Dalam biologi, homo sapiens adalah spesies dengan genus homo dan anggota dari famili hominidae. Dengan demikian, homo sapiens bukanlah satu-satunya jenis manusia, karena masih ada jenis-jenis manusia lain.
Term manusia disini merujuk pada spesies dengan genus homo, seperti Neanderthaldan sebaganya.
Menjadi pertanyaan menarik, mengapa homo sapiens adalah satu-satunya jenis manusia yang tersisa dan apa yang menyebabkan sapiens bisa menguasai bumi padahal sebelumnya sapiens menjadi spesies yang diburu oleh spesies-spesies lain?
Dalam buku Sapiens, Yuval Noah Harari memberikan jawabannya, antara 70.000 tahun dan 30.000 tahun lalu terjadi salah satu revolusi penting yang membentuk jalannya sejarah, yakni revolusi kognitif. Revolusi kognitif ini menyebabkan sapiensmempunyai kemampuan bahasa luar biasa luwes bila dbandingkan spesies lainnya.
Sapiens bisa menghubungkan sejumlah terbatas bunyi dan tanda untuk menghasilkan kalimat dalam jumlah tak terbatas, masing-masing dengan makna yang berbeda. Dengan ini sapiens bisa mencerna, menyimpan, dan mengomunikasikan informasi dalam jumlah yang luar biasa besar tentang dunia sekeliling.
Menjadi pertanyaan menarik lainnya, yakni mengapa terjadi revolusi kognitif tersebut? Dalam biologi, teori yang paling banyak dipercaya adalah tentang mutasi genetika yang terjadi secara tidak sengaja mengubah sel-sel otak sapiens.
Yoval Noah Harari menyebut mutasi genetika ini dengan istilah mutasi pohon pengetahuan. Mutasi pohon pengetahuan ini membantu sapiens untuk dapat membentuk kawanan yang lebih besar dan lebih stabil.
Dengan demikian, sapiens bisa bekerjasama antar satu dengan yang lain ataupun dalam kelompok besar tersebut, baik untuk menghindari spesies lain yang dapat memangsa, maupun bekerjasama untuk berburu menaklukan spesies-spesies yang lebih besar lagi.
Kemampuan bekerjasama yang dimiliki oleh sapiens ini, dilatarbelakangi oleh kemampuan sapiens untuk menciptakan fiksi. Fiksi disini dipahami sebagai realitas yang dibayangkan, seperti hal yang sifatnya transendental (arwah singa, kepercayaan animisme dan sebagainya), dari fiksi tersebut mendorong sapiens untuk mempercayai suatu sistem nilai yang membuat mereka terikat satu sama lain, melakukan ritual secara bersama-sama dan sebagainya.
Sejauh ini, diketahui hanya sapiens lah satu-satunya spesies yang bisa berbicara tentang segala jenis entitas yang belum mereka lihat, sentuh, atau endus. Mitos dan sebagainya muncul pertama kali setelah adanya revolusi kognitif. Jika sebelumnya, banyak spesies ataupun jenis manusia lain mengatakan “awas ada singa!”, berkat revolusi kognitif, sapiens bisa mengatakan “singa adalah penjaga arwah suku kita”.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa fiksi bukan hanya memungkinkan untuk membayangkan sesuatu, melainkan melakukannya juga secara kolektif. Fiksi dan kebohongan adalah dua hal yang berbeda, fiksi atau realitas yang dibayangkan adalah sesuatu yang dipercaya setiap orang, dan sepanjang kepercayaan bersama itu ada, reaitas yang dibayangkan mendatangkan kekuatan di dunia.
Revolusi kognitif memang menjadi titik awal kemenangan sapiens dalam sejarah, tetapi perlu diperhatikan juga, revolusi kognitif menyebabkan pula punahnya spesies lain.
Meskipun ada teori yang menyebut bahwa kepunahan beragam spesies lain tersebut karena iklim, tetapi menafikan peranan sapiens atas kepunahan spesies lain pun merupakan hal yang naif.
Yuval Noah Harari menjelaskan pada masa revolusi kognitif, bumi menjadi rumah bagi sekitar 200 genera mamalia besar darat yang beratnya di atas 50 kilogram. Pada saat revolusi agrikultur, hanya 100 yang tersisa, homo sapiens mendorong kepunahan sekitar setengah binatang besar planet ini.
Revolusi agrikultur adalah revolusi yang merubah cara hidup sapiens, perlu dipahami bahwa peristiwa tersebut adalah titik penting selanjutnya dalam sejarah sapiens.
Diperkirakan revolusi tersebut terjadi dimulai pada 12.000 tahun lalu. Sekitar 10.000 tahun lalu, sapiens mulai banyak menghabiskan waktunya untuk memanipulasi kehidupan beberapa spesies binatang dan tumbuhan.
Pekerjaan tersebut dilakukan sebagai usaha untuk menyediakan lebih banyak buah, biji-bijian dan daging. Bahkan, revolusi agrikultur tersebut masih mempengaruhi kehidupan hingga hari ini. Tercatat, lebih dari 90 persen kalori yang menghidupi manusia datang dari segelintir tumbuhan yang didomestikasi leluhur kita antara 9500 SM-3500 SM.
Meski begitu, Yuval berpendapat bahwa revolusi agrikultur sebenarnya adalah perangkap yang mewah bagi sapiens. Revolusi agrikultur tak membuat sapiens lebih bahagia, karena jam sapiens bekerja jauh lebih banyak dibanding masa berburu.
Belum lagi, tubuh homo sapiens belum berevolusi untuk tugas semacam itu (agrikultur), karena tubuh sapiens teradaptasinya untuk memanjat pohon apel, berburu rusa, bukan untuk kegiatan bertani gandum, seperti membersihkan batu-batu dan membawa kantung-kantung air
Studi-studi atas tulang belakang kuno menunjukkan bahwa transisi menuju pertanian membawa banyak penyakit, seperti terkilir, radang sendi, dan hernia.
Lebih dari itu, tugas-tugas baru pertanian menuntut sapiens dipaksa menetap secara permanen dekat dengan ladang-ladang gandum mereka. Dengan demikian, Yuval berpendapat yang terjadi justru gandumlah yang mendomestikasi sapiens.
Setelah revolusi agrikultur, pada milineum-milenium selanjutnya, sapiens bisa semakin mengorganisasi dalam jumlah yang lebih besar lagi. Sapiens membantuk kota-kota. Pada masa-masa selanjutnya, jauh setelah revolusi agrikultur, kemudian terjadi revolusi saintifik.
Bisa dikatakan revolusi saintifik adalah revolusi terbesar sepanjang sejarah sapiens, setelah revolusi kognitif dan revolusi agrikultur, karena revolusi-revolusi tersebut memberikan perubahan secara signifikan dalam hidup sapiens.
Revolusi saintifik terjadi pada 500 tahun lalu, suatu revolusi yang kemungkinan mengakhiri sejarah, karena pada masa-masa selanjutnya merupakan bentuk dari perkembangan revolusi saintifik, suatu revolusi yang memulai sesuatu yang benar-benar berbeda.
Dengan adanya revolusi saintifik menyebabkan sapiens memercayai science akan bisa menyelesaikan segala permasalahan. Banyak negara-negara yang menggelontorkan dana banyak untuk pengembangkan science dan teknologi, terlebih lagi yang sekiranya berguna untuk kepentingan politik dan ekonomi.
Tetapi menarik untuk dijawab, apa sebenarnya proyek dari revolusi saintifik ini? Yuval menjawabnya, yakni untuk mengalahkan kematian, imortaliti. Suatu hal yang kedengarannya aneh dan mustahil.
Tapi mari sejenak kita berpikir, berabad-abad lalu, luka ringan bisa menyebabkan infeksi dan pembusukan, tapi sekarang orang sudah menemukan antibiotik dan metode sterilisasi efektif, suatu yang tak pernah terpikirkan sama sekali oleh orang pada abad-abad yang lalu. Pada dasarnya, revolusi saintifik adalah cita-cita tentang kemajuan.
Pertanyaan menarik lainnya, lalu bagaimana dengan masa depan umat manusia? Sejarah mencatat masalah kelaparan merupakan bencana yang menghantui kemanusiaan, tetapi di masa depan yang terjadi adalah kelebihan pangan. Kalaupun ada kelaparan, kebanyakan bukan karena alamiah, melainkan bencana politik.
Dengan demikian, akan lebih banyak orang meninggal karena obesitas dibanding gizi buruk. Hal ini didukung juga oleh data pada 2010, kelaparan digabung dengan gizi buruk membunuh 1 juta orang, sementara obesitas membunuh 3 juta orang. Sementara itu, diperkirakan juga setengah dari populasi manusia kelebihan berat badan pada 2030.
Di sisi lain, kemajuan science dan teknologi akan semakin pesat, meski di satu sisi itu menguntungkan karena dapat mengatasi permasalahan, misalnya saja kemajuan kelak dalam bioteknologi yang bisa mereduksi masalah epidemi dan sebagainya, tapi di sisi lain itu bisa dimanfaatkan juga oleh kelompok teroris untuk menciptakan virus jahat untuk kepentingan ideologinya.
Masalah kelaparan, epidemik, bencana ataupun perang akan tetap ada, tetapi hal itu bisa direduksi.
Dalam buku Homo Deus, Yuval menulis “setelah berhasil mengamankan level kemakmuran, kesehatan, dan harmoni yang belum ada presedennya, dan mengingat pada catatan kita di masa lalu dan nilai-nilai di masa kini, target berikutnya kemungkinan adalah imortalitas, kebahagiaan, dan keilahian.
Lebih lanjut, ia mengungkap “setelah mengangkat kemanusiaan di atas level binatang dalam hal perjuangan survival, kita kini berusaha meningkatkan menusia menjadi dewa-dewa, dan mengubah Homo Sapiens menjadi Homo Deus”.
Sumber : Qureta.com
Recent Comments