Sang Muazin di salah satu masjid yang ada di Kabupaten Donggala terisak kala harus melantunkan “Shallu fii buyuutikum…”, salatlah di rumah kalian, menggantikan lafal hayya alas sholah dan hayya alal falah. Menandakan wilayah itu berada dalam kondisi darurat setelah mendapat pengumuman dari pemerintah setempat, dan juga otoritas kesehatan dan keagamaan.
Bagi kita yang kurang mendaras sejarah, ini seolah petanda awal dari sebuah kesudahan alam ini. Kita menganggap hal ini adalah tanda memasuki akhir dari kehidupan dunia, sebentar lagi akan kiamat.
Kejadian ini seolah belum pernah terjadi sebelumnya. Padahal, di zaman Rasulullah dan sekurang-kurangnya juga di masa kekhalifahan Umar bin Khattab, wabah mematikan berupa penyakit kusta pernah meneror masyarakat kala itu.
Nabi Muhammad saw. mengeluarkan larangan memasuki daerah yang di dalamnya ada wabah mematikan. Pun sebaliknya, bagi yang tinggal di daerah yang di dalamnya wabah mematikan menular, dilarang untuk meninggalkan daerah itu. Apalagi ditopang dengan fakta belum ditemukannya obat yang dapat menghentikan laju penularan wabah itu.
Dapat dicermati dari sejarah itu, bahwa Nabi Muhammad saw. sudah melahirkan sebuah konsep lockdown, atau kalau mau, bisa dimaknai dengan karantina wilayah. Itu dilakukan hingga obat wabah berhasil ditemukan, dan kondisi wilayah steril dari wabah.
Tak tanggung-tanggung, menurut laporan Republika.co.id. tanggal 27 januari 2020, alkisah nabi sampai membuat tembok untuk menutup suatu wilayah yang di dalamnya terjadi penularan wabah. Sekaligus memberikan motivasi, bahwa sekiranya para pengidap wabah itu wafat, mereka akan terhitung mati syahid.
Memang wabah pes atau dikenal dengan tha’un di masa nabi berbeda jenisnya dengan covid 19 saat ini. Tha’un sejenis virus penghasil penyakit kulit, sementara covid 19 sejenis virus penghasil penyakit paru-paru. Namun memiliki karakteristik persebaran yang sama; menular dengan sangat cepat, dan sangat mematikan.
Kita tidak tahu secara persis bagaimana dampak dan lama wabah pes di jaman Nabi Muhammad saw., sebab detail kisah itu sulit kita dapatkan, termasuk laporan-laporan perkembangan jumlah korban. Yang jelas covid 19 jauh lebih berbahaya, penularannya hampir di seluruh penjuru bumi. Hanya benua Antartika satu-satunya yang tidak terjangkau oleh wabah ini.
Data WHO, melalui situs resminya pertanggal 28 maret 2020 (update selama 24 jam) melaporkan sudah sebanyak 571.678 kasus yang terkonfirmasi, meningkat 62.514 kasus dari yang sebelumnya. Sebanyak 26.494 kematian, meningkat sebanyak 3.159 dari hari sebelumnya. Berdasarkan fakta itu, WHO berkesimpulan bahwa status penularan wabah ini very high, sangat tinggi.
Melihat status ini, tentu konsep lockdown atau karantina wilayah harus lebih canggih dari lockdown di masa nabi, upaya yang dilakukan harus lebih banyak dibanding sekadar menahan diri masuk ke wilayah lain, atau sekadar menahan diri untuk tidak keluar rumah. Jika itu terkait dengan salatlah di rumahmu, harus pula lebih dari itu.
Namun bukannya tanpa risiko, lockdown berdampak kepada aktifitas ekonomi yang akan mengalami pelambatan, bahkan bisa lumpuh total. Pembatasan aktifitas bepergian bisa menutup aktifitas pelaku usaha, ataukah transportasi, ataukah sebagian BUMN, ataukah bidang jasa lainnya.
Konsekuensinya, negara harus menyiapkan skenario besar untuk mengatasi hal itu. Menteri Keuangan Sri Mulyani pun angkat bicara, jika benar-benar harus lockdown, maka akan disiapkan skenario pertumbuhan hingga 0%, itu kemungkinan terburuknya. Secara keseluruhan, pemerintah akan kewalahan, atau tidak bakalan sanggup, jika sekiranya lockdown total harus benar-benar diterapkan.
Untuk sementara, lumpuhnya ekonomi menjadi pertimbangan. Namun sayang, mengapa opsi penundaan persiapan pindah ibukota tak kunjung diambil, ataukah proyek di bidang infrastuktur lainnya ditunda saja?
Meski begitu, lockdown tak menjamin kondisi akan lebih baik, walau akan punya pengaruh dalam menekan laju penyebaran wabah covid 19. Masyarakat harus pula menjalankan locdown rumah dan lockdown diri.
Lockdown rumah sudah dilakukan dengan cara mengisolasi diri dan keluarga di rumah. Kediaman tak dibuka untuk acara ramai, sekaligus tak mencari pula keramaian di luar rumah. Sementara lockdown diri, sudah dilakukan dengan cara memakai masker, handsanitizer, makan-makanan bergizi, mengurangi kontak fisik sekaligus membangun jarak, serta seluruh instruksi dari otoritas kesehatan bagi diri.
Lockdown juga mesti dibarengi dengan terus menerus mengakses informasi. Gunanya, pencegahan dapat dilakukan sedini mungkin. Kita perlu update jumlah korban perwilayah, sekaligus potensi penyebarannya.
Indonesia seharusnya sudah menjalankan test massal. Sebab jumlah positif corona sebanyak 1.285 pertanggal 29 maret 2020, barulah jumlah yang berhasil diperiksa. Masih ada banyak sekali manusia Indonesia yang belum diperiksa. Apalagi, pengidap positif corona tidak mesti punya gejala semisal demam dan sakit tenggorokan. Terbutkti banyak kasus positif tertular justeru berasal dari orang yang tak punya gejala.
Lebih menyedihkan, kondisi di daerah-daerah. Sudah APD (Alat Pelindung Diri) nya tidak lengkap, penentuan pasien dengan ukur suhu tubuh, serta uji laboratorium adanya di Jakarta saja. Dari Sulawesi Tengah saja, hasil tes positif atau negatif, harus menunggu sekira seminggu atau dua minggu dari Jakarta, barulah orang berstatus PDP (Pasien Dalam Perawatan) dapat ditetapkan statusnya. Dalam jangka waktu selama itu, bisa jadi penyebaran sudah lebih besar, tetapi statusnya lambat, penanganan juga terlambat.
Tidak bisa tidak, kuncinya sekarang berada di tangan pemerintah, menerapkan konsep lockdown merupakan hal yang penting saat ini. Tetapi penerapannya seperti apa? Pemerintah harus berpikir keras untuk itu. Sekali lagi, tes massal adalah salah satu langkah yang urgent untuk saat ini. Sebelum segalanya menjadi lebih buruk.
Namun, sebagai warga negara yang baik, kita tidak mesti bergantung pada pemerintah sepenuhnya. Kita harus memiliki andil, berupa keteladanan dan ikut berkampanye soal menekan laju penyebaran covid 19 ini. Kita punya kesempatan untuk melakukan itu. Yakni, dari bilik terdalam rumah kita, di balik kesendirian kita, ada banyak waktu untuk kita membuka literatur, dan menghidupkan literasi kewabahan, kemudian mengkampanyekannya di media sosial.
Sekali lagi, lockdown harus lebih canggih dari yang ada di zaman Rasulullah saw., yakni kita bekerjasama dengan berbagai upaya untuk menghentikan wabah ini.
Sumber : qureta.com
Recent Comments