Kaum sufi ketika sudah dikaruniai terbukanya tabir ilahi akan selalu mengalami perjumpaan-perjumpaan imaginer (atau real?) dengan ruh-ruh orang-orang terdahulu. Menariknya, perjumpaan di alam arwah ini tidak terbatasi oleh pertimbangan-pertimbangan identitas keagamaan dan kebudayaan karena memang alam ruh sudah tidak terikat lagi dengan batasan-batasan yang ada di dunia.
Sang sufi bisa saja bertemu dengan ruh filosof Yunani yang pagan dan belajar dari mereka, dan bahkan sang sufi bisa bertemu dengan Iblis. At-Tusturi disebut Imam as-Sya’rani dalam kitab al-Yawaqit wal Jawahir pernah bertemu dan berdebat dengan Iblis di alam ruhani.
Ibnu Arabi, misalnya, seperti yang diceritakan oleh Abdur-Rahman Ghallab dalam artikelnya al-Ma’rifah inda Muhyidin Ibnu Arabi sering bertemu dengan para filosof Yunani dan tokoh-tokoh besar agama-agama dunia seperti Hindu dan Buddha. Dalam artikel itu pula disebutkan perjumpaan Ibnu Arabi dengan Phytagoras, Sokrates, Plato, Aristoteles dan para filosof Yunani kuna lainnya.
Namun yang amat disayangkan, Ghallab tidak menyebutkan secara langsung referensi kutipan dari karya-karya Ibnu Arabi yang menyebutkan perjumpaan secara kasyfi-nya dengan para filosof dan tidak pula menyebutkan substansi pembicaraannya.
Karena belum menemukan referensi yang menyebut perjumpaan Ibnu Arabi dengan para filosof Yunani dari karyanya langsung, kita coba kutipkan saja perjumpaan pengikut Ibnu Arabi yang bernama Abdul Karim al-Jili dengan Plato. Ini sekedar untuk menunjukkan bahwa jika muridnya saja bisa bertemu dengan Plato, apalagi gurunya.
Abdul Karim al-Jili, salah satu pengikut ajaran-ajaran Ibnu Arabi, menyebutkan perjumpaannya dengan Plato dalam karyanya, al-Insan al-Kamil Fi Ma’rifatil Awa’il wal Awakhir. Dalam karyanya ini, Abdul Karim al-Jili menceritakan demikian:
ولقد اجتمعت بأفلاطون الذي يعدونه أهل الظاهر كافرا فرأيته وقد ملأ العالم الغيبي نورا وبهجة ورأيت له مكانة لم أرها إلا لآحاد من الأولياء فقلت له: من أنت؟قال قطب الزمان وواحد الأوان ولكم رأينا من عجائب وغرائب مثل هذا ليس من شرطها أن تغشى وقد رمزنا لك في هذا الباب أسرارا كثيرة ما كان يسعنا أن نتكلم فيها بغير هذا اللسان فالق القشرة من الخطاب وخذ اللب إن كنت من أولي الألباب.
“Aku pernah bertemu dengan Plato, seorang filosof Yunani yang sering dianggap kafir oleh ulama zahir. Saat melihatnya dalam kasyafku waktu itu, alam ruhani seketika tersinari pancaran cahaya dan keagungan. Plato dalam kasyafku berada di maqam ruhani yang tinggi yang hanya diisi oleh para wali.
Aku kemudian bertanya kepadanya: ‘siapakah kamu?’ Plato jawab: “aku seorang wali di zamanku. Kalian sering mengutip pandangan-pandanganku, terutama tentang peristiwa-peristiwa aneh seperti ini yang tak perlu engkau bingungkan. Aku buatkan simbol-simbol rahasia-rahasia alam ruhani yang begitu banyak ini. Tidak mungkin kita bicarakan rahasia kecuali dengan menggunakan simbol ini. Kupaslah kulitnya dan ambil intinya jika engkau memang orang yang suka merenung.”
Kutipan ini menyajikan kepada kita tentang relasi dua hal yang berbeda dan mungkin bertentangan: aspek lahir dan aspek batin. Ulama lahir, dalam kasyafnya Abdul Karim al-Jili, menganggap Plato sebagai kafir. Sedangkan menurut ulama batin (dan al-Jili mengklaim termasuk ke dalam golongan ini) Plato bukan hanya sekedar orang beriman namun juga sebagai seorang wali qutub di zamannya.
Berdasarkan kerangka ini, wajar jika guru spiritual al-Jili sendiri, yakni Ibnu Arabi, sering disebut sebagai Ibnu Aflathun ‘putera Plato’ atau sebut saja pewaris ajaran Plato. Namun sebenarnya julukan ini kurang begitu tepat disematkan kepadanya dan mungkin lebih tepatnya dijuluki sebagai Ibnu Aflutin, atau putera Plotinos. Plotinos dikenal sebagai salah satu pendiri Neoplatonisme yang berpandangan bahwa jika seseorang ingin dibukakan tirai kegaiban maka harus melakukan mujahadah dan riyadah ruhaniyah secara terus menerus.
Plato dalam kasyaf al-Jili ini diklaim telah mengajarkan rahasia-rahasia batin alam semesta ini yang sering dijadikan rujukan oleh kaum sufi. Rahasia batin, menurut Plato, yang salah satunya berupa kejadian-kejadian aneh (sebut saja kasyaf), ketika dijelaskan haruslah menggunakan bahasa-bahasa simbolik.
Baca Juga : Hadis-hadis Keutamaan Sedikit Tertawa
Tidak hanya itu, ketika mempelajari ajaran-ajaran yang penuh dengan simbol ini, Plato meminta Abdul Karim al-Jili agar tidak terjebak pada level permukaan (al-qisyrah) tapi harus menusuk ke inti ajarannya (al-lubb).
Jelas di sini bahwa al-Jili mewarisi tradisi kebatinan filsafat Yunani di masa kemundurannya, filsafat neo-platonisme. Aliran filsafat yang kemudian bercampur dengan ajaran-ajaran paganisme Harran dan Hermes ini menimba inspirasinya dari para filosof pra-Aristoteles seperti Phytagoras, Empedokles dan lain-lain.
Karena itu di kalangan banyak ahli, baik ulama klasik maupun orientalis, sepakat bahwa tasawwuf Islam sebenarnya lahir dari pengaruh kuat ajaran neoplatonisme ini. Perbedaannya terletak pada soal apakah pengaruh ini sifatnya langsung melalui pembacaan terhadap karya-karya neo-platonisme (at-Tasu’at karya Plotinos) atau tidak langsung, yakni melalui pembacaan terhadap filsafat kebatinan Syiah Ismailiyyah.
Ibnu Khaldun dalam kitab al-Muqaddimah, yang kemudian ditegaskan kembali oleh Henry Corbin dalam Histoire de la Philosophie Islamique menekankan bahwa tasawwuf Islam banyak menimba ajaran-ajaran kebatinanya dari filsafat neo-platonisme dan Hermes. Dan aliran Islam yang pertama kali terpengaruh oleh filsafat ini ialah Syiah Ismailiyyah atau al-Bathiniyyah.
Ibnu Faridh, Ibnu Arabi dan termasuk di antaranya Abdul Karim al-Jili merupakan deretan sufi-sufi Islam yang meneguk pancaran kebatinan dari Syiah Ismailiyyah yang genealoginya bisa dilacak dalam pemikiran filsafat neoplatonisme dan Hermes. Allahu A’lam.
Sumber : bincangsyariah.com
Recent Comments