Membaca kembali sejarah memiliki faidah yang sangat besar, terutama untuk melihat bagaimana sebuah teori diterapkan oleh orang-orang terdahulu.

Akan menjadi lebih mudah menemukan relevansi sebuah teori dengan realita jika kita membaca sirah orang-terdahulu. Akhir-akhir ini sering kita mendengar bahwa bergaul, bersahabat, berkawan ataupun hanya sebatas mu’asyarah dengan baik pada orang selain muslim adalah sebuah keharaman dan bertolak belakang dengan nash-nash kitab suci Alquran.

Salah satu yang paling populer digaungkan adalah Al-Maidah ayat 51, yang di dalamnya terdapat larangan menjadikan kaum Nasrani ataupun dari Yahudi menjadi auliya’. Terlepas dari penafsiran-penafsiran para ulama tentang ayat tersebut, saya ingin menguak sisi berbeda dari konteks permasalahan ini. Maka saya akan mengajak untuk menapaktilasi kembali kisah orang terdahulu dalam pergaulan mereka terhadap kaum selain muslim.

Dalam Ihya’ Ulumiddin (juz 4,hlm 41) dikisahkan, seorang Majusi meminta jmauan makan kepada khalilullah Ibrahim As. Nabi Ibrahim As menerima permintaan itu akan tetapi dengan satu buah syarat “Jika kamu mau memeluk agama Islam kamu akan ku beri jamuan makan”. Mendengar persyaratan yang diajukan kepadanya, sang Majusi merasa berat hati dan dengan langkah gontai meninggalkan Nabi Ibrahim As.

Allah Maha Tahu tentang semua yang terjadi pada makhluk-Nya. Dia menurunkan wahyu kepada Nabi Ibrahim As “Hai Ibrahim, selama tujuh puluh tahun Aku memberinya makan dalam kekufurannya, sedangkan kau? Apa ruginya bagimu untuk memberinya makan barang semalam saja?”.

Mendengar wahyu tersebut, Nabi Ibrahim As langsung lari mengejar si Majusi yang tadi telah ia kecewakan. Ia mengajak si Majusi kembali dan memberinya jamuan makan. Si Majusi yang merasa heran dengan perlakuan baik Nabi Ibrahim As bertanya “Mengapa engkau melakukan semua kebaikan ini padaku?”.

Mendengar pertanyaan tersebut Nabi Ibrahim As pun menceritakan apa yang ia alami. Si majusi merasa takjub dan berkata “Begitukah Allah memperlakukanku selama ini, bantulah aku! Aku ingin masuk Islam sekarang juga!” kemudian si Majusi pun memeluk agama Islam.

Dalam kisah lain yang dituturkan dalam Alfu Qishshah wa Qihshah min al-Shalihin (Seribu Satu Kisah Orang-orang Saleh, halaman 39) bahwa Imam Pembesar para Tabiin yakni Imam Hasan Al-Bashri pernah memiliki tetangga Nasrani yang bertempat tinggal di atas rumah beliau. Kebetulan toilet dari rumah tetangga Nasrani itu bocor dan menetes tepat di tempat tidur Imam Hasan. Tetesan itu ditampung dalam satu wadah dan tidak ada komplain dari beliau. Hal tersebut berlangsung sampai 20 tahun lamanya.

Suatu kali Imam Hasan jatuh sakit dan si tetangga Nasrani pergi menjenguknya. Si tetangga kaget dengan pemandangan yang dia lihat, ia berkata “Mulai kapan hal ini tejadi?” Imam Hasan pun menjawab setelah si tetangga mendesaknya, “Sudah dua puluh tahun.” Betapa kagetnya tetangga Nasrani mendengarnya. “Mengapa engkau melakukan hal demikian?” tetangga Naarani mencoba mengorek alasan. Imam Hasan berkata, “Sebab Nabi kami pernah bersabda bahwa orang yang percaya pada Allah dan Rasul-Nya, hendaklah ia memuliakan tetangganya.”

Mendengar hal itu, tetangga Nasrani langsung menanggalkan agama lamanya dan berikrar pada agama Islam.

Dari kisah-kisah di atas kita dapat tahu bagaimana kiranya wajah Islam harus ditampakkan. Yakni dengan penuh cinta dan kasih tanpa pilih kasih.

Sumber : bincangsyariah.com

Translate »