BAGI umat Islam, kehadiran bulan Ramadhan merupakan anugerah. Hal itu dikarenakan banyaknya keutamaan di dalam bulan turunnya al-Qur`an tersebut.

Sangat layak jika kaum Muslimin menyambut datangnya bulan mulia itu dengan penuh suka-cita. Juga mengisinya dengan aktivitas yang mulia. Hal ini dilakukan mulai dari rakyat jelata, hingga para pemimpinnya.

Para pemimpin Muslim yang bertanggung jawab atas terjaganya ajaran agama, menyambut bulan mulia dengan berbagai macam aktivitas. Bagi mereka, Ramadhan adalah bulan yang harus diberi prioritas perhatian.

Kajian Keilmuan

Salah satu kegiatan di istana yang semarak di bulan Ramadhan adalah kajian ilmu-ilmu keislaman. Hal ini misalnya digalakkan oleh Khalifah al-Qadir Billah, salah satu penguasa di era Bani Abbasiyah.

Khalifah al-Qadir Billah dikenal sebagai pemimpin yang mencintai ilmu. Dalam fiqih, al-Qadir yang bermazhab asy-Syafi’i berguru kepada seorang ulama besar di masanya, Abu Bisyr Ahmad al-Harawi. (Siyar A’lam An Nubala’, 15/ 127).

Tidak cuma berguru, Khalifah al-Qadir Billah juga mampu menghasilkan beberapa karya. Di antaranya adalah kitab yang berisi tentang berita wafatnya Rasulullah SAW. Khalifah juga menulis kitab bantahan terhadap kaum Mu’tazilah serta kitab yang menerangkan perselisihan antara Abdul Azizi dan Bisyr al-Marisi.

Ketiga kitab tersebut biasa dibacakan oleh Abu al-Hasan bin al-Hajib di hadapan para ulama dan para qadhi di istana Kekhalifahan Baghdad ketika bulan Ramadhan. (Tarikh Islam, 28/ 268).

Kitab-kitab itu juga dibaca di istana Malik al-Asyraf yang berada di Syam. Kala itu yang menjadi penasihat istana adalah Syaikh Syamsuddin, yang merupakan cucu dari Ibnu al-Jauzi.

Nasihat-nasihat Syaikh Syamsuddin memang amat dirindukan oleh umat ketika itu. Bahkan ketika ia menyampikan nasihat di atas mimbar, jamaah yang hadir akan terbawa suasana hingga menangis tersedu-sedu dan berdiri dari majelis dengan mata sembab. Majelis tersebut biasanya digelar setiap hari Sabtu di bulan Rajab, Sya’ban, dan Ramadhan.

Suatu saat, Syaikh Syamsuddin masuk ke istana. Malik al-Asyraf kemudian memintanya untuk membaca kitab Maqasid ash-Shalat karya Imam Izuddin bin Abdissalam. Kitab itu dibaca hingga selesai dan ia pun memujinya. Syaikh Syamsuddin kemudian menyampaikan kepada khalayak agar kitab tersebut dijadikan bahan bacaan. Setelah itu, kitab Maqashid ash-Shalat pun tersebar dan banyak disalin. (Thabaqat asy-Syafi’iyyah al-Kubra, 8/239).

Sya’ban bin Husain Qalawun yang berkuasa di Mesir juga menginisiasi pembacaan kitab selama bulan Ramadhan. Misalnya yang dibaca adalah Shahih al-Bukhari, dimulai pada bulan Rajab, berlanjut hingga Sya’ban, diakhiri di bulan Ramadhan. Pembacaan kitab Hadits yang masyhur itu juga dihadiri oleh sultan, para ulama, serta para pejabat tinggi pemerintahan di kala itu. (an-Nujum az-Zahirah, 14/267).

Pambacaan Shahih al-Bukhari dilaksanakan di istana yang berada di dalam Qal’ah Jabal (Benteng Gunung). Bangunan ini sebelumnya dibangun oleh Shalahuddin al-Ayyubi di puncak gunung Muqaththam. (Tarikh al-Khulafa’, hal 430).

Tradisi di Istana Utsmaniyah

Di masa Daulah Utsmaniyah, tibanya bulan Ramadhan disambut oleh istana dengan berbagai macam kegiatan mulia. Sultan yang berkuasa kala itu mengundang para duta besar negara-negara lainnya ke istana dalam rangka menyampaikan ucapan selamat atas datangnya bulan mulia. Pihak istana juga mengundang masyarakat, baik yang Muslim mapun yang bukan, untuk berbuka puasa bersama di istana. Diharapkan dengan langkah itu, akan terbuka pintu-pintu hidayah untuk mereka.

Di istana Utsmaniyah juga didirikan shalat tarawih yang dihadiri oleh sultan. Sedangkan di waktu akhir Ramadhan, maka sultan, para menteri, serta para pejabat tinggi pemerintahan menghadiri shalat tarawih di Masjid Aya Shofiyah. Pihak istana juga memerintahkan agar dipasang lampu-lampu berbagai warna di jalan-jalan untuk menyemarakkan suasana Ramadhan.

Di masa berkuasanya Sultan Musthafa III, diadakan tradisi baru semasa bulan Ramadhan, yakni pembacaan kitab tafsir karya Imam al-Baidhawi yang diikuti oleh sultan. Tafsir yang satu ini merupakan kitab yang dipandang istimewa oleh para penganut Mazhab Hanafi yang merupakan mazhab fiqih resmi Utsmaniyah saat itu. Tradisi pembacaan tafsir al-Baidhawi ini terus berlangsung hingga berakhirnya kekuasaan Daulah Utsmaniyah. (at-Tarikh Kama Kana, hal 203).

Pembacaan tafsir tidak mesti berurutan sesuai urutan surat-surat pada mushaf. Pada tahun 1785 M, pembacaan tafsir dimulai dari Surat al-Fatihah. Sedangkan pada tahun 1755 M, pembacaan dimulai dari Surat al-Isra’ hingga berlangsung sampai Ramadhan tahun 1778. Sedangkan pada Ramadhan tahun 1779-1784, dibaca Surat al-Fath. (Madzhahir al-Hadharah min ats-Tsaqafah al-Utsmaniyah, hal 88).

Bulan Ramadhan juga menjadi kesempatan bagi sultan untuk bertemu rakyat secara langsung dalam jamuan buka puasa bersama. Sebagai timbal balik, hadirin kemudian mendoakan kebaikan untuk sultan. Tradisi ini disebut sebagai masabih murjaniyah.

Adapun para menteri dan pejabat lainnya, mereka membuka lebar-lebar rumahnya tiap hari Senin dan Jumat sepanjang Ramadhan. Masyarakat dijamu untuk berbuka puasa dengan berbagai macam hidangan, semisal buah-buahan, minuman, kacang-kacangan, serta berbagai jenis makanan lainnya. Acara buka puasa bersama itu biasanya diiringi dengan bacaan al-Qur`an yang merdu. (at-Tarikh Kama Kana, hal 203, 204).* Thoriq

Sumber : hidayatullah.com

Translate »