Rusia vs Estonia

April 2007, Pemerintah Estonia memindahkan sebuah patung yang terbuat dari perunggu. Patung tersebut adalah monumen peninggalan Uni Soviet. Bagi Rusia, monumen tersebut berfungsi sebagai pengingat bahwa Estonia dulu adalah bagian dari Uni Soviet.

Mereka juga menganggap bahwa monumen tersebut sebagai penanda kekalahan Nazi Jerman, dan hilangnya jutaan nyawa yang berkorban untuk membela Uni Soviet. Namun, bagi Estonia, monumen tersebut melambangkan penjajahan dan penindasan.

Pemerintah Estonia memutuskan untuk bertindak dengan memblokir akses transportasi ke monumen tersebut dan merelokasi patung ke kuburan militer di mana patung tersebut sekarang berada. Mengetahui hal tersebut, Komunitas Estonia-Rusia murka terhadap pemerintah.

Laporan berita yang beredar di media berbahasa Rusia yang menjadi sumber informasi utama bagi warga Rusia Estonia, mengatakan monumen itu dihancurkan, bersamaan dengan kuburan tentara Soviet yang gugur dalam perang. Walaupun laporannya salah, akan tetapi berita tersebut sudah tersebar luas.

Pada malam 26 April, massa mulai turun ke jalan. Kerusuhan massal dan penjarahan banyak terjadi di wilayah Tallinn. Selama dua malam, para demonstran yang pro-Rusia menghadapi polisi anti huru-hara. Toko-toko hancur dan dijarah, mobil-mobil terbalik, satu orang terbunuh, lebih dari 150 orang terluka dan 1.000 lainnya ditahan.

Akan tetapi, ketika bentrokan banyak terjadi di jalanan Tallinn, Estonia menghadapi ancaman baru. Botnets membanjiri bank, surat kabar, perusahaan telekomunikasi, kementerian, dan parlemen Estonia dengan spam dan menyebarkan serangan DDoS atau Denial-of-Service.

Estonia sebagai negara yang telah membangun kembali teknologinya sejak kemerdekaan sebagai negara cyber yang bisa dibilang sangat paham teknologi, sekarang menemukan kelemahan, karena beberapa serangan berlanjut selama beberapa minggu. Lebih dari 50 situs web utama offline sekaligus. Mesin kasir otomatis dan email pemerintah berhenti berfungsi. Selain itu, orang Estonia juga tidak dapat melihat ke media untuk mencari tahu apa yang terjadi, karena wartawan tidak bisa menggunakan internet untuk melaporkan atau menyampaikan berita.

Para hacker yang melancarkan serangan tersebut mengakibatkan lumpuhnya sistem dan infrastruktur Estonia. Beberapa dari serangan tersebut ditelusuri sumbernya ke alamat Protokol Internet di Rusia, dan instruksi bahasa Rusia untuk meluncurkan serangan diposting secara online di berbagai forum.

Serangan itu juga meningkat pada tanggal 9 Mei, hari di mana Rusia memperingati menyerahnya Jerman tahun 1945 kepada Uni Soviet, dan menyusut keesokan harinya. Akan tetapi, Rusia terus menyangkal bahwa mereka memiliki peran dalam serangan tersebut.

Walaupun serangan siber terhadap Estonia pada tahun 2007 diduga sebagai insiden pertama serangan siber yang disponsori negara, akan tetapi serangan tersebut bukan yang terakhir. Virus Stuxnet yang merusak sistem nuklir Iran, ditemukan pada tahun 2010, dikaitkan dengan Amerika Serikat dan Israel. Korea Utara juga dituduh bertanggung jawab atas peretasan besar-besaran terhadap Sony pada 2014. Rusia dicurigai melakukan serangan yang secara singkat merobohkan jaringan listrik Ukraina pada tahun 2015 dan 2016. Dan kemudian datang operasi pemilihan AS pada tahun 2016, yang dinas intelijen AS diatribusikan kepada Rusia.

Dalam mempersiapkan diri untuk berjaga-jaga jika serangan terjadi kembali, Estonia mulai bekerja sama dengan negara lain. Ahli keamanan Internet Estonia berkolaborasi dengan komunitas operasi keamanan Internet global dan CERT atau Computer Emergency Response Team dari negara lain, terutama dari Finlandia (CERT-FI), Jerman (CERTBund) dan Slovenia (SI-CERT). Selain negara, juga ada beberapa pihak yang ikut berkontribusi, seperti perusahaan yang berbasis sistem, penegak hukum, dan individu-individu yang ahli dalam ICT atau Information and Communication Technology dari seluruh dunia.

Estonia selalu menjadi medan perang bagi kekuatan-kekuatan besar sejak dulu, dikarenakan letak wilayahnya yang berada di titik sempit tetapi juga strategis, antara Rusia dan benua Eropa. Peperangan antara Jerman, Rusia, Swedia dan Denmark telah mendorong perbatasan negara tersebut maju mundur, tanpa henti sering kali merusak wilayah yang dilewatinya, di mana wilayah tersebut dipenuhi dengan bekas luka abad ke-20. Para petani juga sering menemukan senjata yang sudah berkarat dan tulang-belulang prajurit yang gugur dalam pertempuran.

Sejak serangan siber terhadap Estonia terjadi, Rusia menjadi lebih berani dalam memasukkan serangan siber ke dalam strategi perang mereka, yang menggabungkan hacking atau peretasan dengan perang informasi, perang hibrida, atau perang konvensional kuno dalam upaya untuk memajukan tujuan Rusia.

Bahkan hanya setahun setelah serangan terhadap Estonia, Rusia meretas sistem Georgia dan pada saat yang sama menyerang dengan kekuatan konvensional, dengan alasan “menghukum” negara tersebut karena terlalu dekat dengan negara-negara Barat, terutama dengan NATO, walaupun lagi-lagi Rusia menyangkal keterlibatannya.

Akan tetapi, sebagai akibat dari serangan siber tahun 2007, Estonia saat ini juga memiliki cybersecurity kelas dunia. Estonia saat ini menjadi tuan rumah Locked Shields 2017, latihan pertahanan dunia maya terbesar dan termaju di dunia.

Yang paling utama, Estonia juga berperan untuk membuktikan bahwa bahkan sekalipun serangan siber yang terkoordinasi tidak akan cukup kuat sampai memengaruhi kebijakan luar negeri jika ada pertahanan yang cukup kuat, teknologi digital yang cukup tangguh atau memadai, dan kemauan negara tersebut yang cukup untuk membentuk kebijakannya sendiri. Sebelas tahun setelah hacker Rusia menyerang Estonia, patung era UNI Soviet masih diasingkan di luar ibu kota.

Sumber : qureta.com

Translate »