Di samping komputer yang sekarang saya gunakan untuk menulis ada sebuah benda berwarna putih berukuran sedang yang biasa saya gunakan untuk menyeduh teh dan kopi manis.
Saya menyebutnya dengan nama gelas. Sebagaimana manusia-manusia lain pun akan menyebutnya sebagai sebuah gelas. Dan gelas itu—dalam pemaknaan yang kita pakai sehari-hari—ialah wadar air untuk minum yang berbentuk tabung.
Kata gelas itu bersifat universal (kulliy). Artinya dia tidak hanya terbatas pada benda yang ada di samping saya saja, tetapi juga berlaku bagi benda-benda lain yang terekat dalam hakikat yang sama.
Apabila saya beranjak dari tempat saya sekarang, saya akan berjumpa lagi dengan sekian banyak macam gelas dengan berbagai ukuran, berat, warna, dan model yang beranekaragam.
Tapi, kendatipun gelas-gelas itu berbeda-beda dalam berbagai sifatnya, tetap saja semuanya saya katakan sebagai gelas. Karena mereka semua terekat dalam esensi yang sama sebagai wadah air untuk minum yang berbentuk tabung. Dan dari esensi itulah saya bisa melahirkan sebuah konsep universal bernama gelas.
Dengan demikian, konsep universal (mafhum kulliy/universal concept) tentang gelas itu saya peroleh dari benda-benda partikular yang sekalipun berbeda dalam sifat-sifatnya, tapi mereka semua terekat dalam esensi yang sama, yakni sebagai wadah air untuk minum yang berbentuk tabung.
Kata gelas itu, pada akhirnya, berlaku bagi semua macam gelas yang ada di seantero jagad raya ini. Manakala disebut kata gelas, maka masuklah di dalamnya berbagai macam gelas dengan warna, ukuran, bentuk dan model yang berbeda-beda, di berbagai belahan dunia.
Nah, dalam bahasa ilmu logika, proses yang saya tempuh untuk sampai pada konsep universal tentang gelas dengan mengamati individu-individunya itu disebut dengan istilah tajrid (abstraction).
Saya membangun suatu konsep universal tentang sesuatu, dan bangunan konsep universal itu saya peroleh dari benda-benda partikular yang berada dalam cakupan sesuatu itu.
Dalam contoh di atas, saya memperoleh konsep universal tentang gelas, dan konsep universal itu diperoleh dari pengamatan saya terhadap benda-benda partikular yang terekat dalam esensi yang sama sebagai gelas. Inilah yang dalam logika Aristotelian disebut dengan istilah tajrid, yakni proses “mengabstraksi” sesuatu.
Secara harfiah, kata tajrid itu sendiri berasal dari kata kerja jarrada-yujarridu yang maknanya “menelanjangi” atau “menguliti”. Dari makna harfiah ini, tajrid bisa kita artikan sebagai sebuah proses menelanjangi/menguliti unsur-unsur tertentu yang dimiliki oleh sesuatu dan memfokuskan perhatian pada aspek lain yang membentuk esensi/hakikat sesuatu itu.
Contohnya seperti yang saya sebutkan tadi. Sebelum membangun konsepsi universal tentang gelas, saya melihat beberapa benda yang memiliki warna, ukuran, berat, dan bahan yang berbeda-beda tapi mereka semua direkatkan oleh satu hakikat yang sama, yakni sebagai wadah air untuk minum yang berbentuk tabung.
Konsep universal tentang gelas itu saya peroleh setelah saya menguliti dan menelanjangi aspek-aspek tertentu yang dimiliki oleh masing-masing benda itu. Dari mulai warnanya, ukurannya, beratnya, modelnya, harganya, dan lain sebagainya.
Artinya saya berusaha untuk mengabaikan aspek-aspek tersebut. Karena aspek-aspek tersebut hanyalah aksiden (‘aradh) yang tidak membentuk esensinya sama sekali. Karena kalaupun aksiden-aksiden itu hilang, sesuatu itu masih bisa menjadi dirinya sendiri.
Lalu, setelah menguliti unsur-unsur pembeda tersebut, saya memfokuskan perhatian pada satu aspek lain yang saya anggap bisa merekatkan semuanya, yakni sebagai wadah air yang biasa digunakan untuk minum, dan berbentuk tabung.
Setelah itu saya berilah nama gelas. Dan ketika itu kata tersebut menjadi universal sehingga ia berlaku bagi semua wadah air yang biasa digunakan untuk minum, kendatipun berbeda-beda dalam sifat-sifatnya. Inilah yang disebut dengan tajrid.
Contoh lain: kata mobil. Ketika Anda melihat sebuah mobil di pinggiran jalan, yang Anda lihat itu sebenarnya bukan mobil, melainkan individu yang berada dalam cakupan sebuah konsep yang disebut sebagai mobil. Mobilnya itu sendiri hanyalah sebuah konsep universal, yang Anda peroleh dari pengamatan Anda terhadap benda-benda yang bersifat partikular (juziyyat).
Masing-masing dari benda tersebut memiliki sifat yang berbeda-beda. Dari mulai warna, merek, ukuran, harga, berat, model, dan lain sebagainya. Tapi semuanya disebut sebagai mobil karena terikat dalam satu hakikat yang sama, yakni sebagai kendaraan darat bermesin yang memiliki roda empat atau lebih. Dan kemudian lahirkan suatu konsep universal bernama mobil.
Dari mana konsep universal itu terlahir? Konsep universal itu terlahir dari pengamatan kita terhadap benda-benda yang bersifat partikular. Dan setelah itu kita “menelanjangi” sifat-sifat tertentu yang membedakannya, dan memfokuskan perhatian pada aspek lain yang menyatukan semuanya. Itulah yang dinamai tajrid.
Proses yang sama terjadi ketika kita membangun konsep-konsep universal seperti manusia, kambing, monyet, kuda, terong, pisang, baju, celana, kipas, komputer, dan benda-benda lainnya. Begitu juga dengan konsep-konsep universal yang sering kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari. Semua itu terbentuk melalui suatu proses yang disebut tajrid.
Dan inilah sebetulnya keistimewaan manusia yang membedakan dia dengan hewan-hewan lainnya. Manusia mampu membangun konsep-konsep universal dari sesuatu yang bersifat partikular, dengan suatu proses yang dinamai tajrid. Tanpa adanya kemampuan tersebut, kita tidak mungkin bisa membangun peradaban.
Tanpa adanya kemampuan tersebut, kita tidak pernah mengenal apa itu agama, wahyu, kitab suci, syariat, filsafat, budaya, politik, ekonomi, presiden, rakyat, harta, kemiskinan, kekayaan, dan lain sebagainya. Karena itu semua adalah konsep-konsep universal yang kita bangun dari pengamatan kita terhadap hal-hal yang bersifat partikular.
Kendati hal-hal yang bersifat partikular itu memiliki perbedaan dalam berbagai aspeknya, tapi manusia mampu menyingkirkan perbedaan-perbedaan itu, sampai kemudian berakhir pada satu titik di mana ia menemukan aspek mendasar yang merekatkan semuanya. Lalu lahirlah beragam konsep universal yang kita gunakan sampai sekarang.
Konsep-konsep universal itu, dalam filsafat Islam, sering juga disebut dengan istilah ma’qûlât/mafâhîm awwaliyyah, atau mafâhîm mâhawiyyah. Selain itu nanti adalagi yang disebut dengan ma’qulat tsanawiyyah, yang kemudian terbagi lagi kedalam ma’qûlât tsânawiyyah manthiqiyyah dan ma’qulat tsânawiyyah falsafiyyah.
Apa sebetulnya yang membedakan istilah-istilah itu? Nah, untuk pertanyaan ini, saya kira kita perlu mendiskusikannya dalam tulisan lain secara terpisah. Sekian, wallahu ‘alam bisshawab.
Sumber : qureta .com
Recent Comments