Dulu sekali, saat masih kecil, pernah saya diajak berburu cecak oleh kawan-kawan sebaya. Bukan untuk dijadikan pakan hewan lain, melainkan sebagai ajang peneguh iman. Katanya, dengan membunuh cecak kita akan dapat pahala yang banyak. Anggapan ini didasarkan pada sebuah hadist, seperti ini bunyinya.

“Barang siapa yang membunuh cicak sekali pukul, maka dituliskan baginya pahala seratus kebaikan. Barang siapa memukulnya lagi, maka baginya pahala yang kurang dari pahala pertama. Barang siapa memukulnya lagi, maka baginya pahala lebih kurang dari yang kedua,” (HR Muslim).

Saya sempat berpikir bahwa hadist tersebut adalah hadist dhoif atau hadist yang lemah. Bagaimana bisa Nabi Muhammad yang begitu baiknya pada semua makhluk hidup justru meminta kita untuk membunuh hewan tak berdosa seperti cecak.

Tapi ternyata asumsi saya salah. Hadist tersebut adalah hadist yang shahih. Setidaknya, itu yang saya dengar dari seorang ustadz yang viral di media sosial. Beliau menceritakan bagaimana cecak menjadi hewan yang sangat dibenci oleh agama Islam. Cerita dimulai dari Nabi Ibrahim yang akan dibakar oleh Raja Namrud. Dikisahkan bahwa semua hewan yang ada disana bahu membahu membawa air walau hanya sedikit untuk membantu nabi memadamkan api. Tapi tidak dengan cecak, ia justru menjilat-jilat api sehingga kobaran api semakin besar.

Ya, mungkin memang terdengar konyol, tapi itulah cerita yang dipercaya. Ada juga cerita lain yang cukup ilmiah untuk dipercaya. Dulu, pada jaman Nabi Muhammad terjadi wabah penyakit kulit. Wabah tersebut disebabkan oleh virus yang dibawa oleh cecak. Oleh karena itu, kaum muslimin diperintahkan untuk membunuh cecak. Tujuan dari perintah itu semata-mata untuk menyelamatkan manusia dari ancaman wabah penyakit kulit.

Merujuk pada dua cerita itu, maka ijinkanlah saya untuk tidak melakukan sunnah berburu cecak dengan beberapa alasan.

Benarkah cecak yang dimaksudkan adalah cecak yang sama dengan cecak di dinding rumah kita?

Ini adalah hal dasar yang harus diketahui bagi para pemburu pahala berburu cecak. Pernahkah kita berpikir bahwa cecak yang dimaksudkan dalam hadits bisa saja berbeda dengan cecak di rumah kita?

Selama yang saya ketahui, kondisi geografis di Indonesia dengan negara-negara yang berada di jazirah arab jauh berbeda. Bioma yang ada di Indonesia adalah bioma hutan hujan basah, berbeda dengan kawasan jazirah arab yang memiliki bioma gurun.

Tentu, biota yang ada di kedua bioma ini berbeda. Kita tidak mungkin melihat unta di hutan Sumatera, juga orang utan yang bergelantungan di pohon kaktus, Hal yang sama juga terjadi pada cecak. Belum tentu cecak yang sering kita lihat adalah cecak yang sama dengan cecak di kawasan semenanjung arab.

Benarkah cecak menjadi penyebar penyakit kulit?

Jika merujuk pada cerita yang kedua, maka dikatakan cecak dapat menyebarkan penyakit kulit. Tapi itu adalah cecak yang saya asumsikan berbeda dengan cecak yang ada di sekiitar kita. Mengapa? Pernahkah kita mendengar kasus orang terkena penyakit kulit karena memegang cecak? Rasa-rasanya hampir tidak ada.

Lagipula saat ini dunia sudah sangat modern. Kita bisa mengidentifikasi penyakit dengan metode ilmiah. Saat mendengar ada wabah penyakit, kita juga bisa mendapatkan antibiotiknya dengan mudah.
Saat ini cecak benar menjadi penyebab wabah penyakit kulit, maka pemerintah pasti sudah “woro-woro” sejak dahulu. Seperti kasus penyakit rabies yang disebabkan oleh anjing dan monyet. Pemerintah segera bertindak cepat dengan memberikan penanganan, baik secara langsung maupun preventif.

Fungsi cecak yang begitu besar dalam ekosistem

Mungkin sebagian kita tidak tahu betapa pentingnya cecak dalam kehidupan kita. Padahal ia memiliki peran yang begitu besar dalam ekosistem. Seperti yang kita tahu, cecak adalah pemakan nyamuk, seperti dalam lagu anak-anak.

Bisa dibayangkan kalau cecak habis diburu dan dibunuh, nyamuk akan dengan mudah berkembang biak dan menjadi banyak. Pada akhirnya justru terjadi wabah penyakit baru yang ditimbulkan karena ketiadaan cecak.

Saya menjadi ingat sebuah kasus yang terjadi di China. Saat itu pemerintah setempat mengkampanyekan pemusnahan burung pipit karena dianggap sebagai hama yang menyebabkan gagal panen. Asumsi yang berkembang saat itu adalah jika burung pipit habis, maka hasil panen akan meningkat.

Lalu apa yang terjadi? Populasi burung pipit menurun drastis. Bahkan burung pipit hampir punah di China. Dikabarkan sekitar 600 juta burung pipit mati dalam kampanye tersebut.
Masalah muncul pada tahun berikutnya. Ternyata burung pipit tidak hanya memakan komoditas tanam warga, tapi juga belalang yang juga menjadi hama. Akibatnya, populasi belalang meningkat dengan pesat, karena tidak ada predator alami bagi belalang. Gagal panen justru semakin besar, hingga menyebabkan kelangkaan pangan di China. Dampak terburuknya adalah ribuan warga mati karena kelangkaan pangan.

Kisah di atas menjadi pelajaran penting bagi kita. Membasmi suatu populasi sama saja merusak ekosistem. Rusaknya ekosistem tersebut juga pasti akan berdampak pada manusia. Mulai dari munculnya wabah penyakit, hingga kelangkaan pangan, dan masih banyak lagi.

Nah, itu poin-poin yang menjadikan saya enggan melakukan sunnah berburu cecak. Tidak masalah tidak mendapat pahala yang begitu besar dengan membunuh cecak, saya yakin dengan menyanyangi semua makhluk hidup pasti juga dapet pahala.

Sumber : queeta.com

Translate »