Sampai saat ini masyarakat dunia masih merasakan kerinduan autentik universal yang mendalam terhadap perdamaian. Seharusnya rasa rindu ini mengacu pada sesuatu yang pernah dimiliki atau dialami sebelumnya.

Tetapi ini tidak demikian dalam konteks perdamaian. Masyarakat dunia tidak pernah merasa damai secara utuh, apalagi dalam waktu yang lama, sehingga kerinduan terhadap perdamaian makin lama makin mendalam.

Konsep persaudaraan, cinta kasih, sampai pada toleransi yang gencar-gencarnya diupayakan oleh banyak kalangan sejak akhir zaman modern belum menampakkan wujudnya. Belum lagi persoalan yang menyeret nama agama, terutama Islam, masih saja terdengar dan menjadi ketakutan para khalayak umum.

Terorisme, ekstremisme, dan kelompok-kelompok ekstrem lain masih menjadi trending topickajian para teoritisi untuk menemukan pintu keluar dari dogma-dogma yang dapat menghambat sikap keterbukaan, sebagai salah satu upaya penyadaran masyarakat.

Sudah sejak lama doktrin salafi telah dilahirkan oleh Ibnu Taimiyah dengan semangat membangun kembali Islam sebagaimana dipraktikkan pada masa as-salaf as-shalih: tiga masa setelah Rasulullah wafat, yaitu masa sahabat, tabi’in, dan tabi’ at-tabi’in. Semangat pemurnian (purifikasi) Islam yang diupayakan Ibnu Taimiyah ini merupakan semacam gerakan jihad.

Doktrin hisba (al-amru bi al-ma’ruf wa nahyu ‘an al-munkar), yang dianggapnya sebagai puncak jihad, dibangun untuk menjadi landasan ideologis umat Islam untuk keluar dari belenggu penguasa yang zalim dan menindas. Sayangnya, doktrin tersebut justru dipakai kembali oleh kelompok salafisme dan dikembangkan menjadi sebuah metode aktivis.

Dampaknya dapat kita lihat pada Jama’at al-Islamiyah di Mesir pada akhir tahun 70-an. Mereka mempraktikkan doktrin hisba sebagai gerakan membasmi kemungkaran dengan kekuatan.

Mereka hanya memahami doktrin hisba sebagai taghyir al-munkar bi al-quwah (mengubah kemungkaran dengan kekuatan). Istilah taghyir yang bermakna praksis selalu tidak memiliki konteks lain selain konteks konflik peperangan, sehingga yang terjadi adalah pemaksaan realitas sosial kepada idealitas yang dibangun sesuai penafsirannya sendiri terhadap syariat Islam.

Melihat kembali sejarah Jama’at al-Islamiyah, sebenarnya ia adalah organisasi pelajar yang terfokus pada kajian-kajian ilmiah berbasis pengetahuan. Awal tahun 70-an, ia masih ditempatkan di universitas-universitas. Mereka melakukan kajian secara independen dan tidak tergabung dalam organisasi lain.

Roel Meijer, dalam Global Salafisme, menganggap Jama’at al-Islami awal-awal hanya merupakan masyarakat religius (jama’at al-diniyah) semata. Namun karena anggota yang ikut bergabung makin banyak dari tahun ke tahun, banyak pihak yang ingin memanfaatkan jaringan massanya untuk membangun kekuatan politik.

Kebanyakan anggotanya merupakan orang yang alim dan mencoba mengikuti “salafisme tradisional” yang didirikan pada 1920-an. Pergerakannya secara konservatif, ritualistis, berbasis pada hisba, dan khususnya reaksi agitasi terhadap sufisme.

Mereka hanya mencoba mengevaluasi persoalan-persoalan di sekitar mereka, yang mereka pahami sebagai kemungkaran. Apalagi di masa-masa awal, para anggotanya “tidak memiliki panduan” dan mereka membaca sendiri karya Salafi klasik Ibn Taimiyah, Ibn Qayim, dan Ibn Katsir.

Baru pada pertengahan tahun 1970-an, Jama’at al-Islami telah mengadopsi beberapa konsep revolusi potensial, yaitu jahiliyah dan hakimiyah dari Sayid Qutub. Masih menurut Roel Meijer, karya-karya mereka selalu dihubungkan kepada aksi, dan Alquran dihormati sebagai sebuah program “metode aktivis” (manhajan harakiyyan) yang mengajarkan bagaimana membangun negara Islam.

Kejahatan politik terbesar menurut mereka bukanlah melakukan kekhilafan, tetapi melakukan perbuatan dosa (ma’siya), dan kejahatan (fisq) selalu menghubungkan pada perintah yang salah.

Sebenarnya Sayid Qutub hanya sedikit membicarakan tentang hisba, dan itu adalah dari Ibn Taimiyah, yang kemudian dengan pemahaman tersebut mereka memperoleh susunan karakteristik dari changing the forbidden/reprehensible (taghyir al-munkar). Ibn Taimiyah mengatakan, dalam kasus ekstrem, menggunakan kekuatan menjadi kebenaran setiap subjek untuk melaksanakan hisba tanpa ada sanksi dari negara.

Dengan menghubungkan hisba dengan tauhid ar-rububiyyah, hal itu kemudian menjadi kebutuhan untuk menyampaikan secara sempurna akan kedaulatan Tuhan, yang kemudian dikembangkan menjadi sebuah program aktivis programme of changing evil by force (manhaj taghyir al-munkar bi al-quwwah).

Prinsip hisba yang dijunjung tinggi oleh kelompok salafisme, menurut Roel Meijer, berdampak pada terbentuknya karakter superioritas (sense of superiority), yang justru karena menekankan ketegasan, salafisme malah kurang toleran terhadap penafsiran lain. Mereka merasa memiliki pemahaman yang benar tentang karakteristik “kebaikan” (al-ma’ruf) dan “kemungkaran” (al-munkar), dan menafikan pendapat atau penafsiran kelompok lain yang tidak sejalan.

Maka tidak heran jika sampai saat ini kelompok ekstremis Islam masih saja menggunakan basis hisba dengan makna-makna yang tidak kontekstual atau tidak dikaji ulang.

Jika kita mau menelaah lebih jauh, jihad tidak selalu mengarah pada konteks konflik. Sama halnya dengan hisba yang dianggap Ibnu Taimiyah sebagai puncak jihad, tidak selalu menunjukkan perintah perang menggunakan kekuatan fisik.
Kita dapat memahami jihad dengan menggunakan spirit maqasid al-syari’at yang dikembangan oleh Jasser Auda dalam karyanya Maqasid al-Shari’ah as Philosophy of Islamic Law.

Maqasid tradisional yang cuma mengarah pada hukum fikih hanya terfokus pada konteks individu, dan tidak menyediakan basis nilai universal seperti keadilan dan kebebasan; dikembangkan dan diperluas pada konteks yang lebih umum: komunitas, negara, dan kemanusiaan.

Makna maqasid al-syari’at tidak dapat dipahami hanya dalam kerangka individu. Ia harus dipahami dalam konteks sosial yang lebih umum, seperti keadilan dan kebebasan, yang akan mengarah kepada perkembangan kemanusiaan.

Menurut Jasser Auda, human development (perkembangan manusia) menjadi ekspresi utama konsep maslahah (kebaikan umum) saat ini, yang ingin direalisasikan oleh maqasid al-shari’ahmelalui hukum Islam.

Sehingga, dengan mengambil inspirasi dari Jasser Auda, kita dapat memaknai jihad dengan spirit maqasid, yaitu spirit membangun kemanusiaan. Jihad tidak lagi harus dipahami sebagai peperangan.

Sebaliknya, dalam konteks individu, kemungkaran dapat kita pahami sebagai kebodohan, kemiskinan, dan pesimisme; yang kemudian dalam konteks sosial, kemungkaran dapat dilihat dalam bentuk kesenjangan sosial, tingkat pendidikan nasional yang rendah, atau pola hidup masyarakat yang tidak berkembang.

Jika kedua pemahaman tersebut saling berdialektika, kita tidak akan terjebak pada pemaknaan konfliktual dan tentu tidak akan mengasilkan karakter superioritas.

Sumber : qureta.com

Translate »