Saya akan merasa menjadi akademisi yang cukup “dholim” kalau sekiranya tidak mau berbagi tentang secercah kutipan tulisan ataupun pemikiran Muhammad Asad (1900-1992). Kenapa dholim? Itulah pertanyaan yang ingin saya jawab. Secara pribadi, saya wajib berterimakasih kepada Asad. Karena melalui karyanya The Message of The Qur’an (1980), begitu juga karya lainnya semisal The Principle of State and Government in Islam (1961), saya berhasil mempertahankan tesis yang berjudul “Ayat-ayat Politik (Studi Kritis Penafsiran Muhammad Asad)” baru-baru ini di Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta.

Pada umumnya, mungkin masyarakat muslim Indonesia masih cukup asing ketika mendengar nama Muhammad Asad. Hal ini sangat wajar karena ia bukan tokoh dari Indonesia, pemikiran maupun karya-karyanya juga tidak setenar Muhammad Abduh, al-Maraghi, Sayyid Qutb maupun Abdullah Yusuf Ali misalnya. Jadi memang Asad “hanya” lumayan dikenal oleh kalangan akademisi, khususnya dalam bidang politik Islam dan bidang tafsir al-Qur’an. Penerbit Mizan juga termasuk penerbitan yang cukup berjasa dalam memperkenalkan karya-karya Asad, termasuk tahun 2017 yang lalu melakukan big project berupa penerjemahan karya Asad dari bahasa Inggris ke Indonesia.

Asad adalah seseorang yang awalnya beragama Yahudi. Ia lahir dari keluarga keturunan Rabi. Nama Asad—yang dulunya bernama Leopold Weiss—juga baru “lahir” setelah ia menyatakan keislamannya di depan seorang imam di Berlin Islamic Society, Jerman pada tahun 1926.

Ketika diminta untuk menggambarkan Asad, kesimpulan yang saya ambil adalah bahwa ia adalah seorang politisi, intelektual muslim, mufasir, dan tentunya traveler. Di Barat, khususnya di negara tempat asalnya lahir, Austria. Asad diberi penghormatan sebagai The Bridge between Islam and the West atau jembatan antara Islam dan Barat. Hal ini karena dalam beberapa pemikirannya, Asad berupaya meluruskan pandangan negatif masyarakat Barat atas Islam. Tanggapan-tanggapan positif atas diri Asad juga datang dari berbagai tokoh semisal Issa J. Boullata, Murad Hofmann, John Wansbrough, dll.

Terlepas dari berbagai pendapat (baik pro maupun kontra) tentang Asad, yang kadang dianggap sebagai tokoh rasional, moderat, bahkan liberal, di sini saya ingin menunjukkan bahwa Asad juga sebenarnya manusia biasa yang tidak hanya menjunjung tinggi dan terlelap dalam bayang logika saja, namun juga rasa.

Dalam bukunya yang berjudul Islam at The Crossroads atau Islam di persimpangan jalan, Asad menjabarkan ungkapan yang sangat Indah ketika membicarakan tentang alasan kenapa ia masuk Islam. Ia menuturkan,

“After all, it was a matter of love; and love is composed of many things; of our desires, our loneliness, of our high aims and our shortcomings; of our strength and our weakness”. “Jawabannya adalah cinta,” tutur Muhammad Asad dengan gentle-nya ketika dikepung pertanyaan dari berbagai arah—kebanyakan dari kolega, sahabat, maupun tokoh-tokoh Barat—tentang alasannya masuk Islam.

Ya, Asad telah jatuh hati dengan Islam. ia tidak mampu berkata apa-apa ketika cinta sudah masuk dalam jiwa. Logika Asad tidak mampu bekerja ketika agama Islam (begitu juga cara beragama.pen) tidak bisa hanya didekati lewat logika, akan tetapi rasa perlu berbicara dengan sendirinya, yakni melalui kalbu.

Sebenarnya Asad juga ingin mengajari kita jikalau syariat (terwakili oleh fikih) yang sering hitung-hitungan dengan akal dan lebih mementingkan tampilan itu tidak cukup untuk memaknai Islam. Perlu adanya thoriqah dan haqiqah yang menempatkan posisi rasa begitu bermakna di dalamnya. Ia sadar bahwa muslim sejati tidak akan sampai dalam ruang hakiki bernama cinta ilahi kalau tidak menggunakan rasa atau hati dalam mendekati Ilahi.

Ketika cinta ilahi sudah berada dalam diri seorang abdi (hamba), maka kecintaannya akan menjalar kepada cinta-cinta yang tingkatannya lebih rendah, yakni cinta kepada sesama manusia. Karena manusia adalah ciptaan-Nya, maka manusia tidak akan membeda-bedakan antara satu dengan lainnya. Bahkan, bila ia tidak seagama.

Bagi Asad, cinta (love) terdiri dari beberapa hal: hasrat, kesendirian, tujuan yang begitu kuat, kekurangan, kekuatan dan kelemahan kita. Jadi, ketika seseorang sudah mengetahui akan arti cinta—entah cinta kepada ilahi maupun cinta kepada manusia—berarti ia harus sadar bahwa bukanlah cinta hakiki kalau masih merasa bahwa dirinya lebih dari yang dicintainya. Karena sejatinya ia memiliki kelemahan (weakness). Ia juga tidak bisa menyombongkan diri karena sebelum menemukan cinta, ia adalah seseorang yang berada dalam kesendirian (loneliness).

Begitu indah ungkapan Muhammad Asad ketika mendeskripsikan makna cintanya kepada Islam. Semoga kita bisa memaknai cinta sebagaimana Asad menemukan cintanya, Islam. lahu al-fatihah.

Sumber : bincangsyariah.com

Translate »