Pada hakikatnya, terdapat dua arus utama pandangan dalam memaknai kehidupan, pertama, kelompok yang berdasar pada pandangan agama sebagai rujukan memandang berbagai fenomena di alam semesta serta kehidupan setelah mati. Kedua, kelompok yang mendasarkan diri pada ilmu pengetahuan (sains).

Kelompok kedua mencoba keluar dari berbagai mitos yang terbangun sejak ribuan tahun lalu. Mereka juga tidak mengakui sesuatu di luar metode ilmiah dan empiris sebagai sebuah kebenaran. JIka ada yang di luar itu, maka mereka akan kompak mengatakan “hoaks”.

Pandangan-pandangan dari kedua kelompok inilah yang hingga sekarang terus membentuk wajah peradaban manusia. Perdebatan mereka kerap melahirkan perseteruan abadi. Dua kubu tersebut saling mengklaim kebenaran menurut proses pencarian mereka masing-masing.

Pertanyaannya, apakah konskuensi dari kedua pertarungan itu bagi tujuan dan keberlangsungan hidup umat manusia dewasa ini?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, berikut adalah penjelasan dari masing-masing pandangan kelompok.

Dalam konteks agama, khususnya agama Islam, hakikat daripada kehidupan ialah untuk kembali kepada Allah SWT. Memercayai bahwa manusia hidup dan diciptakan semata-mata untuk menyembah Allah SWT merupakan puncak keimanan bagi seorang hamba.

Itu artinya, manusia memang mahluk yang diciptakan khusus untukNya. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Alquran surat al-Mukminun 23:115:

“Apakah kalian mengira bahwa kami menciptakan kalian sia-sia, dan bahwa sesungguhnya kalian tidak akan dikembalikan kepada kami?”

Islam mengajarkan bahwa tujuan hidup manusia di dunia pada hakikatnya untuk mencari dan mengumpulkan “bekal” sebanyak-banyaknya bagi kehidupan akhirat. Sedangkan yang dimaksud dengan bekal ialah pahala dan berbuat kebaikan pada sesama ciptanNya.

Dengan begitu, selama manusia masih diberikan kesempatan untuk hidup, maka tugas utamanya ialah berbuat dan menumpuk amal kebaikan melalui hal-hal yang baik. Sebab, apabila tujuan hidupnya tidak terarah, maka manusia akan merugi karena terjebak pada kehidupan dunia yang serba fana.

Alquran menyebut dunia sebagai tempat bermain-main dan senda gurau semata, dalam surat al-Ankabut, 29:64.

“Dan tidaklah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenar-benarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.

Konskuensi daripada keimanan seorang hamba terhadap ayat-ayat di atas menghasilkan ketaatan sempurna. Artinya, seorang hamba yang beriman tidak dibutakan pada tujuan selain menyembah kepadaNya. Manusia yang beriman tidak akan terjebak pada hal-hal duniawi seperti harta, tahta, pasangan hidup, kehormatan serta puja-puji dari manusia lainnya.

Melalui keimanan terhadap Islam, seorang hamba ditekankan untuk melihat dunia hanyalah tempat pemberhentian sementara sedangkan akhirat adalah tujuan akhirnya.

Dalam kontek sains, tujuan hidup manusia sejatinya adalah untuk mempelajari berbagai fenomena yang terjadi di semesta raya. Pandangan ini tentu saja berkebalikan dengan pandangan kelompok pertama.

Tanpa membawa doktrin keagamaan tertentu, sains berusaha keluar dari hal-hal yang bersifat mitos. Sains mencoba mempelajari asal mula bagaimana semesta ini dibuat. Maka muncullah teori “big bang”, teori evolusi Darwin hingga adanya keyakinan bahwa terdapat mahluk lain selain manusia di semesta ini (Carl Sagan, 1980).

Sejak Eratosthenes, Ptolemeus, Kopernikus, Kepler hingga Einstein, akal manusia diperas untuk menjawab beragam misteri yang masih terkandung di alam semesta. Selama masa pencarian itu pula agama terus menerus berhadap-hadapan dengan berbagai penemuan yang dihasilkan sains.

Apakah Matahari akan punah, jika punah kapan tahunnya dan pertanyaan-pertanyaan lain yang terus menggema di dalam pikiran mereka.

Begitu pula dengan bumi yang ditinggali ini. Pertanyaan tentang apakah bumi akan punah karena berlakunya hukum-hukum alam bahwa di jagat raya ini, yang lemah akan dimakan yang kuat.

Dan semilyar pertanyaan lagi yang muncul untuk menjawab berbagai peristiwa astronomi karena akal manusia yang terus bergeliat mencari jawabannya.

Lalu, sampai kapankah sains mencari “keakhirannya” sebagaimana ajaran agama yang telah selesai dengan tujuannya? Di sinilah benang merah penolakan sains terhadap doktrin agama mendapatkan titik temunya.

Menurut penulis, dengan kondisi yang ada saat ini, di mana sains dan agama saling membenturkan diri, maka tidak akan ada jalan keluar untuk mendamaikan perdebatan Agama dan Sains selain keduanya mau berkolaborasi.

Dalam konteks ajaran Islam misalnya. Umat Islam diajarkan untuk membaca hasil penafsiran para ulama sebagai proses mencari “pengetahuan”. Bahkan tidak cukup hanya dicari, setelah didapatkan maka ilmu tersebut harus diamalkan kepada manusia. Jika tidak diamalkan, maka ilmu tersebut akan menjadi “dosa” bagi dirinya sendiri.

Islam dan sains, khususnya dalam ilmu alam, tidaklah bertentangan. Bahkan dalam bukunya, Quran, Bible and Modern Science, Maurice Boucaille mengungkapkan tidak ditemukannya kontradiksi antara Alquran dan sains modern.

Alquran, lanjutnya, memberikan petunjuk akan gejala-gejala alam di mana kemudian ilmu pengetahuan saintifik mampu mengungkapkannya.

Contoh bahwa Alquran telah mengungkapkan berbagai fenomena alam yang kemudian mendapatkan penjelasannya melalui sains modern adalah pembahasan tentang adanya api yang hidup di dasar lautan dalam surat at-Thur 52:7.

Selain itu, dalam konteks ilmu astronomi, benda-benda langit yang banyak itu berjalan menurut sistem peredarannya masing-masing, yang disebutkan dalam surat Yasin 36:38. Dan, tentu masih banyak lagi bukti bahwa Alquran, apabila dipelajari, akan memberikan petunjuk bagi mereka yang mengetahui.

Dari penjabaran di atas, jelaslah bahwa tujuan hidup antara agama dan sains adalah satu yaitu sama-sama menuju kepada kesempurnaan ciptaanNya.

Sains mempelajari berbagai fenomena alam karena manusia harus bertahan di alam semesta ini. Sedangkan agama memberikan petunjuk agar manusia selalu mempertahankan hidupnya dengan cara membaca dan mempelajari apa yang terkandung khususnya di dalam kitab suci, agar terhindar dari kepunahan.

Itulah sebabnya, Alquran dan sains saling mengisi untuk mengetahui berapa lama lagi umur dunia dan semesta ini bertahan. Atau dengan bahasa lain, ini bisa disebut sebagai kolaborasi antara Alquran dan sains modern. Karena antara sains dan agama, diakui atau tidak, sama-sama meyakini bahwa setiap sesuatu yang hidup akan punah. Begitupula dalam ajaran Islam, setiap jiwa-jiwa yang bernafas pasti akan kembali kepada penciptaNya, yaitu Allah SWT.

Melihat dari kedua konteks dan penjelasan di atas, bukankah sudah jelas bahwa Islam dan Sains pada hakikatnya menuju satu tujuan yaitu sebuah kebenaran. Kebenaran dari sesuatu yang tak terhingga, tak terbatas dan tak ter-ter lainnya. Siapakah dia yang menjadi tujuan daripada umat beragama dan ilmu pengetahuan, tiada lain selain Allah SWT.

Sumber : qureta.com

Translate »