Alkisah hiduplah seorang pemuda sebatang kara. Tinggal seorang diri jauh dari kota di tepi hutan. Sehari-hari dia mencari nafkah dengan menjual kayu bakar yang dia dapatkan di hutan, sambil sekali waktu dia berburu binatang untuk kemudian dia jual dagingnya di kota.

Sampai suatu hari dia berpikir sudah lama sekali sejak terakhir kali dia memasak daging dari hewan buruannya. Memang hewan buruan akhir-akhir ini sulit untuk didapatkan. Oleh karenanya, dia lebih banyak menghabiskan waktunya di hutan untuk mengumpulkan kayu bakar. Akhirnya dia memutuskan untuk hanya berburu binatang saja keesokan harinya, tanpa mencari kayu bakar.

Keesokan harinya, sang pemuda pergi ke hutan untuk berburu. Beberapa perangkap telah dia siapkan. Sedangkan dia sendiri masuk ke tengah hutan untuk berburu langsung dengan panahnya.

Tapi sayang, hari itu dia tidak beruntung. Tak seekor pun binatang yang berhasil ia tangkap. Hingga menjelang sore juga tidak ada binatang yang terjebak perangkapnya. Terpaksa sang pemuda pulang dengan kecewa.

“Sudah seharian tidak mencari kayu bakar, hewan buruan pun tidak aku dapatkan,” gumamnya.

Belum sempat ia keluar dari hutan, langkahnya tiba-tiba terhenti. Suara kicauan burung dari kejauhan telah membuyarkan lamunannya. Dan benar saja, setelah sesaat mencari, terlihat olehnya seekor burung bertengger di ranting pohon.

“Lumayan besar juga burung itu. Sepertinya bisa kujadikan makan malam. Setidaknya aku tidak sampai pulang dengan tangan kosong,” pikirnya.

Si burung yang tak menaruh curiga pada pemuda itupun lengah. Tanpa disadarinya, sang pemuda melemparnya dengan sebuah batu. Sontak si burung pingsan dan terjatuh. Pemuda tersebut mengambil burung itu hendak dibawa pulang.

Si burung sadar dari pingsan, dan mendapati dirinya sudah berada dalam genggaman sang pemuda. Si burung meronta-ronta berusaha melepaskan diri. Apa daya, dia hanyalah seekor burung kecil tak berdaya.

Sang pemuda mengangkat tangannya, menatap burung itu lalu berkata, “Haha.. dengan begini aku bisa tenang. Akan kumasak kau dan akan kujadikan makan malam.”

Mendengar hal itu, si burung ketakutan. Sadar kalau dirinya tidak bisa melepaskan diri, si burung coba memikirkan cara untuk selamat. Akhirnya si burung pun mendapat ide. Ia berkata pada sang pemuda, “Wahai pemuda, apa yang akan kau lakukan padaku?”

“Sudah kubilang kau akan kujadikan makan malamku,” jawabnya.

Si burung menimpali, “Hai pemuda, tubuhku kurus, dagingku sedikit, kau tak akan bisa menghilangkan rasa laparmu dengan memakanku. Lebih baik lepaskan saja aku, dan sebagai gantinya akan kuberi kau 3 nasihat.”

“Memangnya nasihat apa yang bisa diberikan oleh makhluk kecil sepertimu?” tanya pemuda tersebut.

“Aku memang makhluk kecil yang lemah, akan tetapi aku telah hidup cukup lama dan telah bertemu dengan orang-orang bijak. Setidaknya aku punya beberapa nasihat yang bisa kau gunakan dalam hidupmu,” kata si burung.

“Sepertinya apa yang kau katakan benar. Baiklah, katakan padaku ketiga nasihat itu dan akan kulepaskan dirimu.” Pemuda itu berjanji.

Si burung menimpali, “Akan kuberikan tiga nasehat itu hanya jika kau telah melepaskanku. Nasihat pertama akan kuberikan segera setelah kau melepaskan cengkramanmu; nasihat kedua akan kuberikan ketika aku sudah hinggap di atas pohon; dan nasihat terakhir akan aku berikan ketika aku sudah terbang cukup tinggi sehingga kau tidak akan bisa menangkapku.”

Sang pemuda pun melepaskan cengkraman tangannya, dan si burung kini dapat bergerak dengan bebas. Si burung berkata, “Seperti janjiku tadi, akan kusampaikan nasihat pertamaku. Jangan pernah mempercayai suatu berita yang datang padamu sampai kau bisa membuktikannya.”

Sang pemuda mengangguk mengiyakan naskhat itu. Lalu sang burung terbang dan hinggap di ranting sebuah pohon. “Nasihatku yang kedua, jangan pernah menyesali sesuatu yang telah terjadi atau hilang darimu,” lanjut si burung.

Sesaat kemudian, si burung pun terbang meninggalkan ranting itu dan berpindah ke pohon lain yang agak jauh. Dari kejauhan itu si burung berteriak, “Dasar kau pemuda bodoh. Tak tahukah kau bahwa sebenarnya di dalam tubuhku ini terdapat dua biji permata yang sangat indah? Seandainya saja kau membawaku pulang dan jadi memakanku, pasti kedua biji permata itu akan jadi milikmu. Tentunya kau akan menjadi orang yang sangat kaya. Hahaha..” Burung itu tertawa.

Mendengar pengakuan dari si burung, raut pemuda itu sontak berubah. Rasa kagumnya pada si burung seketika berubah menjadi amarah. Dia merasa dirinya telah terperdaya oleh si burung.

Sadar bahwa dirinya telah melakukan kesalahan, sang pemuda mencoba untuk menangkap kembali burung itu. Apa daya, burung itu kini sudah bisa bergerak bebas, tak mungkin baginya untuk menangkap si burung dengan jarak sejauh itu. Jadilah pemuda itu terhenyak. Dia menangis tersedu-sedu, menyesali perbuatannya.

Setelah agak lama menangis, sang pemuda mengusap air matanya, dan mencoba menenangkan dirinya. Sejenak kemudian dia berkata pada si burung yang sejak tadi menungguinya, “Baiklah, sekarang semuanya sudah telanjur terjadi. Tak mungkin aku bisa menangkapmu lagi. Mau tidak mau aku harus menerima apa yang terjadi,” kata sang pemuda yang sudah agak tenang.

“Tapi setidaknya beritahukan kepadaku nasihat yang ketiga, barangkali bisa bermanfaat bagiku,” lanjutnya.

“Ternyata kau memang benar-benar bodoh,” balas si burung. “Percuma saja aku mengatakannya, naskhatku tidak akan berguna untukmu,” si burung melanjutkan.

“Bagaimana mungkin?” timpal pemuda itu.

“Bagaimana tidak, belum juga aku memberimu naskhat yang ketiga, tapi kau sudah melanggar dua naskhatku sebelumnya.”

“Maksudmu?” sang pemuda bertanya keheranan.

Si burung pun menjelaskan, “Bukankah sudah kukatakan padamu untuk tidak menerima berita yang datang padamu sebelum kau membuktikannya. Tapi kau langsung saja percaya ketika aku mengatakan di dalam tubuhku ini ada dua biji permata. Coba kau pikir, apakah mungkin di dalam tubuhku yang kecil ini bisa ada biji permata?” Sang pemuda tampak serius mengiyakan.

“Sudah kunasihatkan pula padamu untuk tidak menyesali apa yang telah terjadi. Sementara kau, begitu menyesali perbuatanmu yang telah melepaskan aku, hingga menangis tersedu-sedu,” pungkasnya.

Sang pemuda mengangguk-angguk, membenarkan perkataan burung tersebut. “Benar apa yang dia katakan,” ungkapnya dalam hati. Dia pun bertanya, “Lalu apa nasihat yang ketiga?”

Burung itu menjawab, “Simpan saja dua nasihat itu, kelak aku akan memberitahukanmu ketika kau sudah bisa menjalankannya,” sembari terbang menjauh meninggalkan sang pemuda.

Sang pemuda pun tersenyum. Dia tampak puas dengan nasihat burung itu. “Rupanya nasihat burung itu memang lebih bermanfaat,” pikirnya.

Sumber: qureta.com

Translate »