atau bisa juga disebut kitab, karena berbahasa Arab) yang menjelaskan berbagai fatwa ulama tentang cov-19 tersebut ada 239 halaman. Bisa anda baca sendiri. Tinggal cari aja pdf-nya.
Sumber : qureta.com
Recent Comments