Seperti teks lain, Alquran harus ditafsirkan dengan memperhatikan beberapa hal.

Manusia yang memiliki budaya, nilai, kesan, dan pengalaman hidup yang berbeda akan membentuk penafsiran yang berbeda pula terhadap Alquran. Namun hal ini tidak berarti bahwa tiap-tiap pemahaman memiliki keabsahan dan kualitas yang setara.

Dalam buku Abdullah Saeed, Alquran Abad 21, dijelaskan bahwa pendekatan tafsir terhadap Alquran sudah dilakukan sejak zaman Nabi Muhammad saw, meskipun penafsirannya lebih bersifat praktis dan tidak ada prinsip-prinsip tertentu.

Ketika nabi wafat, dua elemen penting yang mendasari penafsiran Alquran pun hilang; kehadiran nabi dan konteks yang melatarbelakangi turunnya ayat Alquran saat itu.

Penafsiran Alquran yang dilakukan oleh sahabat nabi antara lain dengan menghimpun hadis nabi, memori mereka bersama nabi, bahkan pengumpulan tradisi-tradisi Ahli Kitab –Yahudi dan Kristen– untuk menafsirkan ayat-ayat tertentu saat itu.

Lalu setelah masa sahabat, masa tabi’in dengan keragaman intelektual, sosial, dan budaya, maka generasi Islam memahami Alquran dengan hadis dan atsar dalam bentuk tulisan yang dinisbatkan atas nama nabi.

Alquran memiliki bentuk penafsiran yang beragam, di antaranya tradisionalisme, tekstualisme, dan kontekstualisme.

Penafsiran tradisionalisme menaruh perhatian utamanya pada analisis filologis terhadap teks dengan tinjauan teologis, hukum, politik keagamaan atau mistik. Tema utama yang dibahas dalam penafsiran ini adalah bagaimana mengidentifikasi kejelasan atau ambiguitas teks-teks Alquran.

Penafsiran tekstualisme menekankan pemahaman teks berbasis riwayat dan pembacaan teksnya secara literal. Tujuannya adalah untuk mempertahankan pemahaman yang berbasis riwayat setepat mungkin dan mendukung pemahaman itu dengan mengutip serangkaian teks, misal teks Alquran, hadis, atsar, pendapat ulama, dan lain-lain.

Pemahaman tekstualisme ini terbagi atas dua spektrum, yaitu tekstualisme lunak dan tekstualisme keras. Jika tekstualisme lunak, maka penafsirannya masih mengandung kelenturan terhadap pemahaman, sedangkan tekstualisme keras terkesan kaku dan tidak adanya celah terhadap aspek apapun kecuali literal itu sendiri.

Kelemahan dari penafsiran tekstualisme ini adalah kegagalannya dalam melihat pelbagai nilai etis dan moral yang hendak ditanamkan oleh Alquran ke dalam hati dan pikiran orang-orang yang beriman.

Mengapa demikian? Karena pemahaman ini selalu mengabaikan konteks dan faktor lainnya sehingga cenderung menghasilkan pemahaman yang parsial dan kontradiktif atas teks Alquran itu sendiri.

Adapun penafsiran kontekstual adalah penafsiran yang dapat dipahami dan diamalkan pada abad ke-7, juga dapat digunakan di era modern. Penafsiran ini cenderung melihat Alquran sebagai pedoman praktis yang fleksibel dapat digunakan sesuai kebutuhan masyarakat yang membutuhkannya.

Dalam hal ini, maka konteks sosial, budaya, politik, ekonomi, dan lainnya sebagai latar belakang turunnya ayat dan kesamaannya dengan konteks sekarang harus dipertimbangkan selama tidak melanggar pokok-pokok fundamental Islam. Tokoh dari penafsiran kontekstualisme ini adalah khalifah Umar Ibn Khattab.

Tantangan modern terhadap penafsiran Alquran sangat terasa ketika harus menghubungkan konteks ayat Alquran dengan kehidupan saat ini. Konteks modern menuntut peninjauan ulang warisan intelektual Islam, karena umat Islam saat ini cenderung taqlid.

Kaum modernis berpendapat bahwa logika dan wahyu tidak akan pernah bertentangan. Untuk membuktikan asumsi itu, mereka banyak mengambil logika rasional sebagai metode penafsiran Alquran. Maka dapat disimpulkan bahwa kaum rasionalis cenderung menggunakan penafsiran kontekstualisme.

Sebenarnya, tiga model penafsiran di atas memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing dalam menjawab tantangan zaman ini. Dalam penafsiran Alquran, rasa takut untuk mengkritisi dengan pertimbangan rasional akan muncul.

Ketakutan itu bisa saja muncul dari beberapa faktor, salah satunya adalah anggapan bahwa ayat-ayat Alquran merupakan wahyu yang berasal dari Allah swt. Oleh karena itu, maka kebenaran teks tersebut tidak dapat dibantah.

Akan tetapi, kita harus mengingat kembali bahwa implikasi dari inti ajaran Islam adalah keadilan sosial. Inti dari nilai-nilai Islam adalah ketauhidan kepada Allah, namun implikasinya adalah tercapainya keadilan sosial bagi seluruh umat manusia.

Berarti, teks-teks Alwuran memang berasal dari Allah, namun objek yang dituju adalah umat manusia (terkhusus umat Islam); mengatur kehidupan manusia dalam segala aspek.

Oleh karena itu, penafsiran Alwuran harus mengutamakan konteks implikatif dari nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Ini akan berkaitan dengan tujuan Allah memberi manusia akal pikiran (rasio) tidak lain adalah untuk menjawab fenomena ini.

Mungkin dari pemaparan di atas, pembaca akan berpikir bahwa orientasi penulis menuju penafsiran kontekstual. Tidak demikian, penulis berusaha mengingatkan bahwa Islam semula datang untuk mengangkat martabat umat manusia.

Jika kita terpaku kepada konsep penafsiran literal, maka ayat-ayat Alquran akan sangat mudah dimanfaatkan untuk mencapai kepentingan orang-orang yang tidak bertanggungjawab; dengan menafsirkan ayat-ayat Alquran secara simplistik dan parsial.

Untuk menghindari hal tersebut, ketiga penafsiran harus diaplikasikan secara seimbang. Dengan kata lain, tidak mendewakan salah satu penafsiran dan menganggapnya sebagai yang paling benar.

Lebih penting lagi, penafsiran terhadap Alquran harus memperhatikan konteks masyarakat yang mengaplikasikannya, tidak hanya mementingkan bunyi ayat itu sendiri.

Sumber : qureta.com

Translate »