Teman saya, beberapa waktu lalu, mengalami pelbagai macam perundungan. Itu bermula hanya pada karena berkomentar apa adanya. Sebagai perempuan di lingkungan patriarki, ia lalu dicap tidak bermoral.

Ternyata, bullying yang diterimanya itu berujung pada bagaimana cara ia berpakaian. Semua hujatan untuknya berawal dari ia yang tidak setuju dengan wacana mengkriminalisasi kelompok LGBT.

Lain lagi dengan cerita sepasang kekasih di Tangerang. Seperti kita tahu, dua sejoli itu harus mengalami nasib buruk karena persekusi warga sekitar yang menuduh mereka bertindak mesum.

Dalam standar moral yang mereka “paksakan”, jelas saja berdua-duaan bersama lawan jenis sangat tidak bermoral. Memersekusi dan menelanjangi perempuan yang mereka tuduh mesum dianggap sebagai hukuman bagi yang tidak bermoral.

Padahal, secara psikologis, bercengkrama dengan orang yang kita sayangi, sembari menghabiskan waktu berdua, dapat meningkatkan mood yang cukup signifikan. Coba saja jika tak percaya.

Saya ambil satu kronologi lagi. Kita jalan-jalan dulu ke negeri India. Di sana, sekelompok masyarakat beragama Hindu tidak akan segan-segan hingga membunuh siapa pun yang menyimpan atau memakan daging sapi.

Hal ini jelas aneh. Bukannya mempelajari khasiat daging sapi jika dikonsumsi, mengedepankan fanatisme berujung kebencian malah jadi pilihan untuk menyerang yang berbeda keyakinan. Benar-benar kolot.

Dari beragam kejadian mengerikan itu, hukum agama menjadi dalih untuk melakukan tindak banalitasnya terhadap mereka yang tidak sepemahaman. Dan ini sungguh gila, apalagi jika pemaksaan standar moral bisa lebih berbahaya apabila mendapat legitimasi negara. Sedih? Tentu saja.

Saya merenungkan kutipan berikut:

“Kalo kamu ingin mengajarkan moral kepada anakmu kelak, ajarkan ia sains, itu jauh lebih membumi ketimbang menjejalinya ajaran agama.”

Sepenggal kalimat singkat, namun bernas dan berisi. Pernyataan itu diutarakan Hokky Situngkir, pendiri Fe Institute di acara workshop pada bulan September 2017 lalu. Ilmuwan sekaligus akademisi yang barang tentu sudah mengerti betul akan pilihan pemikirannya tentang standar moral.

Berhubung di Indonesia, walaupun ajaran agama tidak diadopsi seutuhnya menjadi hukum, masyarakatnya yang religius tetap mengidamkan hukum syariat Islam diadopsi ke dalam hukum pidana. Terkait moralitas, bisa dibilang jika sikap maupun penampilan kita yang terlihat di luar standar moral masyarakat, tidak bermorallah kita.

Mengutip apa yang dikatakan Karlina Supelli dalam kuliah umumnya di waktu yang sama, “ilmu pengetahuan tidak mengajarkan kepastian; ia akan terus mempunyai kekurangan; oleh karena, itu ia harus terus dikritik, tidak menyangsikan, dan berintegritas terhadap fakta,” katanya saat itu.

Melalui sains, standar moral tidak akan saling bersinggungan. Karena pijakannya jelas pada fakta. Bukan kepercayaan, apalagi cocoklogi.

Saya pikir, sudah seharusnya individu menemukan paradigma baru yang asyik tentang “apa yang seharusnya menjadi milik kita”. Dengan sains, standar moral akan terus berubah sesuai zamannya, bukan dengan ajaran keagamaan tertentu yang coba terus dipaksakan hingga berujung kekerasan walaupun, misalnya, fakta berkata lain.

Bermoral dengan Sains

Banyak sekali cuplikan video singkat di media sosial bagaimana seekor anjing ingin menyelamatkan ikan yang terlempar dari air. Atau seekor kucing yang berusaha menjaga anaknya dari pelbagai macam gangguan.

Tanpa bermaksud menyetarakan manusia dengan hewan, tetapi sebagai makhluk hidup, tindakan bermoral sudah timbul dalam gen makhluk hidup sejak lahir.

Lalu, apa pendapat tokoh ateisme seperti Richard Dawkins dan Ali A. Rizvi terkait moralitas yang terbangun meski tanpa agama?

Richard Dawkins dalam bukunya The God Delusion (2006) menulis bahwa anjing, kucing, dan hewan sejenis lain tidak pernah belajar agama untuk menolong sesamanya. Secara alamiah, gen menggerakkan tubuh mereka sama seperti rasa ingin berhubungan seksual.

Begitu pun manusia, melihat yatim piatu menangis atau korban bencana alam akan memiliki rasa sedih secara alamiah. Sifat alamiah ini terjadi karena jenis altruisme yang dimungkinkan statistik memiliki tiruan pada sebuah gen-gen makhluk hidup. Adapun jenis altruisme timbal-balik, yakni seperti kamu menggaruk punggungku dan aku akan menggaruk punggungmu.

Studi kasus lain bisa kita buktikan sendiri, seperti kita yang merasa lapar dan akhirnya mendapatkan makanan karena pemberian orang lain akan mendorong kita memberikan makanan pada orang yang sedang kelaparan. Hal itu terjadi karena rasa perih di perut yang kita rasakan sangat tidak nyaman.

Sedangkan Ali A. Rizvi dalam bukunya The Atheist Muslim (2016) lebih mengutamakan pada sains yang melatih akal budi sebagai moralitas dasar manusia. Karena sains memiliki pijakan pada sebuah pertanyaan maupun ide yang kemudian diujikan melalui riset.

Ali Rizvi menambahkan bahwa sains sangat bergantung pada bukti. Tidak peduli seberapa elegan atau indah ide itu, sains akan mencampakkannya tanpa ampun jika tidak didukung oleh alam dan hukum-hukumnya. Baginya, agama samawi hanya sebatas sebuah ide dan imajinasi yang tidak bisa dibuktikan.

Sebagai muslim, saya setuju terkait pendapat kedua tokoh ateisme ini. Jika sains dijadikan padanan moral untuk realitas sosial, persekusi maupun penindasan tidak akan terjadi karena pemaksaan keyakinan. Kehidupan sosial akan terbangun menjadi sebuah kelompok masyarakat yang berpijak pada sebuah fakta yang dihasilkan ilmu pengetahuan.

Bahwasannya sains tidak hanya terbuka, tapi juga berkembang pesat terhadap inovasi dan perubahan. Seperti yang saya uraikan tadi, jika tidak atas dasar kepercayaan, kita akan memahami tanpa menghakimi melihat individu lain berpacaran mesra, memakan daging sapi dengan lahap, hingga orientasi seksual orang lain.

USA pernah menolak untuk mengakui secara de facto kelompok LGBT. Berkaca pada pengalaman mereka, Mahkamah Agung USA dengan lapang dada menerima fakta bahwa itu adalah perbedaan orientasi seksual yang disebabkan gen dan kromosom yang berbeda, bukan penyakit, apalagi kutukan.

Pada akhirnya, kelompok LGBT diberikan penuh hak-hak dasarnya. Mereka disambut baik. Stigma sebagai kelompok tidak bermoral dihapus negara secara legal.

Di lingkungan sosial, sains cukup pantas menjadi penawar luka terkait konflik antar individu. Tapi, perlu diingat, menjadi fundamentalis sains pun sama tak baiknya.

Kita bisa menelisik sejarah masa lalu bagaimana sains menghancurkan dua kota Jepang, Nagasaki dan Hiroshima. Yang menyakitkan lagi, hingga menewaskan ratusan ribu nyawa manusia. Tetapi, sebagai oase yang begitu terbuka, sains terbuka pada kritik dan perubahan, sekalipun sangat tak berdaya di hadapan ornamen politik perang dunia II.

Jelas, sains merupakan pembebasan dari pikiran yang terbelenggu. Di saat pikiran terkungkung oleh aturan yang berbasiskan dogma yang rigid, kita seperti melayang di udara.

Tidak ada yang salah dari agama. Beragama pun sama baiknya, baik sekali, bahkan jika moderat. Yang salah ialah pemikiran tertutup yang bisa mengkhianati akal kita. Ya, pengkhianatan terhadap tradisi ilmiah.

Sumber : qureta.com

Translate »