Ia dilahirkan dari laksamana pasukan perang, yang merupakan canggah dari sosok Sultan yang masyhur pada abad 15. Hidupnya dihabiskan dengan perjuangan.
Jejak hidupnya bertentangan dengan budaya kerajaan ketika itu di mana wanita identik dengan pendamping, pelayan, dan mengambil peran pasif lainnya. Ia mampu menggalang wanita-wanita untuk berjuang dan memperjuangkan kehidupan.
Di sudut kota Kerajaan Nangro, ada ketukan di dalam hati wanita internal kerajaan. Bersolek bukan kegemarannya. Menawan baginya adalah tatkala mampu memimpin pasukan untuk membela kebenaran dan kedaulatan tanah airnya. Wajar saja, darah yang mengalir di dalam tubuhnya adalah keturunan silsilah kerajaan.
Masa kecilnya habis untuk investasi perjuangan masa depan. Ajaran agama digenggam erat-erat. Persoalan gender tidak dipertentangkan pada kesucian keyakinannya. Karena memang ia meyakini betul bahwa di hadapan Tuhan, kaum adam dan hawa tidak ada bedanya. Hanya ketaatan kepada-Nya yang menjadi pembeda.
Dalam kesehariannya, ia tak jarang merasakan suasana kapal-kapal menepi di pelabuhan. Tak cukup di situ, secara langsung dirinya juga menyaksikan angkatan laut Kerajaan Nangro berlatih perang.
Itulah yang kemudian membentuk alam bawah sadarnya, sehingga jatuh hatinya pada lautan dengan samudra lepas. Semua itu tidak lepas dari peran sang ayah yang selalu mengajak dirinya berkeliling dekat laut.
Tidak cukup di situ, sejak kecil, ia telah dihadirkan sosok guru agama tersohor di daratan kerajaan. Alquran adalah temannya selama masa kecil. Ilmu agama menjadi konsentrasi utamanya. Tetapi, pada saat yang bersamaan, ia juga dengan gigih mempelajari bahasa-bahasa.
Tidak heran jika ia menguasai bahasa Spanyol, Prancis, dan Inggris. Prestasinya selama menjalani masa pendidikan adalah lulusan terbaik Baitul Maqdis. Kecemerlangannya terus berlanjut hingga ia didaulat menjadi Pimpinan Protokol Istana oleh Sang Raja.
Semua prestasinya itu tidak kemudian membuatnya bahagia, justru ujian demi ujian makin ia jumpai. Ia menyaksikan langsung pendamping hidupnya ditembus meriam lawan. Hatinya telah terpaku oleh tekad juang, seketika itu juga ia hampiri suaminya untuk mengambil pakaiannya dan segera mengenakannya.
Keputusan itu diambilnya demi menjaga mental prajurit-prajurit suaminya. Melalui penyamaran itu, perlawanan terus digelorakan untuk memukul mundur musuh. Hingga akhirnya, ia berhasil memimpin prajurit yang ada di kapal dengan menenggelamkan kapal lawan serta menawan beberapa di antaranya.
Sejak peristiwa itu, ia menjadi sosok janda. Anaknya dirampas oleh pengkhianat kerajaan. Maklum saja, ketika itu di dalam kerajaan terjadi intrik politik. Hatinya merasa sepi. Kekosongan jiwanya menjadikannya mengurungkan diri. Enggan ia bercengkerama dengan keramaian.
Tetapi, darah yang mengaliri tubuhnya adalah darah keturunan petinggi kerajaan. Kesadarannya segera kembali, bahwa kemurungan yang dijalaninya tidak akan membuatnya makin kuat, apalagi mengubah keadaan. Sedangkan pada waktu yang sama, tanah airnya sedang dalam ancaman kadaulatan.
Ia menyaksikan bahwa dirinya bukan satu-satunya wanita yang ditinggal oleh suami dalam medan perjuangan. Karena itu, pantang baginya untuk membiarkan sosok wanita direnggut oleh kesedihan, bahkan dihantui oleh kehampaan.
Mental juang terpasung, semangat dalam diri telah lumpuh, seolah tidak ada harapan di hari esok. Dengan segera ia kumpulkan wanita yang senasib dengannya. Ia tancapkan sumbu-sumbu pelita hati untuk menyinari pikiran.
Ia teriakkan mantra-mantra kepada ribuan wanita di hadapannya:
“Inong Balee, dengarkanlah! Tidak ada gunanya kau simpan sedihmu dalam hatimu. Sedihmu hanya akan menjadi racun bagi tubuhmu. Kalau tidak segera bangkit, kalian akan menyaksikan betapa tidak berartinya hidupmu lantaran tidak ada sasaran yang dituju. Yang mati biarlah pergi dengan tenang, namun yang hidup harus memperjuangkan hidup dan kehidupan.”
Ia berdiam sejenak memandangi satu per satu wajah kaum hawa di hadapannya. Menghela nafas, ia melanjutkan mantranya:
“Aku yang berdiri di hadapan wanita-wanita pemberani, aku pesankan pada diri kalian, bagi engkau sekalian yang sedang menyusui anak-anak kalian, hendaknya biarlah anak-anak kalian mengambil haknya. Namun, setelah itu, medan perjuangan telah menantimu. Kuperingatkan sekali lagi, bagi engkau yang gentar terhadap lawan, yang rapuh atas keyakinan menang, aku persilakan diri kalian untuk kembali ke bilik-bilik rumah kalian, menikmati sedih kalian. Ketahuilah, aku hanya tidak ingin perjuangan di medan perangmu hanya akan menghasilkan ketakutan. Bersiaplah, wahai Inong Balee!!!”
Ia adalah Keumalahayati, sosok Laksamana Laut wanita pertama dalam pasukan pertempuran. Ia terkenal dengan panggilan Laksamana Malahayati, wanita yang mengabdikan dirinya untuk mengusir penjajah dan pengkhianat kerajaan.
Bersama pasukannya, Inong Balee, Malahayati telah menaklukkan Cornelis de Houtman seorang pimpinan ekspedisi Belanda ke Nusantara dan memukul mundur armada-armadanya.
Sosok Malahayati dikenang menjadi Pahlawan Nasional Republik Indonesia. Namanya diabadikan menjadi nama sebuah Perguruan Tinggi di Lampung serta Kapal Perang TNI AL KRI Malahayati. Malahayati adalah secuil kisah nyata wanita dalam perjuangan.
Malahayati adalah bukti nyata kalau wanita mampu dan berhak memperjuangkan kebenaran, keadilan, dan kedaulatan tanpa harus mengorbankan nalurinya sebagai seorang wanita sejati yang penuh kelembutan hati.
Lantas, bagaimana dengan wanita zaman saat ini dalam menegakkan perjuangannya?
Sumber : qureta.com
Recent Comments