TRADISI di Idulfitri identik hadirnya hidangan makanan ketupat. Kehadiran ketupat di Idulfitri seakan dua sisi mata yang berkelindan. Bahkan, di beberapa tempat, terdapat tradisi “lebaran ketupat”. Istilah ini populer tatkala masyarakat selesai melaksanakan puasa sunnat Syawal.
Dalam buku Kajian Etnomatika pada Budaya Indonesia, dijelaskan bahwa ketupat sebagai lambang nafsu dan tipu daya. Untuk itu, manusia harus mampu menahan nafsu dunia dengan hati nuraninya. Pada makna lain, ketupat bermakna “ngaku lepat” (mengakui kesalahan). Kata ini mengandung pesan, bahwa seseorang harus mengintrospeksi diri.
Sadar atas kesalahan dan meminta maaf atas semua kesalahan yang pernah dilakukannya selama berinteraksi dengan sesama. Sebuah pesan yang sarat nilai di tengah sulit dan beratnya mengakui kesalahan. Sebab, sebagian besar manusia justeru menganggap diri paling benar, namun enggan mengakui kesalahan yang dilakukannya. Semua terjadi akibat ego pribadi yang menganggap diri paling suci, atau kesombongan diri atas “status sektoral” yang disandang.
Secara historis, ketupat telah dikenal sejak abad ke-15 pada masa Kerajaan Demak. Sunan Kalijaga (penjaga syahadatain *pen) menggunakan ketupat (kearifan lokal) dalam berdakwah. Melalui akulturasi budaya dan ajaran Islam, pesan kebenaran Ilahi mampu tersampaikan secara bijak. Untuk itu, wajar tatkala Islam berkembang luas di nusantara, eksiatensi ketupat melekat sebagai hidangan yang khas dalam perayaan agama Islam.
Meski telah hadir lama dan masyarakat sangat mengenal ketupat, namun acapkali terlupakan beberapa makna yang bisa diambil sebagai pelajaran diri. Adapun pelajaran yang bisa diambil dari ketupat antara lain :
Pertama, Anyaman yang berkelindan untuk saling memperkuat dan menyempurnakan, bukan saling menelikung untuk meroboh-kan. Meski awalnya 2 (dua) sisi daun ber-beda dan berseberangan, namun tatkala menerima amanah untuk melindungi beras untuk dimasak menjadi lembut. Ia tumpahkan semua energinya untuk bekerjasama melindungi beras agar matang dan enak untuk dinikmati. Bahkan, ketika manusia ingin menikmati isi yang dilindungi, kedua kutub daun merelakan diri untuk dipotong dan teriris.
Sementara, segelintir manusia justeru hidup berkelindan dengan tipu muslihat. Awalnya hubungan harmonis, namun tatkala kesuksesan diraih, watak rakus yang sebelumnya ditutupi akan terlihat menganga. Politik “belah bambu” dilancar-kan, siasat licik dijalankan, kezaliman dan pengkhianatan jadi pemandangan, atau pelanggaran aturan dan adab agama diterlantarkan. Namun, apa yang terjadi seakan dianggap wajar, bersamaan sikap pembiaran yang begitu fulgar.
Kedua, Hidup memiliki waktu di atas dan di bawah. Ketika anyaman daun kelapa untuk membuat ketupat berada di posisi bawah, ia sediakan ruang untuk sisi lain daun kelapa berada di atas. Demikian seterusnya. Keduanya tak memperlihatkan arogansi. Ketika di atas, sisi daun kelapa sadar pada waktunya akan berada di bawah. Sementara ketika berada di bawah, tak pula berusaha menjatuhkan sisi daun kelapa yang sedang di atas. Keduanya rukun dalam tujuan yang sama untuk melindungi beras yang ada di dalam tanggung jawabnya.
Keikhlasan kedua kutub daun bergantian posisi merupakan keharmonisan yang patut ditiru. Keduanya tak saling mencela, membuka aib, sombong, zalim, menginjak-injak, dan iri dengki. Tatkala bagian daun kelapa pada gilirannya berada di bawah, ia tak berupaya mencungkil aib daun yang di atas. Demikian pula bagi daun yang sedang berada di atas, ia tak pernah pongah untuk menginjak daun di bawah guna melanggengkan posisinya.
Ketiga, Keharmonisan yang kokoh antar 2 (dua) kutub. Meski terlihat berseberangan, tapi ternyata keduanya bekerja harmonis untuk melindungi isi ketupat agar tetap bersih dan tidak tumpah. Keharmonisan dua kutub daun kelapa bagai sosok pimpinan yang silih berganti atau berbeda fungsi, tapi memiliki tujuan yang sama untuk membangun peradaban. Sosok pemimpin yang melindungi, bukan masa bodoh atas nasib yang dipimpin. Sedang-kan isi ketupat adalah unsur yang dipimpin dan dilindungi agar tetap bersih. Sosok yang dipimpin tak pernah “menerobos” aturan yang ada dan tak menjadi “gunting dalam lipatan”.
Keempat, Daun kelapa yang berasal pada posisi tinggi, rela turun ke bawah untuk memberi kebajikan pada manusia yang posisinya di bawah. Karena sifatnya yang tawadhu’, ketika sampai di bawah, daun kelapa disambut dengan bahagia. Ia memberikan kebermanfaatan pada manusia untuk dijadikan anyaman ketupat.
Daun kelapa mengajarkan manusia arti sebagai manusia, bukan manusia yang mengajarkan daun kelapa arti daun kelapa. Sungguh malu menyebut diri hebat. Sebab, justeru daun kelapa (ayat kauniyah) mengajarkan pasa manusia makna kehidupan. Ketika berada pada posisi “atas”, ingatlah pada waktunya akan turun jua. Tak ada daun kelapa yang kekal di atas pohon. Ketika telah turun, daun kelapa yang bijak akan tetap memberi manfaat. Lidinya dijadikan sapu, daunnya dijadikan anyaman, bahkan kayunya dijadikan bahan bakar untuk memasak. Tapi, bagi daun kelapa yang memaksa tetap di atas, ia akan lapuk. Ketika dihembus angin, ia akan jatuh ke bawah. Tatkala itu, ia tak disambut bahagia. Ia hanya akan dibuang dan dibakar tanpa memberi manfaat.
Begitu jelas Allah menyampaikannya melalui daun kelapa, tapi manusia tak pernah mengambil i’tibar memperbaiki diri. Karakter manusia seperti ini, dinukilkan Allah melalui firman-Nya : “Allah telah mengunci hati dan pendengaran mereka, penglihatan mereka telah tertutup, dan mereka akan mendapat azab yang berat” (QS. al-Baqarah: 7).
Ketika ayat di atas menimpa pada manusia yang tak menghiraukan ayat-Nya, maka kehinaan akan diperoleh. Pada saat di atas selalu dipergunjingkan dan saat di bawah akan memperoleh cibiran atau hinaan. Ketika hal ini terjadi, tak ada lagi gunanya penyesalan. Sadarlah atas keterbatasan diri. Sebab, manusia tak mampu melawan angin, menghantam gunung, menimbun lautan, atau melarikan diri dari cahaya
Kelima, Ketupat dibuat melalui anyaman daun kelapa muda yang lentur. Simbol pembentukan karakter perlu dilakukan sejak dini (muda). Sementara daun kelapa yang tua sangat sulit dibentuk dan mudah koyak. Tujuannya melindungi beras agar tak tumpah. Beras merupakan simbol nafsu manusia. Andai tak dijaga dan dibiarkan “tumpah”, maka nafsu akan merajalela menjadi virus bagi alam semesta. Untuk itu, bungkusan terbaik adalah tatkala generasi masih muda. Karakter yang demikiannakan melahirkan generasi yang mampu mengendalikan nafsu, bukan memperturutkannya. Kehadirannya hadir menutupi isi, bukan saling berlomba membuka apa yang seharusnya perlu ditutupi (makna positif).
Sementara fenomena yang terjadi, membuka aib dan melepaskan nafsu menjadi kebiasaan. Akibatnya, tujuan kemashlahatan keummatan tak pernah dilakukan. Semua hanya sibuk memper-turutkan nafsu keserakahan dengan mencela sesama (politik belah bambu). Padahal, Allah telah mengingatkan melalui firman-Nya : “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan itu) lebih baik daripada mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olok) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diolok-olok itu) lebih baik daripada perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela dan saling memanggil dengan julukan yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) fasik setelah beriman. Siapa yang tidak bertobat, mereka itulah orang-orang zalim” (QS. al-Hujurat : 11).
Pandangan sinis dan memperolok sesama terkadang disebabkan mudahnya manusia menerima dan percaya pada berita hoaks, atau kebencian yang melampaui batas. Padahal, semua berpotensi melakukan atas apa yang diolokan pada hal yang sama dalam wujud yang berbeda. Bahkan ada pula pandangan sinis bertujuan untuk menjegal sesama yang dianggapnya sebagai lawan. Untuk itu, upaya yang murah (murahan) dilakukan melalui penyebaran fitnah dan memperolokannya. Sikap ini sebenarnya memperlihatkan kekerdilan diri dan ketidakmampuannya berkompetisi secara fair. Hal ini merupa-kan bentuk ketakutan (fobia) atas kelebihan orang lain. Sifat ini menjadi indikator penyakit hati (keangkuhan) yang sedang dideritanya. Akibatnya, pintu hatinya menjadi beku dan tertutup untuk menyadari atas kekurangan dirinya.
Keenam, Anyaman daun ketupat melambangkan catatan kesalahan (dosa) yang dilakukan setiap diri. Melalui catatan tersebut, menyadarkan manusia atas pertanggungjawabannya kelak di hadapan Allah. Melalui kesadaran atas catatan kesalahan yang dilakukan, dimungkinkan manusia sadar untuk melakukan amal kabajikan, bukan perilaku menjijikkan. Sebab, Allah telah mengingatkan manusia melalui firman-Nya : “Dan sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu), yang mulia (di sisi Allah) dan yang mencatat (perbuatan-mu), mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. al-Infithar : 10-12).
Adapun isi ketupat berupa nasi yang berwarna putih mencerminkan kebersihan dan kesucian hati manusia. Kesucian tersebut mendorongnya untuk saling memaafkan dengan penuh keikhlasan, bukan bungkus kemunafikan yang berbalut kesombongan. Andai manusia tak mampu mengendalikan nafsu dan kesuciannya, maka kerusakan yang akan terjadi. Untuk itu, manusia perlu bijak melangkah dan memilih “teman sebagai rujukan”. Bila pilihan keliru, maka ia akan tergelincir dan melakukan kezaliman, kebencian, atau ketidakharmonisan. Akibatnya, ia hanya akan melakukan kerusakan peradaban yang berkepanjangan. Hal ini dinyatakan Allah melalui firman-Nya: “….. Janganlah engkau mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami serta menuruti hawa nafsunya dan keadaannya melewati batas” (QS. al-Kahfi : 28).
Dorongan nafsu perlu dipahami secara luas dan komprehensif. Eksistensinya bisa bernilai positif atau negatif. Andai dorongan bernilai positif, maka kebajikan akan terbangun. Tapi, ayat di atas lebih menitikberatkan pada dorongan nafsu yang bernilai negatif. Dengan dorongan tersebut, manusia akan menyebarkan berbagai bentuk kejahatan yang akan berdampak pada sesama dan merusak tatanan peradaban. Apalagi bila dorongan nafsu tersebut melanggar aturan Allah dan Rasul-Nya, maka akan memicu perilaku kezaliman (ruang kuasa), permusuhan, pengkhianatan, kemunafikan, dan kesengsaraan banyak pihak (alam semesta).
Sungguh, semua perilaku akan berbuah dan dipetik oleh setiap yang menanamnya. Buah manis akan bernilai tinggi, pohonnya akan dirawat dengan pupuk berkualitas, dan nikmatnya akan diingat selalu. Tapi bila tanaman hanya menghasilkan buah yang pahit, masam, atau beracun, maka hanya akan dibuang, dicela sepanjang masa, dan pohonnya akan ditebang, bahkan dimusnahkan. Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.***
Oleh : Prof Samsul Nizar (Guru Besar STAIN Bengkalis)
Recent Comments