Oleh: Prof Samsul Nizar
PADA suatu pagi, Abu Nawas membawa keledainya menghadap khalifah Harun ar-Rasyid. Tentu niatnya membawa keledai masuk ke dalam istana dihalangi oleh para penjaga. Tapi dengan kecerdikannya, Abu Nawas mengatakan bahwa keledainya ingin menyampaikan pesan khusus untuk khalifah.
Penjaga akhirnya menghadap khalifah dan menyampaikan maksud kedatangan Abu Nawas dan keledainya. Setelah mendengar laporan penjaga istana, khalifah akhirnya mengizinkan untuk menemuinya. Setiba dalam istana, dihadapan para pembesar istana, khalifah langsung bertanya kepada Abu Nawas: “Hai Abu Nawas, apa tujuanmu membawa keledai menghadapku?”
Dengan ringan, Abu Nawas berkata, “wahai khalifah, tadi malam aku bermimpi jika keledainya ingin menyampaikan pesan kepada khalifah secara langsung tentang pendidikan adab. Keledainya mau mengajarkan adab kepada para pembesar istana”. Mendengar ucapan Abu Nawas, semua yang hadir tertawa terpingkal-pingkal. Mereka berkata bahwa Abu Nawas telah gila dan harus dibuang.
Tapi, khalifah segera menghentikan tawanya dan bertanya, “pelajaran adab seperti apa yang engkau maksud ?”. Abu Nawas berkata, “menurut keladaiku, jika ia tau kapan diam dan bersuara, kapan berhenti dan berjalan, kapan istirahat dan bekerja, makan yang menjadi haknya sesuai yang diperlukan, ia tak mengambil hak orang, tak pernah berjanji tapi selalu menepati, tak menilai dirinya mulia tapi sadar diri. Keledai sadar melanggar hukum dan tak pernah menghakimi orang lain. Bila keledai saja demikian, maka manusia seharusnya lebih baik. Tapi, fenomena yang terjadi justeru sebaliknya. Bahkan, segelintir pembesar istana berprilaku lebih parah dibanding keledai”, jelasnya santai.
Lalu, Abu Nawas mendekatkan telinganya mendekati mulut keledai. Seakan sedang mendengarkan si keledai berkata. Abu Nawas segera berkata, menyampaikan pesan keledainya, “wahai khalifah, keledai ku berkata, andai keledai bisa masuk leluasa ke dalam istana, berarti penjagaan sangat lemah dan bisa ditipu (disogok) oleh seekor keledai. Berarti, istana tuanku sangat mudah dimasuki musuh. Atau, mungkin isi istana adalah keledai yang senang bertemu komunitasnya (sesama keledai)”.
Mendengar kata Abu Nawas, khalifah dan pembesar istana diam tertunduk malu. Mencerna setiap kata yang disampaikannya secara bijaksana. Akhirnya, khalifah memahami maksud nasehat yang disampaikan dan mengucapkan terimakasih. “Wahai Abu Nawas, engkau dan keledaimu telah menyadarkanku atas sosok yang ada di sekelilingku selama ini”. Khalifah segera membentuk tim untuk mengevaluasi semua pejabat dan pengawalnya. Bagi yang terindikasi berkarakter “keledai” dan/atau lebih parah, maka segera diganti dengan pemilik karakter manusia (manusiawi). Demikian titah khalifah yang arif dan bijaksana.
Dalam tradisi Arab, penggunaan hewan keledai disebabkan hewan ini –pekerja– murah dan meringkik keras bila tak mendapat yang diinginkan. Sosok keledai dianggap hewan berkualitas rendah dan bodoh. Tapi, melalui seekor keledai, Allah menyampaikan pesan pada manusia yang bukan “berkarakter keledai”.
Dalam Al-Qur’an, kata keledai (hewan) setidaknya ditemukan sebanyak 5 kali yang tersebar dalam 5 surat. Kata keledai mengandung pesan dalam makna majazi (perumpamaan) bagi i’tibar. Di antaranya : (1) QS. al-Baqarah : 259 (bukti kuasa Allah yang menghidupkan kembali keledai yang telah mati 100 tahun). (2) QS. al-Jumu’ah : 5 (perumpamaan manusia yang diberi amanah tapi tidak melaksanakannya dan bodoh). Ia bagaikan keledai yang hanya membawa kitab suci, tapi tak pernah bisa membaca, memahami, dan mengamalkan apa yang dibawa. (3) QS. Lukman : 19 (menganalogikan manusia yang katanya seperti suara keledai). (4) QS. al-Isra’ : 101 (bukti kenabian Musa AS melalui keledai yang bisa berbicara). (5) QS. al-An’am : 144 (bukti kebenaran ajaran nabi Ibrahim AS).
Melalui kisah keledai di atas, Abu Nawas menyampaikan pesan moral kepada penguasa (khalifah), antara lain :
Pertama, Sosok khalifah yang bijak akan menghargai nasehat cerdas. Sebab, ia ber-teman dengan orang yang berilmu. Teman yang akan menerangi di tengah kegelapan dan penunjuk jalan kebenaran. Hanya pada sosok khalifa cerdas yang menempatkan teman –dikelilingi manusia– cerdas untuk mengingatkannya melalui nasehat yang bijaksana. Hal ini merupakan manifestasi firman Allah: “Maka dia (Saleh) meninggal-kan mereka sambil berkata: “Hai kaumku, sesungguhnya aku telah menyampaikan kepadamu amanat Tuhanku, dan aku telah memberi nasehat kepadamu, tetapi kamu tidak menyukai orang-orang yang memberi nasehat” (QS. al-A’raf : 79).
Berbeda bila khalifah berkarakter bodoh yang hanya berharap puji dan pundi. Ia hanya mencari teman yang bodoh pula. Ada 2 (dua) alasan cara ini dilakukannya, yaitu : (1) akibat kebodohannya yang tak bisa membedakan “emas dan tembaga”. Disangka emas ternyata besi tua. (2) agar tak jelas terlihat kebodohannya muncul dan diketahui orang. Hal ini disebabkan karena posisi kekhalifahannya diraih bukan melalui meritokrasi (kemampuan), tapi melalui meritocrazy (transaksional).
Akibat kebodohannya tersebut, khalifah mudah diprovokasi fitnah, menempuh jalan kebatilan, benci orang berilmu, dan senang bila dipuji. Semuanya disebabkan karena ia tak memiliki pertimbangan cerdas (akal dan hati), tapi hanya nafsu semata. Kondisi ini diperparah bila hadir “penjilat” yang manis di bibir tapi busuk di hati. Akibatnya, bertemu komunitas yang hanya melakukan rutinitas, menguntai kata pujian yang menggema, dan membawa pundi melimpah. Kebijakan yang diambil tanpa kebijaksanaan dan keputusannya acapkali memupuskan harapan masa depan (tanpa beradab dan berkeadilan).
Kedua, Kinerja kekhalifahan akan lemah bila dikelilingi manusia yang berkarakter “keledai”. Ia tak pernah berfikir untuk maju, kecuali menjual suara lantang tanpa hasil. Hal ini secara tegas dinyatakan Allah SWT melalui firman-Nya : “Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya (tidak mengamalkannya) adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu; dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zalim” (QS. al-Jumu’ah : 5).
Menurut Ibnu Katsir, ayat di atas menjelas-kan bahwa Allah sangat mencela manusia berkarakter keledai. Ia hanya sekedar “membawa kitab” yang tak pernah dijadikan rujukan. Tampil “bak ilmuan”, tapi menyembunyikan banalitas yang membuat-nya tak pantas jadi tauladan. Hadirnya sekedar ada, tapi tak mengerti apa yang akan dikerjakan. Hadirnya hanya sekedar mengejar status, fasilitas, pelesir, flexing, dilayani, dihormati, menumpuk materi, dan lupa mati (QS. al-Qiyamah : 26).
Ketika keledai selesai bekerja (kewajiban), ia menuntut haknya (makan). Berbeda de-ngan manusia berkarakter keledai. Belum melaksanakan kewajiban, tapi sudah berharap haknya. Ada pula yang menuntut hak yang tak sebanding dengan kewajiban. Semua sebatas “tontonan dungu” yang tak pantas jadi panutan, tapi selalu ditiru. Tampil anggun bak manusia sempurna, tapi isinya ternyata hanya keledai. Parsimoni cerdas Abu Nawas, direspon khalifah secara bijaksana. Kritik cerdas bagai jamu yang menyehatkan, bukan dibenci dan dianggap sebagai lawan. Ada 2 (dua) alas-an kehadiran keledai peradaban, yaitu : (1) pengembala mudah menyetir “keledainya”. (2) pengembala merupakan keledai yang memimpin gerombolan keledai pula. Feno-mena ini terlihat ketika ilmuan (ulama) tak lagi dihargai, maka kesalahan akan selalu dibiarkan. Bila ilmuan (ulama) telah diam (cari aman dan posisi), maka umat akan kehilangan arah dan harapan. Bila ilmuan (ulama) telah ikut menyenangi kesesatan, pertanda kiamat begitu dekat.
Meski ayat dan hadis telah hadir lebih 14 abad silam untuk memberi petunjuk pada manusia, tapi pilihan justru semakin keliru dan jauh dari kebenaran. Kekeliruan pilihan yang terjadi hampir disemua sisi-sisi profesi (amanah). Kekeliruan yang –seakan– menjadi tradisi. Anggun dengan keangkuhan untuk memperkokoh ruang kezaliman. Begitu nyata –tapi tak dipeduli–telah menumpuk “upeti dan pungli” untuk membeli santapan dari neraka. Padahal, Allah telah mengingatkan : “Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, …..” (QS al-Baqarah : 188).
Meski ayat begitu jelas, pilihan manusia acapkali tak berubah. Akal dan hati begitu membeku. Untaian ayat hanya bacaan dan ibadah sebatas gerakan. Sedangkan, kejahatan terus dilakukan. Hanya beda waktu, cara, dan pelaku. Tapi, tujuannya selalu sama. Semua terus bergulir, tanpa penyesalan dan penyelesaian. Tak ada tersisa lagi ketakutan atas ancaman-Nya. Mungkin ini maksud firman-Nya pada QS. al-Baqarah: 8. Manusia yang lisannya me-ngaku beriman tapi kenyataan prilakunya kufur. Anehnya, meski semua kemungkar-an begitu nyata, tapi topeng kesalehan dan kuasa membuat orang memujanya dan tak ada yang berani meluruskan.
Hanya tampil sosok “keledai” yang berdecak kagum bila berhadapan, tapi mencibir (bergunjing) bila dibelakang, serta lari (menyelamatkan diri) bila diminta pertanggungjawaban. Sebab, semua hanya berharap sejuta kepentingan dan takut bila tak mendapat “bagian” semata. Ketika kepentingan telah diraih dan “bagian” diperoleh, semua membisu dan lidah pun kelu. Hanya tersisa senyum dan anggukan –tanda– setuju”. Sirna sudah idealisme, tertutup akal, terkubur kebenaran, dan agama sebatas topeng. Semua membisu dan “terpesona” oleh kenikmatan posisi. Padahal, tanpa disadari –atau sadar– ia telah menjadi seekor keledai dungu yang munafik, berselimut kesalehan untuk menutupi ambisi kesalahan tak bertepi. Hanya tersisa munajat penuh harap yang hamba panjatkan, “Yaa Allah, lindungi hamba dan semua zuriyatku dari fitnah dan murka-Mu”. Aamiin.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Prof Samsul Nizar adalah Guru Besar IAIN Datuk Laksemana Bengkalis
Recent Comments