Mandi wajib (ghusl al-jinabah) bagian dari instrumen atau cara menghilangkan hadats besar. Cara ini kita lakukan setelah kita sedang dalam kondisi berhadats besar- entah dari jinabah atau dari sebab lainnya- dan kita hendak melaksanakan kewajiban-kewajiban yang diharuskan suci dari kedua hadats besar dan kecil.

Permasalahan yang muncul kemudian berdasarkan ketentuan wajibnya membasuh seluruh anggota badan pada saat menghilangkan hadats besar yang secara otomatis anggota yang wajib dibasuh disaat menghilangkan hadats kecil juga ikut terbasuh adalah apakah mandi wajib sudah cukup bagi sesorang yang sedang berhadats besar untuk melangsungkan kewajiban atau masih butuh wudhu?

Para ulama sepakat tentang disyariatkanya berwudhu bagi seseorang yang hendak mandi wajib, akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang status hukumnya.

Mayoritas ulama dari kalangan Hanafiyah, Malikiyah, syafi’iyah dan Hanabilah mengatakan bahwa hukum berwudhu sebelum atau setelah mandi wajib hukumnya sunnah.

Pendapat berikutnya Abu Dawud al-Zhahiri, Abu Tsaur, dan riwayat lain dari Imam Ahmad, menegaskan bahwa wudhu merupakan syarat sahnya mandi wajib.

Pendapat ketiga dari sebagian ulama Syafi’iyah, Hanafiyah dan Hanabilah mengatakan bahwa jika sebelum keadaan junub dia dalam kondisi suci dari hadats kecil maka tidak wajib berwudhu. Namun jika sebelum keadaan junub dia tidak suci dari hadats kecil maka wajib baginya berwudhu.

Perbedaan mereka para ulama dalam menyikapi status hukum berwudhu sebelum atau sesudah mandi wajib terjadi disebabkan ketidakseragaman mereka dalam memahami firman Allah Swt dalam surah al-Maidah [5]: 6 yang berbunyi:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan shalat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki. Jika kamu junub maka mandilah. Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, maka jika kamu tidak memperoleh air bertayammumlah dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan debu itu. Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, agar kamu bersyukur.”

Lebih jelasnya, fokus perbedaan mereka terletak pada ayat yang bergaris bawah diatas, yang memiliki arti “Jika kamu junub maka mandilah”.

Apakah ayat diatas termasuk ayat mujmal (ambigu) sehingga perlu di jelaskan dengan sabda Nabi, atau ia sudah mubayyan (jelas dan konkrit) sehingga tidak perlu mencari sabda Nabi sebagai penjelas?

Pendapat mayoritas atau pendapat pertama memahaminya sebagai perintah yang mubayyan (jelas dan konkrit) tanpa butuh penjelas lagi dari dalil lain. Bagi mereka, ulama yang mengatakan wudhu sebagai syarat dari mandi wajib merupakan tindakan yang menyalahi nash, karena memasukkan sesuatu yang berada diluar nash. Dan jika hal itu memang wajib otomatis Allah akan menyebutnya. Disamping itu, mereka juga beralasan bahwa Rasul meyampaikan pada para sahabat tentang kewajiban mandi tanpa harus berwudhu sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim,

عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ: قُلْتُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي امْرَأَةٌ أَشُدُّ ضَفْرَ رَأْسِي فَأَنْقُضُهُ لِغُسْلِ الْجَنَابَةِ؟ قَالَ: لاَ إِنَّمَا يَكْفِيكِ أَنْ تَحْثِيَ عَلَى رَأْسِكِ ثَلَاثَ حَثَيَاتٍ ثُمَّ تُفِيضِينَ عَلَيْكِ الْمَاءَ فَتَطْهُرِينَ

“Dari Ummu Salamah, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: Aku berkata: “Wahai, Rasulullah. Sesungguhnya aku seorang wanita yang sangat baik mengepang rambutku. Lalu apakah aku melepasnya untuk mandi janabah?” Beliau menjawab: “Tidak usah, cukuplah bagimu menuangkan air ke kepalamu tiga kali tuangan, kemudian basahilah tubuhnya dengan air, maka engkau telah bersuci”. [HR Muslim-330]

Lebih lanjut mereka juga menanggapi pendapat ketiga. Yang mengatakan bahwa jika sebelum junub dia dalam kondisi suci dari hadats kecil maka tidak wajib berwudu’, sedangkan jika sebelum keadaan junub dia tidak suci dari hadats kecil maka wajib baginya berwudhu. Pendapat demikian sangat lemah karena sejatinya hadats kecil melebur kedalam hadats besar.Artinya dengan menghilangkan hadats besar maka secara otomatis hadats kecil juga ikut hilang.

Sementara pendapat kedua yang diwakili oleh Abu Dawud, memahami perintah dalam ayat diatas sebagai perintah yang masih global. Ia tidak boleh diambil secara mentah. Butuh penjelasan (mubayyin) dari praktik Rasulullah Saw untuk dilaksanakannya. Sedangkan dalam sejarahnya Rasulullah selalu saja menjaga wudhu dalam setiap mandi wajib.

Beliau menguatkan pendapatnya dengan firman Allah SWT yang termuat dalam surah al-Nur ayat 56 yang berbunyi, wa aqiimussholaah (dan dirikanlah shalat).

Perintah diatas menurut beliau berbentuk global dan masih ambigu. Terbukti contoh pelaksanaan shalat Rasul Saw menjadi penjelasan tata cara pelaksaan perintah shalat yang diwajibkan oleh Allah Swt. Dan menurut beliau masih banyak perintah yang termuat dalam al-Qur’an yang tergolong global.

Melihat dalil dan argumen-argumen yang diketengahkan, dapat disimpulkan bahwa pendapat pertama – yang mengatakan berwudhu disaat mandi wajib bukanlah sebuah kewajiban- merupakan pendapat yang paling kuat. Karena disamping menjadi pendapat ulama mayoritas dari keempat mazhab yang masih eksis hingga sekarang, dalil-dalil lain yang berupa hadits shahih – yang menerangkan tidak wajibnya berwudu disaat mandi wajib – menjadi bukti yang tak terbantahkan. Walaupun begitu, kita tetap menghargai pendapat yang lain dan tidak menafikannya, karena persoalan ini bukan termasuk ke dalam hal-hal qhot’i (yang disepakati semua ulamadan tegas dalilnya dalam agama). Wallahu a’lam

Artikel ini disarikan dari bukunya Abi Umar Dibyan,Ahkam al-Thaharah dan bukunya M Saiyidil Mahdhir Lc MA, Sudah Mandi Wajibkah Berwudu’ Lagi?

Sumber : bincangsyariah.com

Translate »