Dengan selimut sutera hitam legam, berhiaskan kalam-kalam Allah dan ornamen-ornamen berbahan emas dan perak, Ka’bah tampak kokoh dan menawan. Keindahan, ketenangan, dan kedamaian akan langsung menyergap-menusuk jiwa siapa saja yang memandanginya, tak peduli ia mengimani atau tidak. Namun sejarahnya, rasa kespiritualan dan keestetikan itu tak selalu bertahan lama seperti yang tampak beberapa abad terakhir ini.
Ka’bah sebagai sebuah bangunan yang menyejarah (meruang-mewaktu), sudah barang tentu mengalami masa-masa kelam atau ke-ngenes-an. Apalagi Ka’bah hadir di muka bumi ini jauh sebelum sepasang manusia pertama (Adam-Hawa) tiba. Masa-masa kelam Ka’bah ini syarat dengan perilaku nyimpang manusia, baik langsung atau tidak. Namun, jangan membayangkan Ka’bah itu sejak dari dulu sudah berdiri elegan seperti saat ini.
Bentuk banguan Ka’bah dari masa-kemasa terus mengalami perubahan. Berawal dari sebuah gundukan tanah keras, sampai berdinding kokoh, hingga rata dengan tanah lagi. Dari yang “telanjang” sampai ber-Kiswa. Dari yang tak beratap sampai beratap dan bertiang. Dari yang berukuran sempit dan pendek sampai luas dan tinggi.
Hal ini membuktikan bahwa manusia terlibat aktif dalam perubaha tersebut, baik yang sifatnya konstruksi maupun destruksi. Walau di satu sisi, Sang Pemilik Rumah ini secara langsung menjaganaya. Di sisi lain, manusia menjadi wakil-Nya, yang diberi otoritas untuk memperlakukan atau mengolah bumi beserta segala isinya ini dijadikan seperti apa, termasuk Ka’bah.
Kali ini Majalah Haji & Umrah (MHU) hendak mendeskripsikan beberapa hal terkait dengan Ka’bah sebagai sebagai sebuah bangunan fisik, telah mengalami serangkaian deretan masa-masa buruk, baik sejak masa sebelum masehi maupun sesudahnya.
Berkenaan dengan kapan, siapa, dan seperti apa bentuk fisik Ka’bah pertama kali dibangun, hingga kini masih debatebel. Tak ada konfensi yang pasti secara umum, selain apa yang dikabarkan Allah kepada kita, bahwa Ka’bah adalah Rumah Allah yang pertama kali dibangun untuk manusia, padanya terdapat segala keberkahan dan menjadi petunjuk pagi seluruh alam (QS. 3: 96).
Ka’bah Pasca Nabi Ibrahim AS.
Sebelumnya, sejarah mencatat, Ka’bah sempat hilang tersapu bersih oleh kekuatan dahsyat banjir bandang pada masa Nabi Nuh AS. Menurut para ilmuan (Robert Ballard, Arkeolog kebangsaan AS, salah satunya), kejadian itu kemungkinan berlangsung pada kurun waktu 5000 SM atau 7000 tahun yang lalu.
Sementara menurut penelitian Sir Woolly (ilmuan dari ST John’s College Oxford) yang telah melakukan penggalian arkeologisnya di padang pasir wilayah Baghdad dan Teluk Persia, antara tahun 1922-1930, banjir besar itu telah merendam seluruh dataran Mesopotamia.
Banjir yang berasal dari luapan Sungai Tigris dan Eufrat itu, menurutnya, terjadi pada tahun 2900-3000 SM. Kawasan yang dilanda banjir tersebut membentang sekitar 160 km dari Timur ke Barat dan 600 km dari Timur ke Selatan. (Dr.M.Syafii Antonio. Ensiklopedia Peradaban Islam: Baghdad, h.36-43).
Banjir bandang ini disebabkan kelakuan congkak umat Nabi Nuh AS. melawan ajaran-ajaran Allah. Mereka meng-acuh-kan, mencemooh, dan menafikkan nasihat-nasihat Nabi Nuh. Pun, dengan seruannya kepada sanak keluarga juga umatnya untuk mendaki gunung –naik kapal (yang sudah Nuh beserta umatnya buat) bersama seluruh sepasang jenis-jenis hewan dan benih-benih tetumbuhan.
Cerita-cerita ini banyak tersebar di pelbagai ayat-ayat al-Qur’an, beberapa contohnya:
“Lalu Kami wahyukan kepadanya: “Buatlah bahtera di bawah penilikan dan petunjuk Kami, maka apabila perintah Kami telah datang dan ‘tannur’ telah memancarkan air, maka masukkanlah ke dalam bahtera itu sepasang dari tiap-tiap (jenis), dan (juga) keluargamu, kecuali orang yang telah lebih dahulu ditetapkan (akan ditimpa azab) di antara mereka. Dan janganlah kamu bicarakan dengan Aku tentang orang-orang yang zalim, karena sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan.” (QS. Al-Mukminun: 27).
“Maka mereka mendustakan Nuh, kemudian kami selamatkan dia dan orang-orang yang bersamanya di dalam bahtera, dan Kami tenggelamkan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Sesungguhnya mereka adalah kaum yang buta (mata hatinya).”(QS. Al-A’raf: 64).
“Dan buatlah Bahtera itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu Kami, dan janganlah kamu bicarakan dengan Aku tentang orang-orang zalim itu; sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan.’ Dan mulailah dia (Nuh) membuat Bahtera. Setiap kali pemimpin kaumnya berjalan melewatinya, mereka mengejeknya. Dia (Nuh) berkata: “Jika Kalian Mengejek kami, kami (pun) akan mengejek kalian sebagaimana kalian mengejek (kami). Kelak kalian akan tahu siapa yang akan ditimpa oleh azab yang menghinakan dan (siapa) yang ditimpa oleh azab yang kekal.” Hingga apabila perintah kami telah datang dan dapur telah memancarkan air, Kami berfirman, “Muatkanlah ke dalam (bahtera itu) setiap pasang hewan (jantan dan betina), dan keluargamu, kecuali orang yang telah terkena ketetapan terdahulu, dan (muatkan pula) orang-orang yang beriman.” Ternyata orang-orang yang beriman yang bersama dengan Nuh hanya sedikit (QS. Hud: 37-40).
Tahun 1500 SM, dengan bimbingan Allah melalui wahyunya, Nabi Ibrahim dan Ismail mulai membangun kembali Ka’bah di tanah gersang, lembah Bakkah (Makkah). Mereka (bapak dan anak) meninggikan pondasi Baitullah ini tidak jauh dari tempat di mana Ismail bayi menangis kehausan dan keluarnya Air Zamzam dari bawah tanah tekanan-tekanan pangkal kedua kakinya.
Semula manusia hanya mengetahui di daerah tersebut terdapat tenpat yang sangat bernilai, barangsiapa saja berdoa di daerah itu akan merasa tenang dan diijabah, namun tak mengetahui pasti tempatnya di mana.
Dari hari ke hari dinding-dinding Ka’bah tersebut kian tinggi, hingga Ibrahim sendiri tak sampai lagi menggapai puncak dinding untuk memasang batu-batu selanjutnya. Hingga akhirnya Ismail memberikan batu pijakan buat ayahnya, yang kemudian batu tersebut kita kenal Maqam Ibrahim (Jejak kaki Nabi Ibrahim AS).
Ketika melihat dinding Ka’bah yang dibangun suami dan anaknya menjulang tinggi, Siti Hajar merasa tenang dan sejuk, seakan teringat terus apa yang berkali-kali dimimpikannya. Hajar memimpikan di lembah yang tandus lagi sunyi itu terdapat sebuah pohon yang tumbuh tinggi di atas gundukan tanah merah.
Pohon dengan akar yang kokoh menghujam tanah dan beranting menjulang tinggi ke langit itu berbuah sangat lebat. Pun dengan dahan dan dedaunnya begitu lebat, sehingga menghasilkan kesejukan bagi setiap orang yang berteduh atau sekedar melihatnya.
Burung-burung berwarna putih dan hitam terus datang berterbangan mengintari pohon dengan sesekali hinggap bertengger di dahan atau ranting-rantingnya, sambil mematuk-matuk biji-biji buahnya, lalu meminum air yang tak jauh dari pohon tersebut. Rupanya pohon kesejukan itu tak lain adalah Ka’bah itu sendiri.
Nabi Ibrahim, Ismail dan orang-orang yang mengimani agama Ibrahim turut membantu membangun Ka’bah dari batu-batu pilihan yang berasal dari bukit-bukit terdekat yang mengelilingi lembah tersebut. Bentuk bangunan persegi itu memiliki dua pintu tanpa daun di sisi kanan kirinya, tanpa selimut (kiswah), juga tanpa penutup atap.
Dan di sela-sela salah satu pojok dindingnya terdapat Batu Hitam yang dibawakan langsung oleh malaikat dari Bukit Qubays. Ukuran bangunan Ka’bah waktu itu kisaran: tinggi 9 hasta (4,5 m), panjang sisi Timur 32 hasta (16 m), sisi Barat 31 hasta (15,5 m), sisi Selatan 20 hasta (10 m), dan sisi Selatan 22 hasta (11 m).
Pemeliharaan dan kepengurusan Ka’bah beserta para jama’ah haji yang datang dari pelbagai penjuru bumi, sepenuhnya dipelihara dan dilayani oleh keluarga Nabi Ibrahim dan Ismail, termasuk menyediakan makanan dan minumannya pun juga ditanggung, hingga akhirnya sepeninggalan keduanya, terjadilah perselisihan di antara keluarga cucu-cicitnya.
Meluasnya keturunan Ibrahim dan masuknya bani-bani atau suku-suku ke dalam keluarga Ibrahim melaluiq perkawinan, membuat keluarga satu sama lain berebut pengaruh pemegang kepengurusan Ka’bah dan pelayanan jama’ah haji. Keributan ini tak ayal terus menumpahakan darah hingga beberapa generasi, demi penguasaannya terhadap Ka’bah.
***
Adalah sebuah keniscayaan sejarah, Ka’bah sebagai pusat peradaban dunia menjadi yang diperebutkan. Dengan menguasai Ka’bah, sudah otomatis wilayah Makkah dan sekitarnya pun terkuasai. Dan kepenuhan hasrat kekuasaan itulah yang membuat suku-suku yang ada di Makkah berebut pengaruh kekuasaan setelah kematian tiga serangkai: Hajar, Ibrahim, dan Ismail.
Suku Jurhum yang tinggal di daerah Qayquan sebelah Utara Makkah, sangat berambisi menguasai kepemimpinan pemeliharaan Ka’bah. Mereka beralasan, selain suku pertama yang mendiami Makkah setelah Hajar dan Nabi Ismail, juga karena Nabi Ismail sendiri menikahi Atikah binti Amr al-Jurhumi, wanita dari suku mereka.
Kedua suku Qaturah yang mendiami wilayah bagian Barat Makkah. Mereka mengklaim merasa pantas menjadi penguasa Ka’bah, karena mereka memiliki kepala suku yang kuat, berani dan berpengalaman, Sumaydah ibn Imliq.
Mereka sering melakukan perjalanan sambil menggembalakan unta dan domba di daerah lembah Makkah tersebut, bahkan tak jarang mereka bermalam beberapa hari di sana. Ketiga suku Khuzaah yang tinggal di wilayah Tihamah, mereka sudah lama hendak menguasai kepemimpinan di Makkah.
Setelah kematian Nabit ibn Ismail, sang adik Qidar ibn Ismail melanjutkan tugas kepemimpinan Makkah. Namun, setelah ia lemah dimakan usia, tak sanggup lagi menjalankan tugas berat itu. Maka ia memberikan kepemimpinan itu kepada sepupu dari pihak ibu, yang merupakan suku Jurhum.
Hal ini langsung dimanfaatkan oleh suku Jurhum untuk mendapatkan kekayaan yang besar dengan cara menetapkan pajak yang tinggi atas komoditas yang berasal dari Makkah Utara. Kebijakan itu membuat marah dan kebencian yang mendalam suku Qutarah, anak-anak Amaliqah. Hingga terjadilah pertempuran –pertumpahan darah di antara dua kubu tersebut, yang dimenangkan suku Jurhum, dengan terbunuhnya Sumaydah ditangan Madad al-Jurhumi.
Akibat perbuatan mereka itu, Allah memberikan azab yang dahsyat kepada suku-suku ini berupa banjir besar, hingga merendam dan menghanyutkan benda-benda berharga yang mereka miliki. Pun dengan Ka’bah juga ikut terendam, dinding-dindingnya retak hingga batu-batu runtuh berjatuhan. Selain itu juga Allah menebarkan penyakit yang membuat hidung mereka mengeluarkan darah terus-menerus.
Air tanah keperluan makan-minum mereka berubah jadi asam dan berasa bau lumpur. Allah mengirimkan semut dengan jumlah yang sangat bayak yang terus mengganggu mereka. Namun, lagi-lagi kejadian itu tidak membuat jerah nan taubat suku Jurhum. Mereka tetap saja berperilaku yang semakin menjauhkan diri dari agama Ibrahim AS, terutama setelah Ka’bah dipimpin oleh al-Haris ibn Madad.
Mereka terus menyesatkan manusia dari ajaran yang benar, seraya terus menebarkan teror, penekanan, perampasan dan kerusakan di Makkah. Kejadian tersebut berlangsung hingga kurun waktu 300 tahun lamanya. Maka, sangat wajar bila kepemimpinan mereka (bani Jurhum) dicap sebagai periode yang paling buruk dalam sejarah Makkah.
***
Melalui perundingan antara suku Jurhum dan keturunan Ismail, Nizar Ibn Ma’d ibn Adnan, keturunan Ismail terpilih menjadi pemimpin Makkah. Hanya saja ketika tampuk kepemimpinan diduduki oleh anaknya, Iyad, terjadilah konflik dengan saudaranya, Mudar. Mudar memenangi perseteruannya dengan saudaranya, tapi tetap saja Iyad merongrong kepemimpinan Makkah.
Hingga suatu hari, Iyad melakukan Tawaf, tiba-tiba ia berfikir mengambil Hajar Aswad dibawa ke rumahnya. Iyad tak menyadari bahwa perbuatannya itu ada yang mengawasinya. Inilah yang menjadi senjata suku Khuzaah untuk menjadi pemimpin Makkah yang selama ini mereka impikan.
Suku Khuzzah memulai babak baru, yang kelakuan bodohnya melebihi suku Jurhum. Makkah beserta seluruh isinya berada di bawah kekuasaan Amr ibn Luhayy. Kebijakan-kebijakan kepemimpinannya menyesuaikan kesenangannya, termasuk soal kebijakan-kebijakan berkenaan dengan Ka’bah.
Pada waktu tawaf, ia suka mengambil potongan batu-batu Ka’bah, yang ia selalu bawa-bawa ketika bepergian ke luar daerah Makkah. Tujuannya adalah untuk selalu mengingat Ka’bah, dengan ritual; batu tersebut diletakkan, kemudian ia kelilingi, seperti halnya ketika tawaf.
Suatu hari, Amr melakukan perjalanan ke Syria, di sana ia terpukau dengan ritual masyarakatnya yang sedang menyembah berhala-berhala buatannya sendiri. Berhala-berhala itu seperti; Isytar, Ba’l, Hadad, dan lain-lainnya.
Di saat Amr pulang ke Makkah, ia membawa berhala bernama Hubal, yang ia tempatkan di dalam Ka’bah. Hubal mereka rawat dan secara rutin membawakan sesajen kemudian mengintarinya. Kegiatan seperti ini sebenarnya sudah lama mereka lakukan, bahkan pada waktu kekuasaan suku Jurhum, hanya saja terus mendapatkan kritikan dan pengusiran. Namun ketika mereka (suku Khuzaah) berkuasa di Makkah, perilaku kekufurannya itu ditekankan kepada masyarakat melalui aturan-aturan yang wajib ditaati.
Dari tahun ke tahun, kelakuan suku Khuzaah semakin jauh dari agama Allah. Mereka menempatkan berhala-berhala di sekeliling Ka’bah yag jumlah mencapai 360 dengan ukuran yang berfariasi. Jumlah itu bisa menjadi lebih banyak, karena setiap suku dan bani bahkan perorangan yang sudah sepuh mempunyai tuhan berhalanya masing-masing. Berhala-berhala itu antara lain: Latta, Uzza, Manat, Hubbal, Isaf, Nailah, A’im, Yaghuts, dan lain seterunya.
Selain itu, mereka juga mengubah prosesi ritual haji; mengubah kalimat-kalimat talbiyah Nabi Ibrahim, bahkan dengan alasan pakaian itu lebih dekat dengan keduniaan, mereka bertawaf dengan bertelanjang. tapi bersamaan dengan itu, mereka juga menyalahgunakan kemakmuran Makkah dengan berfoya-foya –membagikan harta di antara mereka sendiri dan kemudian menghabiskannya dengan berpesta pora.
Pola fikir dan perilaku bodoh mereka agak mulai berkurang, ketika keturunan Nabi Ismail kembali memimpin Makkah. Adalah Qusayy ibn Kilab ibn Murrah ibn Ka’b ibn Lu’ayy dengan kebijakan dan kesantunannya membuat pemimpin suku Khuzaah, Hulayl menikahkan dengan anaknya, Hayiyy. Kepemimpinan Makkah kembali kepada keturunan Ismail, walau tak sepenuhnya, karena sebagian suku Khuzaah tak mau dipimpinnya.
Hal ini membuat perselisihan semakin kuat, juga terjadi di antara anak keturunannya, Abdu Dar dan Abdu Manaf. Cucunya Hisyam bin Abdu Manaf dan Abdul Muttalib. Hingga sampai pada masa anak-anak Abdul Muttalib yang berjumlah 10 orang, seperti: Abdul Manat (Abu Talib), Abdul Uzza (Abu Lahab), al-Zubair, dan seterusnya hingga anak bungsu yang ia sangat sayangi, Abdullah ibn Abdul Muttalib, bapak Nabi Muhamad.
***
Bangsa Yaman adalah bangsa yang sedari dulu kala, masa kekuasaan suku Jurhum, terpikat dengan Ka’bah. Bangsa Yaman yang waktu itu beragama Yahudi dengan raja Tubba, berkali-kali memberontak mengepung Makkah untuk menguasai Ka’bah, tapi terus mengalami kegagalan menghadapi kekuatan anak-anak keturunan Ismail yang bersekutu dengan suku Jurhum.
Hasrat untuk mengambil alih kekuasaan Ka’bah terus tertanam pada bangsa Yaman. Hingga pada tahun 571 (ada juga versi lain tahun 570), bangsa Yaman, yang pada waktu itu menganut agama Kristen, dengan rajanya bernama Abrahah ibn al-Asyram al-Habasyi memimpin langsung pasukan gajahnya untuk menghancurkan Ka’bah dan mengambil alih kekuasaan Makkah.
Sejarah menceritakan bahwa Abrahah pada waktu itu menaiki seekor gajah (versi lain mengatakan 13 ekor) yang bernama Mahmud, pasukan tersebut berjalan menuju Ka’bah dengan petunjuk seorang penghianat Arab, Abu Righa.
Serangan Abrahah tersebut meletup setelah seorang Arab mengencingi gereja Qullays, yang terletak di daerah Shan’a. Dari situlah Abrahah mendapatkan momennya untuk menghancurkan Ka’bah dan kemudian para pedagang dan masyarakat Arab mengalihkan pandangan dan kiblatnya ke Qullays, yang memang dibangun untuk menandingi kemegahan dan kekarismatikan Ka’bah. Qullays konon dibangun dengan bahan-bahan emas, perak, intan dan marmer yang diambil langsung dari istana ratu Sheba.
Pasukan Abrahah terus bergerak ke Makkah, ketika memasuki Taif, mereka merampas harta dan membunuh siapa saja yang melawannya, sampai-sampai mereka juga menghancurkan berhala yang sangat penduduk hormati dan agungkan, yakni Latta. Ketika sudah mendekati Ka’bah, Abrahah mengutus Hunatah al-Himyari untuk menyampaikan pesannya kepada pemimpin Makkah, Abdul Muttalib.
Abrahah berpesan, bahwa ia hanya akan menghancurkan Ka’bah, maka dihimbau jangan ada yang menghalang-halanginya, kalau ada berarti perang. Dengan melihat pasukan Abrahah jauh lebih banyak, Abdul Muttalib tak berdaya, ia pasrah, menyerahkan sepenuhnya kepada Allah. Sebab Ka’bah adalah rumah yang dibangun oleh kekasih-Nya, Ibrahim. Maka, Allah sendirilah yang menjagannya.
Akhirnya, setelah pasukan gajah itu merangsek masuk ke Makkah untuk menghancurkan Ka’bah, tiba-tiba awan hitam menutupi seluruh wilayah Makkah, yang dikira pasukan Abrahah awan hujan. Di luar dugaan, awan semakin pekat hingga berubah seperti malam, lalu burung-burung (Ababil, al-Quran) beterbangan membawa batu-batu dan tanah liat yang panas di paruh dan cakarnya, yang kemudian melemparkannya ke pasukan gajah tersebut.
Batu-batu dan tanah liat itu melelehkan pasukan gajah yang berpakaian lapis besi. Mereka terpanggang dengan panasnya batu dan tanah liat tersebut. Ada sebagian pasukan yang dapat melarikan diri keluar dari Makkah, termasuk sang raja. Namun tak lama, bahkan masih dalam perjalanan, meraka pun terus bertumbangan, mati. Menurut Martin Lings (Abu Bakar Sirajuddin) Abrahah mati di kediamannya sendiri, di Habasyah (Ethiopia, sekarang), karena cacar.
***
Sebelum Muhamad ibn Abdullah diangkat menjadi nabi, terjadi beberapa kali peperangan antar suku-suku atau banu-banu keturunan Ismail memperebutkan kepemimpinan Makkah dan pemeliharaan Ka’bah. Peperangan tersebut tak jarang menimbulkan kehancuran dan terbakarnya Ka’bah.
Perang balas dendam, perang karena persoalan sepele, dan juga penguburan hidup-hidup bayi perempuan sudah menjadi budaya bangsa Arab waktu itu. Terjadinya perang Fujjar antara suku Qurays dan Hawazin menyebabkan Ka’bah berantakan. Permusuhan dan peperangan itu terus berlanjut hingga Muhamad menjadi Nabi dan Rasul.
Akibat perilaku orang-orang Qurays-Arab itu Allah menurunkan hujan yang sangat deras, hingga merendam Makkah, termasuk Ka’bah. Akibat banjir itu, dinding Ka’bah retak-retak dan (mitosnya) di dalamnya dijadikan semayamnya ular-ular yang besar dan membahayakan.
Setelah diyakini ular itu dicengkram burung elang dan dibawanya, mereka dengan was-was takut terkena azab lagi, memberanikan diri untuk memugarnya. Di tengah-tengah ketakutan, perselisihan, dan kebingungan pemugaran Ka’bah tersebut, al-Walid ibn al-Mughirah berdiri dengan palu ditangannya, memeberanikan diri meruntuhkan dinding-dinding Ka’bah untuk bersama-sama membangunnya kembali.
Pemugaran terus berlangsung, sampai pada waktu peletakan Hajar Aswad di tempatnya kembali, timbullah perselisihan terkait siapa yang berhak dan pantas meletakkannya. Satu sama lain, banu-banu tersebut mengklaim merasa paling pantas.
Sampai pada akhirnya Abu Umayyah ibn al-Mughirah, pemimpin Banu Makhzum berpendapat; sebaiknya siapa yang pertama kali masuk Ka’bah lewat pintu Shafa, dialah yang berhak meletakkan Hajar Aswad di tempatnya kembali. Pada waktu yang ditunggu-tunggu, masuklah Muhamad ibn Abdullah lewat pintu Shafa, sontak semua banu mempercayakan kepadanya untuk mengangkat Batu Hitam itu ke tempat asalnya.
Dengan cara bijaknya (meletakkan Hajar Aswad di atas sorban, kemudian masing-masing perwakilan banu-banu tersebut mengangkatnya dari ujung-ujung sorban, lalu Muhammad menaruhnya di tempat semula), Muhamad mengakhiri perselisihan di antara saudara-saudara sesama keturunan Nabi Allah terkasih, Ibrahim ‘Alaihis Salam.
Ka’bah Pasca Nabi Muhamad SAW
Pada masa Yazid ibn Muawiyyah diangkat menjadi khalifah menggantikan ayahnya, Muawiyyah ibn Abi Sufyan yang sudah memimpin dari tahun 41 H, gubernur Makkah, Abdullah ibn Zubair, tak membaiat mengakui Yazid sebagai Khalifah.
Sikap pembangkangan ini membuat geram Yazid dengan mengirimkan pasukan perangnya dipimpin langsung oleh gubernur Madinah, Muslim ibn Uqbah, untuk mengepung Makkah, memaksa ibn Zubair membaiatnya. Sebelum misi terselesaikan Muslim ibn Uqbah meninggal, pemimpin pasukan digantikan oleh Hussain ibn Numair.
Hussain berusaha membujuk ibn Zubair membaiat Yazid, tapi ajakan dan rayuan itu ditapiknya. Sampai akhirnya pecahlah peperangan antar sesama muslim tabi’in. Penolakan ibn Zubair dibalas dengan teror Hussain. Ibn Zubair bertahan di Ka’bah dengan mendirikan tenda-tenda di sampingnya.
Pasukan Hussain tak mengindahkan kesucian Ka’bah, dengan beraninya mereka menaiki bukit-bukit dan menghujani Ka’bah dengan batu. Akibatnya dinding-dinding Ka’bah runtuh dan kiswahnya terbakar, pun dengan Hajar Aswadnya pecah berserakan terkena batu-batu yang dilemparkan pasukan Hussain atas perintah Yazid ibn Muawiyyah.
Pertempuran berakhir tanpa ada pemenang. Ka’bah yang hancur berantakan dibangun kembali oleh Abdullah ibn Zubair menurut keinginan Nabi. Ka’bah pun berdiri kembali, namun bukan berarti lepas dari kejahatan manusia lagi. Ketika Abdul Malik ibn Marwan menjadi Khalifah Umayyah (65 H), ia melihat ibn Zubair sebagai orang yang dapat membahayakan dirinya.
Oleh karena itu Abdul Malik mengirim pasukan yang dipimpin al-hajjaj ibn Yusuf al-Tsaqafi untuk menaklukan pasukan ibn Zubair yang berada di dekat Arafah. Pasukan al-Hajjaj memenangi pertempuran, lalu al-Hajjaj memberika tiga pilihan pada ibn Zubair: Pergi sesuka hati meninggalkan Makkah ke mana saja, menyerah dengan tangan terbelenggu, atau berperang sampai titik darah penghabisan.
Ibn Zubair orang yang tegas, pantang menyerah pada kedzaliman, ia memilih tawaran yang ketiga. Ia kembali bertahan di Ka’bah sebagai basisnya. Al-Hajjaj lebih kejam daripada Hussain, pasukannya membabibuta melontarkan batu-batu dari ketepel besarnya ke arah Ka’bah dan membunuh pasukan ibn Zubair tanpa belas-kasihan.
Kerasnya suara petir dan halilintar mereka hiraukan dengan terus menghabisi pasukan ibn Zubair. Akibat perang ini, Ka’bah kembali Hancur berantakan. Dan ibn Zubair dipenggal kepalanya oleh al-Hajjaj dipersembahkannya pada Abdul Malik. Tubuhnya disalib di Hajjun, daerah dekat Makkah.
Mengetahui keadaan Ka’bah hancur berantakan, Abdul Malik, sang Kalifah Umayyah meminta maaf pada kaum muslimin dengan ungkapan yang terkenal; “ Aku berharap andai saja aku tak mengusik ayah Khubaib. Aku menyesali dengan segala peristiwa yang telah terjadi”.
Abdul Malik mengumpulkan para ulama untuk meminta pendapat soal niatannya membangun kembali Ka’bah yang telah hancur berantakan. Namun para ulama menasehatinya: “Hai pemimpin orang beriman! Rumah Allah bukanlah mainan para raja, yang dengan seenak hati meruntuhkan, mengubah, dan membangunnya kemabali.”
Walau pada akhirnya Ka’bah dibangun juga menjadi lebih mewah dengan penambahan di sana-sininya. Ketinggian dan keluasan terus bertambah, tiang penyanggah atap diperbaharui, kiswah juga lebih mewah dengan emas dan intan yang lebih berkilau.
Itulah kisah ringkas Ka’bah sebagai sebuah bangunan fisik yang mengalami masa-masa kelamnya. Semoga kejadian-kejadian serupa tak terjadi lagi pada Ka’bah yang notabene Rumah Allah.
Sumber : qureta.com
Recent Comments