Imam Ghazali dalam kitab Bidayatul Hidayah menjelaskan bahwa lisan sejatinya diciptakan agar dengannya umat manusia bisa banyak berzikir kepada Allah Swt, mem­baca Kitab Suci-Nya, memberi petunjuk kepada makhluk Allah lainnya, serta mengungkapkan kebutuhan agama dan dunia yang tersimpan dalam hati.

Lisan dalam perspektif Imam Ghazali merupakan anggota badan yang paling dominan. Sebab tidaklah manusia diceburkan ke dalam api neraka melainkan sebagai akibat dari apa yang di­lakukan oleh lisan. Maka dari itu peliharalah lisan dengan semua kekuatan yang kau miliki agar ia tidak menjerumuskan­mu ke dalam dasar neraka. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah riwayat

إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ فِيهَا يَزِلُّ بِهَا فِي النَّارِ أَبْعَدَ مِمَّا بَيْنَ الْمَشْرِقِ

“Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan ucapan yang tidak jelas di dalamnya, niscaya akan menggelincirkannya di dalam neraka lebih jauh antara arah timur.” (HR. Bukhari)

Maka dari itu, Imam Ghazali memberi nasehat agar umat Islam memelihara lisan dari delapan perkara ini:

Pertama, berdusta. Jagalah lisan agar jangan sam­pai berdusta baik dalam keadaan yang serius maupun bercanda. Jangan kau biasakan diri berdusta dalam canda karena hal itu akan mendorong seseorang untuk ber­dusta dalam hal yang bersifat serius. Apabila engkau ingin mengetahui busuknya perkataan dusta yang ada pada dirimu, maka lihatlah perkataan dusta yang dilakukan orang lain serta bagaimana engkau membenci, meremehkan, dan tidak menyukainya. Karena itulah berdusta dianggap salah satu di antara induk dosa-dosa besar.

Kedua, menyalahi janji. Janganlah menjanji­kan sesuatu tapi kemudian tidak menepatinya. Jika terpaksa harus berjanji, jangan sampai mengingkari janji tersebut, kecuali jika betul-betul tak ber­daya atau ada halangan darurat. Sebab, menyalahi janji merupakan salah satu dari tanda-tanda nifak dan buruk­nya akhlak. Nabi Saw. bersabda, “Ada tiga hal, yang jika ada di antara kalian yang jatuh ke dalamnya maka ia termasuk munafik, walaupun ia puasa dan salat. Ya­itu, jika berbicara ia berdusta, jika berjanji ia mengingkari, dan jika diberi amanat ia berkhianat.”

Ketiga, gibah atau menggunjing. Peliharalah lisan dari menggunjing orang. Makna gibah adalah membicarakan seseorang dengan sesuatu yang ia benci jika ia mendengarnya. Jika hal itu engkau lakukan, maka engkau adalah orang yang telah melakukan gibah dan aniaya, walaupun engkau berkata benar.

Keempat, mendebat orang. Karena, dengan mende­bat, kita telah menyakiti, menganggap bodoh, dan men­cela orang yang kita debat. Selain itu, kita menjadi ber­bangga diri serta merasa lebih pandai dan berilmu. Memang menampakkan kebenaran kepada mereka yang mau menerimanya adalah suatu kebaikan. Tetapi hal itu harus dilakukan dengan cara memberikan nasihat secara rahasia bukan dengan cara mendebat. Se­buah nasihat memiliki karakter dan bentuk tersendiri. Harus dilakukan dengan cara yang baik. Jika tidak, ia hanya akan mencemarkan aib orang.

Kelima, mengklaim diri bersih dari dosa. Allah Swt. berfirman, “Jangan kalian merasa suci. Dia yang lebih me­ngetahui siapa yang bertakwa” (Q.S. an-Najm: 32). Seba­gian ahli hikmat ditanya, “Apa itu jujur yang buruk?” Mereka menjawab, “Seseorang yang memuji dirinya sendiri.” karenanya Imam Ghazali menasehati agar janganlah terbiasa berlaku demikian.

Keenam, mencela. Jangan sampai engkau mencela ciptaan Allah Swt, baik itu hewan, makanan, ataupun manusia. Sebagai contoh Imam Ghazali menasehati agar tidak dengan mudah memastikan seseorang yang menghadap kiblat sebagai kafir, atau munafik. Karena, yang mengetahui semua rahasia hanyalah Allah Swt. Oleh karena itu, jangan mencampuri urusan antara hamba dan Allah Swt.

Ketujuh, mendoakan keburukan bagi orang lain. Pe­liharalah lisan untuk tidak mendoakan keburukan bagi suatu makhluk Allah Swt. Jika ia telah berbuat aniaya maka lebih baik serahkan urusannya pada Allah Swt.

Kedelapan. Bercanda, mengejek, dan menghina orang. Peliharalah lisan baik dalam kondisi serius maupun canda karena hal demikian bisa menjatuhkan kehormatan, menu­runkan wibawa, membuat risau, dan menyakiti hati. Sebab lisan merupakan pangkal timbulnya murka dan marah serta dapat menanamkan benih-benih kedengkian di da­lam hati.

Sumber : bincangsyariah.com

Translate »