Wafatnya Stephen Hawking menyisakan duka bagi sebagian besar masyarakat dunia. Kepergiannya tepat di tanggal kelahiran Albert Einstein, 14 Maret, juga bertepatan dengan peringatan tahunan untuk konstanta Pi (Pi Day). Sebuah kebetulan atau ketetapan, kematian itu menjadi momen tertentu yang saling beririsan.
Hawking menghabiskan seluruh hidupnya untuk terus menggugat tatanan alam semesta yang sejak berabad-abad menjadi diskursus yang tak pernah final didedah, ditelanjangi, dicumbui. Ia mengaku telah bervakansi ke ceruk alam semesta yang paling dalam; bukan secara fisik, tentunya, melainkan melalui imajinasi dan pembuktikan empiris di atas kertas.
Perjumpaan banyak orang, bila membincangkan Hawking, acap dipertautkan oleh magnus opum-nya bertajuk A Brief History of Time. Mahakaryanya itu menuai pujian banyak kalangan. Meskipun pada awal publikasi, karya itu ditampik, bahkan dicemooh sebagai bualan belaka. Tapi, Hawking tetap tegar dan terus mengenalkan karya itu ke penduduk bumi lewat sentilan pertanyaan yang membikin mereka mengernyitkan dahi.
Di atas kursi roda, Hawking memberi kuliah ke kampus-kampus. Keterbatasan fisik tak menjadi alasan untuk berhenti berkarya. Walau sejak didiagnosis mengidap Motor Neuron pada usia muda (22 tahun), ia sempat putus asa. Dokternya pun ketar-ketir karena memprediksi usianya tak lebih dari dua bulan. Publik tercengang mendengar itu. Namun, prediksi medis ternyata salah. Ia masih eksis hingga Maret 2018.
“Apa Hawking benar-benar tiada?” kata kawanku yang menggeluti studi Fisika. Ia tak percaya kalau kematian seseorang juga berarti keredupan karya. Warisan ilmu yang Hawking publikasikan itu masih eksis sampai kapan pun, sebagaimana ilmuan-ilmuan sebelumnya. Selama tulisan mereka dibaca, selama itu pula mereka tetap hidup di kepala pembaca. Selamat jalan, Maestro.
Keadilan Pikiran
Bila Pramoedya pernah mengatakan keadilan mesti diawali sejak dalam pikiran, maka memposisikan Stephen Hawking sebagai seorang ilmuan juga selayaknya diposisikan seadil-adilnya.
Saya punya sejumput kisah mengenai hal itu. Bila diingat-ingat, ia terjadi sekian tahun lampau. Manakala masih mengenakan seragam putih abu-abu.
Temanku secara jelas mengatakan tak ingin membaca, mempelajari, dan merenungi apa yang telah Hawking tulis di setiap karya-karyanya. Alasannya sungguh amat klise, yakni saat mendengar tayangan di YouTube ketika Hawking diwawancarai dan mengaku sebagai seorang ateis.
Tuturan itu membuat kaget kawanku. Pelajaran Fisika yang ia gemari sejak masa putih biru itu dengan segera ditinggalkan. Terutama menghindari materi Lubang Hitam dan segenap rumus yang Hawking tawarkan.
Kami berdebat soal bagaimana memposisikan sains dan iman. Sebagai seseorang yang religius, ia marah karena pengakuan Hawking itu. Ateisme yang merupakan sikap privat atas keteguhan iman seseorang ternyata dicampuradukkan pada ranah temuan ilmiah. Dengan kata lain, sains dan iman adalah dua ranah yang berlainan konteks, namun ia anggap satu kotak. Tak heran bila ia meninggalkan teorinya Hawking hanya karena bersinggungan prinsip.
Saya kira melihat Stephen Hawking perlu kebijaksanaan sikap. Urusan ateisme yang diakui Hawking bukan lantas berhenti mempelajari sejumlah tawaran keilmuan yang ditekuninya. Bila tak begitu, sederet kekecewaan karena perbenturan prinsip privat akan terus mengemuka. Di situ ketidakadilan melihat Stephen Hawking bermula.
Kontinuasi Temuan
Warisan berharga Hawking tiada lain ialah karya tulisnya. Sekalipun tersandung ejekan verbal, rekam jejak di dunia Fisika modern Hawking ikuti sepanjang hidupnya.
Rintangan dari liyan terus membrondong kehidupannya, namun ia anggap sebagai angin lalu. Ia cenderung melihat hambatan yang sesungguhnya terletak pada alam semesta. Bejibun pertanyaan, karenanya, ia ajukan tanpa kenal waktu di meja kerja pribadinya sampai keluarganya cemas.
Hawking terlalu berharga untuk diabaikan, bahkan dilupakan oleh generasi mendatang. Posisi pemikiran yang dituangkan di banyak publikasi bagai lumbung emas. Tanpa penggalian lebih lanjut, gunungan emas itu hanya sebatas kolase alam. Melihat peluang itu, para ilmuan generasi baru sudah semestinya mengeksploitasi remah-remah pemikiran Stephen.
Melihat Hawking dari perspektif personal tiada habis diteroka. Konsep Lubang Hitam yang menjadi titik adikaryanya menyisakan tesis kuat akan dialektika antara sains dan agama
Dua dimensi ini acap dipertentangkan sebagian masyarakat. Padahal keduanya bukan suatu perbedaan yang mustahil dirunut benang merah relevansinya. Hanya saja, sampai sekarang, mimbar dialog untuk mempertautkan sains dan agama dalam konteks temuan Hawking masih minim.
Saya melihat peluang besar untuk mempertemukan apa yang dianggap tabu dalam agama dan apa yang ditesiskan sains modern. Agar dua kutub ini tak saling mengalihkan muka, peneliti pasca-Hawking mesti melakukan riset multidisiplin. Menengahi konflik ilmu pengetahuan, dengan kata lain, dapat terjalin melalui kegiatan ini.
Penelitian interdisiplin, dengan mendudukan dimensi agama dan sains sebagai variabel utama, mampu menjalin tegur-sapa akademik lebih sehat. Keretakan horizontal yang semakin merenggang hingga dewasa ini lambat-laun semakin merujuk secara kultural. Masyarakat luas tentu juga akan menuai dampak positifnya.
Sumber : qureta.com
Recent Comments