Keilmuan Islam yang pernah berjaya pada era Islam klasik hingga abad pertengahan, berimbas luas pada peradaban Eropa. Sebagaimana kejayaan ilmu masyarakat Islam sebelumnya dimulai dari gerakan penerjemahan karya-karya Yunani, Persia, dan negeri lain, budaya saintifik Eropa juga dimulai dari penerjemahan literatur. Karya dari tokoh seperti Hunayn bin Ishaq, Ar-Razi, ibnu Sina, dan banyak lainnya diterjemahkan ke bahasa Latin di era abad pertengahan. Bagaimana interaksi antara keilmuan Muslim dan Eropa ini bertemu?
Syahdan, sampai sekitar abad ke-10 sumber rujukan ilmiah dari peradaban Yunani Kuno atau Romawi banyak dilupakan oleh masyarakat Eropa. Sumber-sumber literatur beragam ilmu lebih banyak dikuasai otoritas gereja. Menurut Manfred Ullmann dalam Islamic Medicine, hanya segelintir karya saja yang lestari.
Pengetahuan kedokteran masyarakat Eropa kala itu banyak merujuk pada ensiklopedi atau karya kompilasi, seperti Etymologiae karya Santo Isidorus dari Sevilla yang membahas anatomi manusia. Standar pendidikan kedokteran Eropa, seperti di Salerno, sedang begitu buruk. Masyarakat dilanda beragam wabah penyakit, termasuk era Black Death.
Di tengah dekadensi itu, sosok yang disebut membawa perubahan radikal dalam kedokteran Eropa adalah Konstantinus dari Afrika (Constantinus Africanus). Menurut Manfred Ullmann, tidak banyak keterangan soal sejarah awal hidup tokoh ini. Diperkirakan ia lahir pada awal abad kesebelas di Tunis. Ketika usianya 40 tahun, ia bertandang ke Italia sebagai seorang saudagar.
Melihat buruknya kondisi pendidikan dan keilmuan kedokteran di Italia, terutama di Salerno – salah satu pusat kedokteran Eropa, ia memutuskan untuk kembali ke Tunis dan belajar kedokteran selama tiga tahun, lantas kembali lagi ke Italia untuk menetap di sana. Selain menjadi pendeta di Monte Cassino, ia menghabiskan umurnya untuk menerjemahkan ragam literatur berbahasa Arab, termasuk literatur kedokteran yang ia bawa dari Tunis. Konstantinus dari Afrika ini wafat di Monte Cassino pada 1087.
Konstantinus banyak menerjemahkan karya-karya penting ilmu kedokteran berbahasa Arab ke bahasa Latin. Sayangnya banyak terjemahan yang mencatatkan namanya sebagai penulis. Para penulis aslinya dalam bahasa Arab tidak disebutkan.
Sebagai contoh, buku Liber contantini de melancholia merupakan terjemahan buku Al Maqalah fi al Malankhuliya yang ditulis Ishaq bin Imran. Ada juga Liber de obliviones terjemahan dari ar-Risalah fi an Nisyan wa ‘ilajihi karya Ibnul Jazzar. Dua sosok tersebut tercatat sebagai dokter berpengaruh di dataran Maghrib, sebagaimana dicatat Ibnu Abi Usaibiah dalam Uyunul Anba’ fi Thabaqatil Athibba’.
Buku babon Liber pantegni yang dinilai sebagai buku medis terlengkap di Eropa kala itu, adalah terjemahan Kitab Al Malaki, karya Ali bin Al Abbas al Majusi, dokter dari Persia. Demikianlah di Eropa saat itu, semua karya terjemahan tersebut lebih dikenal sebagai karya Konstantinus.
Beberapa sejarawan Eropa abad pertengahan menilai terjemahan Konstantinus dari Afrika ini sulit dipahami, mengingat ia adalah awal tradisi penerjemahan karya kedokteran Arab ke bahasa Latin. Konstantinus tampak kesulitan menerjemahkan istilah-istilah teknis dari bahasa Arab. Selain itu, sebagai sebuah buku diktat kedokteran, terjemahan Konstantinus sangat minim dengan ilustrasi.
Apapun kekurangan yang ada pada usaha penerjemahan Konstantinus, pengaruhnya sangat signifikan bagi tradisi kedokteran Eropa. Ia dijuluki “ahli peradaban Timur dan Barat, titisan Hippocrates”. Sekolah kedokteran di Salerno dihidupkan kembali spiritnya oleh Konstantinus. Di masa mendatang, keilmuan kedokteran Eropa tidak bisa dilepaskan dari jasanya.
Selain berporos di Italia, kita perlu menengok juga apa yang terjadi di Andalusia. Selain kota Cordoba, daerah yang memiliki peranan penting adalah Toledo. Ketika Toledo ditaklukkan oleh kaum Kristen Eropa sekitar tahun 1085, masyarakat Arab masih merupakan kalangan mayoritas yang sebelumnya berada dalam naungan penguasa Islam di Andalusia.
Pada 1125, penguasa Toledo yang baru dari kaum Kristen memberi ruang masyarakat untuk menerjemahkan literatur berbahasa Arab ke bahasa Latin. Kota Toledo inilah yang menjadi “makelar” dalam dinamika penyaluran keilmuan dari bahasa Arab ke bahasa Latin. Tradisi Islam di Maghrib dan Andalusia lebih banyak berdampak ke Eropa dibanding tradisi keilmuan dari dataran Arab Saudi, Iraq dan sekitarnya.
Domingo Gonzales dan Joannes Hispalensis adalah dua sosok penerjemah yang memiliki andil besar terutama dalam bidang sains dan filsafat di Toledo. Mereka berguru pada Gerard dari Cremona, yang sebelumnya berada di Toledo untuk belajar bahasa Arab dan teks-teks filsafat yang tertulis dengan bahasa tersebut. Gerard dari Cremona ini, juga ikut menerjemahkan karya filsafat dan kedokteran Ar Razi, Ibnu Sina dan Al Zahrawi. Agaknya seperti pada kasus Konstantinus, banyak karya Gerard dianggap merupakan karya pribadinya sendiri.
Kanon Liber pantegni yang diterjemahkan Konstantinus, diterjemahkan ulang oleh tokoh bernama Stephen dari Pisa. Ia belajar kedokteran di Syria, lalu menerjemahkan kembali karya Al Majusi dan dijudulinya Liber regius. Konon terjemahan ini lebih baik dari hasil terjemahan bikinan Konstantinus.
Dari ragam paparan di atas, usaha penerjemahan pada kurun abad ke-11 dan ke-12 di Eropa meneguhkan bahwa ada sisi “Arab” dalam kedokteran Eropa. Secara umum tradisi Islam dataran Maghrib baik di Afrika Utara, Andalusia dan sebagian kecil Italia, memainkan peranan penting dalam transmisi keilmuan dan penerjemahan ini.
Tidak bisa diabaikan pula konflik internal kerajaan Islam diikuti penaklukan demi penaklukan kaum Kristen Eropa semakin menguatkan pengaruh Barat dalam sains dan filsafat hingga saat ini. Era tersebut adalah inisiasi era renaissance, kebangkitan Eropa dalam peradaban.
Zaman berbalik. Kejayaan kedokteran era Islam klasik dalam pengaruh sosok Ibnu Sina, Ar-Razi, Al Zahrawi, dan banyak tokoh lainnya yang telah jaya berabad-abad runtuh perlahan. Pengaruh kejayaan kedokteran Islam di Eropa ini eksis selama sekian abad, hingga pada era itu berkembang anekdot: orang yang ingin menjadi dokter hebat, mesti mampu menguasai karya-karya Ibnu Sina.
Tulisan ini sudah diterbitkan sebelumnya di Islami.co
Sumber : bincangsyariah.com
Recent Comments