19. Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari daripadanya. 20. Dan ditiuplah sangkakala. Itulah hari terlaksananya ancaman. 21. Dan datanglah tiap-tiap diri, bersama dengan dia seorang malaikat penggiring dan seorang malaikat penyaksi. 22. Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini, maka Kami singkapkan daripadamu tutup (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam. (QS. Qaf: 19-22)
Bakteri-bakteri jahat menggerogoti otaknya. Kerusakan di otak membuat sistem asupan oksigen untuk pernafasannya terganggu. Detak jantungnya perlahan melemah. Rasa terbakar ketika ia berusaha untuk bernafas. Tidak pernah ada catatan sebelumnya penyakit itu pernah menimpa dirinya.
Sebagai seorang ahli bedah syaraf, sehari-hari ia bergelut dengan jaringan syaraf otak pasien lain dengan keteguhan pada prinsip “tidak ada tempat untuk sesuatu yang tidak bisa dibuktikan secara ilmiah”. Hari itu ia tergolek tidak sadarkan diri karena penyakitnya itu. Ia tahu bahwa ia telah mati.
Di atas usungan pasien, ia melihat dirinya dikelilingi dokter dan beberapa perawat melakukan prosedur resusitasi. Sebuah upaya medis untuk bisa menyelamatkannya dari kematian. Upayanya sia-sia. Perlahan-lahan, dirinya yang sejati meninggalkan tubuh fananya. Ia terbujur koma di ruangan berventilator.
Di “suatu tempat” di luar jasadnya sendiri, ia merasakan ketenangan. Semburat cahaya putih berputar-putar pelan diiringi musik simponi mengalun entah darimana. Di ujung lorong ada lembah dengan orbs beterbangan penuh keindahan. Air jernih mengalir menuju hilir yang terbentang kolam kristal gemerlapan.
Ia susuri hulu alirannya, nampak air terjun menjulang dengan ujung yang tak terjangkau pandangan. Alam ultra-nyata yang dilihatnya benar-benar memanjakan mata. Betapa ia merasakan Kasih Tuhan, Allah, Yehovah, Yahweh, Wisnu, —apapun namanya— begitu menyelimutinya. Ia harus menarik ucapannya dulu. “Bagaiamana aku bisa menolak ini, aku mengalaminya!”
Eben Alexander adalah satu dari jutaan orang di seluruh dunia yang melaporkan pengalamannya kembali dari kematian. Kita bisa juga bisa baca pengalaman serupa tentang NDE dari Dr. Jeffrey Long dalam buku Evidence of the Afterlife dan Carol Zaleski, Otherworld Journey. Hingga saat ini, tidak ada penjelasan ilmiah tentang pengalaman NDE, namun laporan dari yang mengalaminya masih terus berkembang.
NDE adalah pengalaman non-fisik yang di alami setiap orang, baik dalam keadaan koma maupun sudah diputuskan meninggal dunia. Dikatakan non-fisik karena seseorang yang mengalami NDE sama sekali sudah tidak menunjukkan gejala fisiobiologis apapun. Seluruh organ tubuhnya berhenti beroperasi. Dengan kata lain, pengalaman NDE benar-benar terjadi di luar tubuh manusia itu sendiri.
Seseorang jantungnya berhenti beroperasi (cardiac arrest), secara medis belum bisa sepenuhnya dinyatakan meninggal. Ada beberapa prosedur yang bisa dilakukan untuk bisa membawa pasien “kembali dari kematian” atau dunia medis meyebutnya CPR (Cardiopulmonary resuscitation).
Thomas Fleischmann, seorang peneliti sekaligus dokter yang biasa memberikan penanganan darurat CPR kepada pasien-pasiennya, telah berhasil mengumpulkan keterangan lebih dari 2000 orang pasien yang ditanganinya untuk diwawancara tentang pengalaman mereka kembali dari kematian.
Ketika kematian menghampiri seseorang, fase pertama yang terjadi ialah perubahan tak terduga. Semua kecemasan dan rasa sakit tiba-tiba menghilang. Yang ada hanya kesunyian, kedamaian dan ketenangan. Sebagian lagi bahkan merasakan kebahagiaan.
Fase kedua kembali terjadinya perubahan tak terduga. Pada fase ini, ruh perlahan meninggalkan jasadnya. Ia dapat menyaksikan kejadian di sekitarnya. Ia menyaksikan tubuhnya menerima penanganan CPR, misalnya. Atau di tempat lain, di mana ia meninggal ia bisa menyaksikan dan mendengar keluarganya berdoa dan menangis di hadapan jasadnya. Fase ini biasa disebut juga dengan OBE (Out of Body Experience).
Fase ketiga, Thomas Fleischmann melaporkan, sebagian besar dari respondennya mengalami kegelapan pekat yang nyaman. Ada pula yang merasakan kegetiran, kebisingan, aroma, dan makhluk mengerikan.
Fase keempat, kegelapan yang dialami perlahan memudar. Sebentuk kilau cahaya mulai terbentuk. Tak terjangkau namun begitu terasa. Cahaya magis tersebut menyingkap adanya sebuah lorong yang mulai terbentuk. Eben Alexander menyebut pandangan lorong ini dengan through the wormhole atau earthworm’s eye view.
Fase terakhir, adalah fase dimana cahaya tersebut mulai semakin nyata dan begitu dekat. Ada perasaan begitu hangat dan nyaman. Sebuah perasaan dari sebentuk cinta tak bersyarat.
Dalam fase ini, dimana hanya 10% responden yang mengalaminya, mereka mendapatkan penglihatan dari kilas balik seluruh kehidupannya semenjak lahir hingga kematiannya.
Di sini juga mereka melaporkan bahwa mereka bertemu dengan sanak saudara yang sudah lama tiada. Mereka menyambutnya dengan penuh kehangatan.
Kondisi ini, bagi mereka yang mencapai fase terakhir, membuat mereka enggan beranjak. Namun, sebagian dari mereka memilih untuk kembali karena merasa masih banyak tugas yang harus dilakukan, atau keluarga mereka yang menyambutnya meminta mereka untuk kembali untuk menunaikan tugas-tugas tersebut.
Sekembalinya dari peristiwa tersebut, seseorang yang mengalami NDE memiliki perubahan yang signifikan terhadap kehidupannya. Sebagian besar mereka menjadi lebih empatik dan peduli terhadap kehidupan orang lain. Ada nilai-nilai spiritual yang menjadi panduan hidupnya sehingga nilai-nilai keduniawian menjadi tak berarti lagi.
Sekali lagi, tidak ada penjelasan saintifik terkait pengalaman NDE. Namun, berdasarkan laporan-laporan dari banyak orang yang pernah mengalaminya, kita layak untuk mempertimbangkan bahwa momen tersebut barangkali ada.
Jika Anda membuka situs Youtube dan mengetikkan kata kunci “near death experience” akan muncul banyak sekali video tentang pengalaman mereka dengan NDE. Uniknya, pola dan fase-fase yang mereka kemukakan hampir serupa, tak peduli apapun agama, budaya dan latar belakangnya.
Terjemah dari ayat Alquran yang saya cantumkan di atas adalah gambaran tentang peristiwa akhir kehidupan manusia, atau kita biasa menyebutnya sakrat al-mawt. Berasal dari kata sakryang berarti “mabuk”. Ayat lain misalnya, wa lā taqrobu as-shalāta wa antum sukāro, jangan sekali-kali kau dekati salat dalam keadaan mabuk. Sukāro satu akar kata dengan sakrat.
Setiap orang yang mendekati kematian digambarkan seperti orang yang mabuk. Ia tidak lagi mengerti apa yang diucapkannya dan tak tau apa yang terjadi di sekitarnya. Dalam kondisi mendekati kematian, kita akan mengalami hal-hal yang tak bisa dimengerti oleh akal sehat.
Alquran memberi antisipasi kepada kita bahwa pada saat mau menjemput, semua pandangan (ruh) kita menjadi begitu tajam. Semua tirai kegaiban akan tersingkap. Fa kasyafnā ‘anka githā-aka fa basharukal-yauma ḥadīd. Kami singkapkan daripadamu tutup (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam.
Ayat tersebut memberi afirmasi kepada kita bahwa pada saat meninggal dunia, pandangan (ruh) kita tidak lagi terikat ruang dan waktu, bahkan untuk hal-hal yang gaib sekalipun. Apapun yang tak terjangkau oleh mata zahir, ruh kita saat itu mampu melihatnya dengan tajam. Al-nās niyām fa-idha matū intabahū, kata Ali bin Abi Thalib. Manusia sedang tertidur; ketika mereka mati, mereka terbangun.
Sumber : qureta.com
Recent Comments