“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawaban.”
(QS. Al-Isrā’: 36)
1. Kebenaran yang Tertimbun oleh Tradisi.
Kalimat di atas mengguncang banyak hati:
“Kamu tidak mengikuti Yesus, kamu mengikuti versi Yesus menurut seseorang.”
Pernyataan itu, meski tajam, mengandung kejujuran intelektual yang dalam. Sebab sejarah agama memang menunjukkan bahwa antara yang asli dan yang diajarkan, sering kali ada jarak panjang. Yesus — Isa al-Masih dalam bahasa Islam — tidak pernah menulis kitab. Semua yang kita kenal tentang dirinya datang dari cerita orang lain, ditulis puluhan tahun setelah wafatnya, melalui tangan manusia yang tak luput dari bias, kepentingan, dan tafsir.
Dari sinilah muncul pertanyaan eksistensial yang harus dijawab oleh setiap pencari kebenaran:
“Apakah yang aku yakini hari ini sungguh berasal dari Tuhan, atau hanya warisan dari manusia?”
2. Kebenaran yang Disaring oleh Dewan
Sejarah mencatat — berabad-abad setelah wafatnya Isa, berbagai kelompok Kristen mula-mula saling berselisih tentang siapa Yesus sebenarnya. Apakah dia Tuhan? Anak Tuhan? Nabi? Atau simbol kasih ilahi?
Lalu datanglah dewan-dewan gereja yang menentukan kitab mana yang dianggap suci, dan mana yang disebut sesat. Keputusan-keputusan itu menjadi fondasi Alkitab modern yang dikenal sekarang.
Tetapi, pertanyaannya: apakah kebenaran bisa ditentukan lewat voting manusia?
Apakah kebenaran Ilahi tunduk pada kesepakatan mayoritas?
Kebenaran sejati tidak lahir dari rapat, tetapi dari wahyu yang terjaga. Allah menegaskan:
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.”
(QS. Al-Ḥijr: 9)
3. Di Antara Ribuan Versi Yesus.
Kini ada lebih dari 45.000 denominasi Kristen — masing-masing mengklaim kebenaran, tapi menafsirkan Yesus secara berbeda. Satu berkata Yesus adalah Tuhan, yang lain berkata ia hanya utusan, yang lain lagi menafsirkannya sebagai roh kasih semesta.
Pertanyaannya: Bagaimana mungkin kebenaran Tuhan berubah sebanyak versi manusia yang menafsirkannya?
Isa al-Masih sejati — sebagaimana disebut dalam Al-Qur’an — bukanlah sosok mitologis, bukan pula dewa yang menjelma manusia. Ia adalah utusan Allah yang mulia, membawa pesan tauhid dan kasih sayang. Ia tidak meminta disembah, tapi mengajarkan untuk menyembah hanya Allah.
“Sesungguhnya Allah adalah Tuhanku dan Tuhanmu, maka sembahlah Dia, inilah jalan yang lurus.”
(QS. Maryam: 36)
4. Kembali ke Sumber yang Otentik
Di dunia yang penuh tafsir dan manipulasi, tugas manusia beriman adalah mencari sumber yang otentik — bukan mengikuti versi yang dibentuk oleh sejarah atau institusi.
Kebenaran yang sejati tidak memerlukan promosi, sebab ia bersinar dengan cahayanya sendiri.
Seperti matahari, ia tidak perlu pembelaan; cukup dibuka tirainya, maka teranglah seluruh langit.
Al-Qur’an datang bukan untuk menghapus ajaran Yesus, tetapi untuk mengembalikannya kepada kemurnian asal. Menegakkan kembali pesan tauhid yang dia bawa — bahwa hanya Allah yang layak disembah.
5. Menjadi Pencari Kebenaran yang Jujur.
Kebenaran tidak dimonopoli oleh lembaga, mazhab, atau denominasi. Ia adalah cahaya yang hanya tampak bagi hati yang jujur dan rendah diri.
Maka, jangan takut mencari. Jangan puas dengan warisan keyakinan tanpa verifikasi.
Kebenaran hakiki hanya dapat ditemukan ketika seseorang berani berkata:
“Aku ingin mengenal Tuhan bukan dari kata orang, tapi dari firman-Nya yang asli.”
6. Penutup — Jalan Pulang Menuju Cahaya,
Mungkin banyak versi tentang Yesus, tetapi hanya satu kebenaran tentang Tuhan.
Dan kebenaran itu abadi, murni, tidak berubah oleh waktu atau manusia.
Ia bukan sekadar ajaran, tapi petunjuk hidup. Ia bukan sekadar ide, tapi cahaya yang menuntun jiwa.
“Dan Katakanlah: ‘Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barang siapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir.’”
(QS. Al-Kahfi: 29)
Kutipan Penutup :
“Kebenaran sejati bukanlah suara yang paling keras, tapi cahaya yang paling jernih. Ia tak lahir dari debat, tapi dari kejujuran hati yang tunduk pada Ilahi. Maka carilah bukan siapa yang paling benar, tapi apa yang paling otentik dari Tuhan.”
JASMAN JAIMAN
Recent Comments