Abdullah bin Mas’ud adalah salah satu qari’ kepercayaan Rasulullah ﷺ. Ketika Nabi memanggilnya, itu artinya ada hal penting, salah satunya: Rasul ﷺ akan mengajarkan ayat Al-Qur’an, wahyu yang baru saja turun.
Namun, hari itu tidak seperti biasanya. Rasul ﷺ memanggilnya bukan untuk mengajarkan salah satu ayat. Rasul ﷺ malah memerintahkannya untuk membacakan sebuah ayat.
Abdullah bin Masud agak bingung. Tidak seperti biasanya Rasul ﷺ seperti itu. Ia pun memberanikan diri untuk bertanya.
“Wahai Rasul ﷺ, apakah aku layak untuk membacakanmu sebuah ayat dari Al-Qur’an? Bukankah engkau yang lebih layak? Kepada engkaulah Al-Qur’an itu diturunkan,” protes Ibnu Mas’ud.
“Bacalah saja, aku ingin mendengarnya dari orang lain,” jawab Rasul.
Tak ingin membantah, Ibnu Mas’ud pun mulai membaca Al-Qur’an. Ia membaca Surat an-Nisa hingga sampai pada suatu ayat, “Dan bagaimanakah sekiranya Kami mendatangkan manusia dari seluruh umat dengan seorang saksi, lalu kami mendatangkanmu sebagai saksi atas mereka.”
Rasul memotong bacaan Ibn Masud, “Berhenti!” Ibn Masud melihat mata Rasul ﷺ telah menitikkan air mata. Kisah ini bisa ditemui dalam kitab Sahih Bukhari riwayat Ibn Masud.
Begitulah Rasul ﷺ saat dibacakan Al-Qur’an, ia menangis, tanda kalau ia menghayati bacaannya. Itulah mengapa, menangis menjadi salah satu kesunhahan saat membaca Al-Qur’an, tanda bahwa sang qari tersebut menghayati bacaannya hingga menangis, walaupun hal ini tidak bisa menjadi parameter penuh.
Rasulullah ﷺ sendiri pernah bersabda:
إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ نَزَلَ بِحُزْنٍ فَإِذَا قَرَأْتُمُوهُ فَابْكُوا فَإِنْ لَمْ تَبْكُوا فَتَبَاكَوْا
Artinya, “Sesungguhnya Al-Qur’an ini diturunkan dengan kesedihan, jika kalian membacanya, maka menangislah, dan jika tidak bisa menangis, maka pura-puralah untuk menangis.” (Ibn Majjah, Sunan Ibn Majjah, [Beirut: Dar al-Fikr, t.t], h. 424).
Pura-pura menangis yang dimaksud dalam hal ini adalah berusaha atau memaksa agar mampu menangis. Imam al-Ghazali memberikan beberapa tips agar kita mampu membaca Al-Qur’an dengan menghayatinya, hingga kita mampu menangis.
Sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas, pertama yang harus dilakukan oleh seorang qari adalah menghadirkan rasa sedih saat membaca Al-Qur’an. Karena Al-Qur’an diturunkan dengan kesedihan.
وقال الإمام: وإنما طريق تكلف البكاء أن يخضر قلبه الحزن
Artinya, “Imam al-Ghazali berkata: Sesungguhnya cara untuk memaksa diri agar bisa menangis (saat membaca Al-Qur’an) adalah dengan menghadirkan rasa sedih dalam hati.” (Muhyiddin Abu Zakariya an-Nawawi, al-Adzkar an-Nawawi, [Beirut: Dar al-Kutb al-Islamiyah, 2004], j. 1, h. 165)
Tentunya, rasa sedih tidak mungkin bisa serta merta hadir. Lalu bagaimana caranya agar rasa sedih itu bisa hadir?
Imam al-Ghazali melanjutkan:
ووجه إحضار الحزن أن يتأمل ما فيه من التهديد والوعيد والمواثيق والعهود، ثم يتأمل تقصيره في أوامره وزواجره فيحزن لا محالة ويبكي
Artinya, “Cara menghadirkan rasa sedih adalah dengan merenungkan ancaman dan janji-janji Allah ﷻ. Kemudian merenungkan kelalaian kita dalam perintah-perintah dan larangan-larangan Allah ﷻ tentu kesedihan akan tak dapat terelakkan, kemudian menangis.” (Muhyiddin Abu Zakariya an-Nawawi, al-Adzkar an-Nawawi, (Beirut: Dar al-Kutb al-Islamiyah, 2004), j. 1, h. 165)
Jika hal-hal di atas, mulai mengingat ancaman, siksaan, dosa, dan lain sebagainya, tidak mampu membuat kita menangis, maka, menurut al-Ghazali, hal itu merupakan musibah terbesar dalam hidup. Wallahu A’lam.
(Ustadz Muhammad Alvin Nur Choironi)
Sumber : nuonline
Recent Comments