Beberapa kalangan belakangan ini sering menganggap bahwa Indonesia telah dirasuki oleh virus islamophobia. Islamophobia adalah suatu bentuk ketakutan yang berlebihan akan keberadaan Islam karena dianggap dapat membawa ancaman.

Setidaknya pandangan tersebut sering saya dengar ketika mengikuti diskusi dengan sebagian kelompok Islam atau dari hasil perbincangan yang berseliweran di media sosial. Pertanyaannya, benarkah Islamophobia eksis di Indonesia?

Sebelum membahas konteks Indonesia, mari kita sejenak melihat fenomena islamophobia di Perancis. Di Perancis walaupun dalam slogannya menyatakan liberte’ (kebebasan)  egalite’ (egaliter), and fraternite’ (persaudaraan), namun dalam kenyataannya itu hanyalah slogan kosong belaka. Bagaimana tidak, umat beragama khususnya umat Islam tidak mendapatkan hak-hak sipil mereka untuk mempraktikkan ekspresi dan simbol keagamaan mereka di ruang publik. Umat Islam dilarang mengenakan burqa (cadar) di ruang publik karena dianggap sebagai simbol penindasan terhadap perempuan

Beberapa waktu lalu, pemerintah Perancis juga mengancam akan memberikan sejumlah denda kepada para perempuan yang kedapatan mengenakan burkini di pantai. Pada intinya, pemerintah Perancis menyimpan sejumlah pandangan negatif terhadap segala simbol yang berkaitan dengan Islam.

Bagaimana dengan konteks Indonesia? Rasanya sungguh naif bila orang mengatakan Indonesia dirasuki virus islamophobia. Mari kita lihat sejumlah fakta, semua presiden di Indonesia beragama Islam. Kelihatannya masih mustahil memilih presiden yang beragama di luar Islam.

Pemerintah menggelontorkan dana yang sangat besar untuk membangun dan meningkatkan kualitas pesantren dan kampus-kampus Islam, seperti STAIN, IAIN, dan UIN. Kita dapat dengan mudah menemukan perempuan mengenakan jilbab hingga cadar di berbagai ruang publik.  Mereka bebas mengekspresikan simbol dan keyakinan mereka tanpa harus dihantui ancaman. Apakah fakta ini belum cukup untuk mengatakan bahwa islamophobia tidak eksis di Indonesia?

Tuduhan adanya islamophobia tidak dapat dilepaskan dari adanya kebijakan tegas Presiden Jokowi terhadap para ulama yang kerap menganjurkan ancaman, kebencian, dan permusuhan di ruang publik. Sejak itulah, para pendukung ulama tersebut membangun opini publik bahwa Jokowi adalah anti Islam alias musuh Islam. Pertanyaannya, bagaimana mungkin Jokowi menyebarkan islamophobia, sedangkan ia sendiri adalah seorang muslim dan Haji. Para pembenci Jokowi lupa bahwa di dalam lingkaran kekuasaannya, ia mengangkat beberapa ulama sebagai penasehatnya.

Inilah yang menjadi masalah besar sebagian umat Islam dewasa ini. Mereka baru membaca satu atau dua buah buku/kitab dan berguru pada seorang ustad/ulama (syukur-syukur kalau bukan ustad/ulama di media sosial), mereka dengan percaya diri telah meyakini dirinya sebagai pembela Islam sejati di mana pendapatnya-lah yang paling benar dan yang lain salah.

Kita mudah menuduh seseorang sebagai anti Islam atau musuh Islam -walaupun yang kita tuduh itu beragama Islam- hanya karena patron kita terlibat pertentangan dengan mereka yang kita tuduh sebagai musuh Islam. Padahal, harus diingat bahwa kebenaran sejati hanya milik Allah semata. Apa yang kita yakini sebagai kebenaran belum tentu sebuah kebenaran, melainkan ia hanya sebuah penafsiran dari patron kita yang boleh jadi penuh dengan tendensi dan kepentingan. Kita umat Islam sudah seharusnya memiliki keberanian untuk berpikir secara mandiri, kritis dan jernih.

Menurut hemat saya, di Indonesia kita tak memiliki masalah sama sekali soal Islamophobia, melainkan Islam radikal phobia. Islam sesungguhnya adalah suatu sistem keyakinan yang berlandaskan cinta, toleransi, dan keadilan. Penganut Islam radikal-lah yang merusak kesucian dan keindahan Islam karena di tangan mereka, Islam dibajak sedemikian rupa demi memuluskan dan melegitimasi kepentingan busuk mereka.

Kita menuduh dan mengutuk pemerintah sebagai musuh Islam karena sejumlah tokoh Islam radikal diciduk oleh pihak kepolisian akibat aksinya yang kerap menyebarkan ancaman, kebencian, dan permusuhan di ruang publik. Dalam hal ini, kita harus mendukung langkah pemerintah untuk melawan para penghasut dan pengujar kebencian karena mereka dapat menciptakan disharmoni pada masyarakat. Namun, pemerintah dengan segala wewenang yang mereka miliki tentu juga tak boleh bersikap zalim dan otoriter. Pemerintah tetap harus terbuka akan kritik sebagai bentuk check and balance.

Negara tetap harus menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan setiap warganya, tapi di sisi lain negara juga patut membatasi kebebasan tersebut demi menjaga keselamatan publik, menjaga tatanan publik, menjaga kesehatan publik, menjaga moral, dan menjaga hak dan kebebasan orang lain. Menyebarkan ceramah yang bernada ancaman,  kebencian, dan permusuhan di ruang publik paling tidak telah melanggar keselamatan publik dan juga melanggar hak dan kebebasan orang lain.

Di negara hukum seperti Indonesia, setiap warga negara posisinya sama di mata hukum. Biarpun ia seorang ulama yang memiliki banyak pengikut, ia tetap mesti diadili bila terbukti merencanakan makar, menghina dan menghujat agama dan keyakinan orang lain, melakukan ancaman dan intimidasi kepada pihak tertentu, melakukan pengrusakan fasilitas umum, dsb.

Negara dalam hal ini pemerintah harus tegas terhadap segala bentuk kriminalitas walaupun ia dibalut dengan jubah agama, agar negara tak kehilangan wibawa. Negara tak perlu takut dicap anti Islam. Negara cukup menegakkan hukum dengan adil dan konsisten dan berupaya untuk menyejahterakan warganya. Kalau itu dapat dilakukan, maka siapapun yang teriak bahwa pemerintah adalah anti atau musuh Islam, ujung-ujungnya mereka hanya akan jadi bahan tertawaan.

Sumber : Qureta.com

Translate »