Rasulullah saw. bersabda: “Musa pernah berpidato di tengah-tengah Bani Israil, tiba-tiba seseorang bertanya kepadanya, ‘siapakah manusia yang paling pandai?’ ‘Saya,’ jawab Musa. Maka Allah menegur Musa sebab ia tidak mengembalikan kepandaian tersebut kepada-Nya. Kemudian Allah mewahyukan kepada Nabi Musa bahwa ada seorang hamba yang lebih pandai darinya, ia berada di Majm‘al Bahrayn….. (HR. Bukhari, Tirmidzi, Nasa’i)

Sudut pandang pembahasan kami bukan tentang perjalanan Nabi Musa menemui Nabi Khaidhir, akan tetapi bagaimana Allah Swt menegur Nabi Musa as karena kepongahannya. Bahasa yang digunakan oleh Nabi Muhammad dalam hadisnya adalah ‘ataballaahu ‘alayh yang artinya bisa saja bukan hanya teguran melainkan celaan. Mendengar bahwa Musa mengaku dirinyalah yang paling pandai, Allah mengajak Nabi Musa untuk piknik sejenak bersilaturahmi kepada seorang hamba-Nya bernama Khaidhir yang berada di Majma’al Bahrayn.

Angka 1860-1882 bukanlah bilangan tahun terjadinya sebuah peristiwa bersejarah sebagaimana sejarawan biasa asumsikan. Akan tetapi menunjukkan surah ke 18 ayat 60-82, yang berarti surah al-Kahfi, yang mengisahkan pikniknya Nabi Musa menemui orang saleh bernama Khaidhir. Interaksi antara keduanya dalam sudut pandang pengetahuan sejatinya sangat menarik. Sayangnya, sepertinya bacaan dan pemahaman Alquran kita sudah sangat fasih dan mendalam sehingga terlewatkan begitu saja peristiwa 1860-1882.

Di dalam Alquran surah al-Kahfi (65) Allah menyebutkan bahwa pada akhirnya Musa as dan Yusya’ bin Nun bertemu dengan salah satu dari “hamba” Kami yang telah Kami beri rahmat dan Kami beri pengetahuan dari sisi Kami (wa ‘allamnaahu min ladunnaa ‘ilman). Dalam tafsir al-Qurthuby dijelaskan bahwa yang dimaksud adalah ilmu gaib.

Kemudian al-Qurthuby mengutip pendapat Ibn ‘Athiyyah yang menyebut bahwa ilmu yang diperoleh Khaidhir adalah ilmu ma’rifat yang berkaitan dengan hal-hal batiniyyah yang diwahyukan kepadanya dan bukan hanya ilmu lahiriyah yang berkaitan dengan hukum-hukum dan tata prilaku manusia. Sebaliknya, ilmu Nabi Musa adalah ilmu syariat yang berkaitan dengan hal-hal lahir tentang tata prilaku manusia.

Yang menarik dari kisah Khaidhir dan Nabi Musa sebagaimana dalam surah al-Kahfi adalah, meskipun ilmu yang dimiliki oleh Khaidhir adalah ilmu ma’rifat akan tetapi ilmu tersebut memiliki nalar logis, bukan sesuatu yang abstrak dan tanpa penjelasan yang susah dipahami. Hal ini dibuktikan dengan penjelasan yang ia utarakan di akhir perjalanannya bersama Nabi Musa.

Yang pertama (79) bahwa sikap ia melubangi perahu orang miskin yang ia tumpangi bertujuan untuk melindungi perahu tersebut agar tidak dirampas penguasa yang biasa merampas perahu yang masih baik. Kedua (80) Khaidhir membunuh anak muda belia dengan alasan ia khawatir anak muda yang tidak beriman tersebut akan memaksa kedua orang tuanya yang beriman untuk berbuat kufur, di samping itu ia juga berharap Allah akan mengaruniai keduanya anak yang saleh.

Dan yang terakhir (82), sikap Khaidhir mendirikan kembali bangunan yang mau roboh milik salah seorang penduduk yang saleh adalah untuk melindungi harta milik dua orang anak yatim yang masih kecil. Harapannya, harta tersebut bisa mereka manfaatkan kelak ketika mereka dewasa. Ketiga penjelasan tersebut memiliki rasionalitasnya masing-masing, hal ini terbukti dengan sikap Musa yang tidak lagi mempermasalahkan penjelasan Khaidhir. Sebab, sebelum semuanya dijelaskan oleh Khaidhir, Nabi Musa terlihat tidak sabar dan melayangkan protes berulang kali karena sikap aneh Khaidhir.

Kisah ini memiliki pelajaran penting yang perlu dicermati: Pertama, bahwa pengetahuan seseorang berbeda-beda dan berjenjang, hal ini menunjukkan tingkat pengetahuan seseorang; kedua, pengetahuan tersebut pada akhirnya akan menentukan sikap dan perilaku seseorang dalam berinteraksi dengan lingkungannya; Semua ilmu yang ada, pada dasarnya memiliki rasionalitas yang dapat diterima oleh akal manusia; dan yang keempat siapa pun tidak patut menyombongkan diri dengan pengetahuan yang ia miliki jika ia menyadari bahwa masih banyak yang lebih baik darinya.

Untuk menguatkan argumentasi di atas terdapat sebuah disertasi besutan Komisaris Besar (Kombes) Pol Dr Mohammad Fadil Imran, Msi. yang berjudul “Studi Kejahatan Mutilasi di Jakarta (Perspektif Pilihan Rasional dari Lima Pelaku)”. Fadil menjelaskan fenomena tersebut menggunakan Rational Choice Theory dan RoutineActivity Theory sebagai kerangka berpikir. Dalam memutuskan tindakan mutilasi, ada faktor pencetus dan faktor pendukung yang bersifat situasional dan kondisional yang memungkinkan pelaku untuk melakukannya.

Hal ini didukung oleh pengetahuan yang dimiliki oleh para pelaku mutilasi. Pengetahuan terbatas tentang hukum dari seorang pelaku, membuat ia akan dengan cepat mengambil sebuah tindakan spontan untuk memutilasi korbannya. Saat situasi genting dan upaya pelaku untuk meloloskan diri, memutilasi dan mengubur korban adalah suatu hal yang masuk akal.

Menurut Fadil, dari kelima pelaku, kesemuanya mengaku melakukannya secara sadar. Pilihan tersebut dinilai oleh mereka adalah yang paling menguntungkan saat itu, dan itu rasional. Hal lain berbeda dengan orang yang ngeh dengan hukum, tindakan memutilasi justru akan menjerumuskannya ke dalam pasal pembunuhan yang lebih berat.

Semua konklusi di atas kalau boleh dianalogikan seperti beberapa orang yang tengah berdiri di sebuah gedung bertingkat, mereka semua sama-sama sedang menyaksikan sebuah peristiwa tabrakan yang terjadi di jalan raya. Orang-orang dari lantai pertama dan kedua akan melihat seseorang yang sedang ditabrak oleh pengemudi mobil, dan dengan spontan mereka akan menyalahkan pengemudi mobil tersebut.

Sedangkan orang dari lantai yang lebih tinggi dari mereka akan memeroleh view yang lebih luas, dan ternyata mereka menemukan pengemudi mobil tersebut tengah menghindari orang yang sedang berlari di depannya sehingga ia oleng dan menabrak korban. Hal yang berbeda juga akan diperoleh oleh orang yang berada di lantai lebih tinggi lagi dengan view yang jauh lebih luas, bahwa penyebab kecelakaan tersebut adalah massa yang mengejar seorang copet dan memaksa sebuah mobil oleng dan menabrak seorang pejalan kaki. Ini hanyalah sebuah analogi yang merepresentasikan realitas di sekeliling kita, hubungan antara pengetahuan dan sikap seseorang.
Baca Juga : Kisah Nabi Ibrahim Ditegur Karena Memaksa Majusi Masuk Islam

Di ujung perjalanan Khaidhir dan Nabi Musa, Khaidhir memberikan sebuah epilog dengan mengatakan, “Wahai Musa, sesungguhnya ilmuku dan ilmumu dibandingkan dengan ilmu Allah seukuran dengan air yang diminum oleh burung-burung dari air laut ini (Tidak ada bandingannya dengan ilmu Allah).” Hal ini disampaikan kepada Musa, agar Musa mau merendahkan diri dengan ilmu yang ia miliki.

Sebab, masih ada yang lebih pandai dari manusia terpandai di dunia sekalipun. Untuk itu sebagai manusia biasa tidak satu pun yang patut menyombongkan diri dengan apa yang dimiliki, karena sombong adalah pakaian Allah dan Dia lah satu-satunya yang berhak mengenakannya. Waallaahu a’lam.

Sumber : bincangsyariah.com

Translate »