Selain dalam konteks musik, kata “simfoni” boleh dimaknai secara metaforis. Kata ini menggambarkan kombinasi berbagai elemen yang harmonis dan padu. Simfoni kehidupan merujuk pada harmonisasi berbagai pengalaman, ilmu, agama, adat, dan emosi dalam hidup seseorang yang saling berinteraksi.

Simfoni kehidupan akan indah bila berbagai instrumen yang berbeza menghasilkan nada dan irama yang harmonis. Semua tergantung kondektur yang memimpin simfoni (orkestra).

Bagaikan sekujur tubuh, seluruh organ berbeza bentuk dan fungsi. Kesemuanya harmonis melakukan prilaku (baik atau buruk) tergantung pada akal dan hati si pemilik tubuh. Ketika semua komponen diarahkan pada kebaikan, maka bermuara pada kebaikan. Demikian pula sebaliknya.

Dalam konteks NKRI, simfoni negara harus dibangun sesuai acuan Pancasila. Kelima sila tersebut bagaikan nada-nada yang saling mengisi dan berkaitan. Irama kelima sila mengisyaratkan langkah dan tujuan negara. Harmonisasi kelima sila mem-bangun satu kesatuan yang menghasilkan senandung harapan anak bangsa. Namun, bila nada simfoni telah sumbang dan tak dihiraukan, maka orkestra yang mainkan akan hancur berantakan.

Pancasila bagaikan lima jari. Meski beza bentuk dan ukuran, tapi saling berinteraksi. Bila kelimanya bersama akan menghasil-kan kekuatan yang mampu menguncang dunia. Namun, ketika salah satu hilang dan terkebiri, maka kekuatan tangan akan terbatas dan berkurang.

Aransemen kelima sila Pancasila menjanjikan simfoni yang harmonis dalam menata gerak irama ke-merdekaan (Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan). Bila hal ini terjadi, maka akan hadir irama kemerdekaan yang mensejahterakan, berkeadilan dan berperadaban. Irama yang melahirkan rasa kebahagian bagi semua rakyat NKRI.

Sebab, irama kelima sila menjadi ruh dan ruang gerak hakiki langkah kemerdekaan. Namun, bila kelima sila dibenturkan satu sama lain, dikebiri, atau diamputasi, maka lahir irama sumbang yang memekakkan telinga dan menyakitkan seluruh “tubuh” NKRI. Tak ada kebahagiaan yang dihasilkan, kecuali “emosi keserakahan” yang menggelegar melihat muslihat kondektur dan pemain (oknum) yang berbuat serampangan dengan “membonsai” –semua– sila yang ada. Ketika ini terjadi, maka tujuan kemer-dekaan hanya sebatas slogan dan mimpi.

Bagi bangsa Indonesia, hakikat kemerdekaan memiliki tujuan luhur dan mulia. Tujuan yang dicengkeram erat di kaki burung Garuda (Bhinneka Tunggal Ika) untuk bersama mencapai “janji bangsa” yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu untuk “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial”. 

Tujuan di atas secara terperinci hadir pada nada-nada setiap sila Pancasila. Harmonisasi semua nada tersebut menjadi ruh dan pedoman dalam penyelenggaraan negara dan kehidupan bermasyarakat. Dengan demikian, terlihat jelas kaitan simfoniPancasila dengan irama kemerdekaan. Bila akurasi simfoni sesuai cita-cita, maka irama mengisi kemerdekaan akan nyata.

Untuk itu, terbangunnya simfoni Pancasila menjadi syarat terwujudnya irama kemerdekaan. Ketika kelima sila terintegrasi dan “dimainkan” (dipedomani) oleh kondektur (penguasa), seluruh pemain orkestra (aparat), dan penonton (rakyat), maka irama kemerdekaan akan harmonis guna menghadirkan  ketenangan dan kebahagia-an. Namun, bila setiap anggota simfoni hanya mengedepankan kepentingan pribadi, bangga pada “asssories dan alat musik” yang dimainkan, serta tampil anggun “dipanggung sandiwara” untuk mendapatkan simpatik, maka simponi akan berantakan dan irama akan sumbang. Dentuman irama memekakkan telinga dan gerakan anggota simponi yang menyakitkan setiap mata yang melihatnya.

Kini, negeriku telah 80 tahun merdeka. Selama ini, simponi Pancasila masih terjaga. Namun, irama kemerdekaan belum berjalan maksimal sesuai cita-cita. Sebab, masih ada sejumlah pemain yang tak memiliki kepiawaian mengharmoniskan kelima sila Pancasila dengan baik dan benar. Ada beberapa kemungkinan hal tersebut terjadi, antara lain : (1) pemain tak menguasai alat musik yang diamanahkan, tapi ingin menjadi bagian orkestra. (2) hadir “pemain titipan” yang berupaya merusak harmonisasi kelima sila. (3) ketidaktahuan pemain atas semua alat musik. (4) ada pemain yang faham tangga nada, irama, dan improvisasi Pancasila, tapi tak memperoleh ruang dan kesempat-an. (5) tampil kondektur yang “memaksa-kan diri”. Sosok kondektur yang miskin pengetahuan dan iman tapi bernafsu tampil kepermukaan. Tampil berlagak membangun atau menjaga harmonisasi kelima sila Pancasila, tapi berprilaku mem-bonsai Pancasila. Akibatnya, komposisi menjadi kacau dan tujuan tak mampu tercapai. Anehnya, sosok kondektur “bagi-bagi upeti” hadir mendominasi. Sementara kondektur yang mengerti (amanah) tak pernah dipeduli. Prilaku yang demikian secara tegas dikutuk oleh Allah dan Rasul-Nya. Hal ini terlihat pada firman-Nya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad), dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui” (QS. al-Anfal : 27)

Menurut tafsir Jalalain, ayat di atas berisi larangan keras prilaku yang mengkhianati Allah, Rasulullah, dan amanah yang diberikan. Bila pengkhianatan tetap dilakukan, maka sungguh pembangkangan yang nyata. Hal ini diingatkan Rasulullah melalui sabdanya : “….. Jika suatu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya” (HR. Bukhari dan Muslim).

Ketika ayat dan hadis di atas yang begitu jelas tapi dianggap “angin lalu”, maka ber-arti pengkhianatan sedang dilegalkan dan berharap murka-Nya datang. Secara sadar tampil angkuh pengingkar al-Quran dan sunnah. Bila hal ini tetap dilakukan, bagaimana mungkin mengaku hamba Allah yang berharap surga-Nya dan umat Muhammad yang berharap syafaatnya. Tak ada yang tersisa kecuali gerak nafsu untuk terus memainkan simponi sumbang untuk menutupi kemungkaran.

Mungkin fenomena ini maksud dari firman-Nya : “Di antara manusia ada yang berkata, ‘Kami beriman kepada Allah dan hari Akhir’, padahal sesungguhnya mereka itu bukanlah orang-orang yang mukmin (beriman)” (QS. al-Baqarah : 8).

Sungguh, kelima penyebab hilangnya ruh simponi Pancasila sebagai acuan irama kemerdekaan di atas semakin diperparah bila semua pendengar (penonton) tak memahami (akal) dan memiliki rasa (hati) atas kelima sila Pancasila. Semua menari sesuai keinginannya bak “orang hutan” dan segelintirnya “masa bodoh” dengan kegilaan yang terjadi. Fenomena ini muncul ke-tika semua elemen memahami kemerdekaan pada ruang “kebebasan tanpa ruh”. Akibatnya, Pancasila sebatas “slogan”. Padahal, kemerdekaan bangsa Indonesia perlu merujuk pada Pacasila –secara total–sebagai pedoman. Tanpa pedoman, maka kemerdekaan sebatas “menghalalkan” kebebasan tanpa aturan. Bila hal ini terjadi, maka terbangun ruang pengkhianatan atas tujuan kemerdekaan. Saling berebut posisi tanpa prestasi, tampil shaleh tapi salah, berkuasa tanpa asa, bergaya menjaga tapi menjagal (pagar makan tanaman), tampil membangun peradaban tanpa adab, dan varian prilaku kemunafikan lainnya.

Fenomena praktik KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) mewabah tak terbendung. Virus nista yang menular dan berkembang subur. Hanya beza defenisi dan pelakunya, tapi tetap sama secara substansi. Semua terjadi kasat mata dan seakan menjadi pemandangan “biasa dan lumrah”. Semua seakan tak ingin berubah. Tujuan “aji mumpung” untuk memperkaya diri dan kolega. Hilang rasa malu dan lupa janji mengatasnamakan Allah yang diikrarkan. Kelak, Allah akan lupa pada dirinya. Pada waktunya bumi dan semesta akan “berkata” dengan memuntahkan murka-Nya. Sebab, alam telah lama memendam amarah atas keserakahan manusia di muka Bumi yang telah melampaui batas.

Sungguh, sejarah penjajahan kolonialisasi Belanda dan pendudukan Jepang perlu menjadi cermin. Bagaimana tujuan dan prilaku penjajah atas elemen jajahannya. Tujuannya hanya memperkaya diri dengan mengeruk semua yang ada di negeri jajah-annya. Cerminan atas fenomena prilaku selama 80 tahun kemerdekaan NKRI. Meski hanya dilakukan segelintir oknum, tapi dampaknya begitu luas dan masif. Prilaku yang sulit “disentuh” bak hantu, pelaku anggun yang sulit dipercaya (tampil shaleh tapi salah), dan sulit diurai karena melebihi kusutnya sarang laba-laba.

Wahai leluhur kesatria bangsa. Engkau hibahkan jiwa dan ragamu. Niat ikhlas untuk tujuan suci bagi kemerdekaan NKRI. Maafkan aku tak mampu banyak berbuat untuk mewujudkan asamu. Tulisan ini kugoreskan untuk mengingatkan setiap diri untuk mengerti makna kemerdekaan. Tanda ingat pada semua pejuang NKRI. Wahai para pahlawan, engkau tak pernah minta dihormati dan dihargai. Tapi tak beradab bila kami melupakan, khianat, dan mengangkangi semua asa perjuanganmu. Sungguh, telah kering air mata dan sebak dada ini melihat semua tingkah pongah pengkhianatan atas Pancasila dan tujuan NKRI. Hanya tersisa doa yang kupanjatkan pada-Nya untuk para pahlawan. Namamu tertulis indah oleh penduduk langit, meski dihapus penduduk bumi. Objek bualan para malaikat, meski dilupakan penduduk bumi. Allah jadikan perjuanganmu yang ikhlas sebagai ladang amal penerang di alam barzah. Dirgahayu negeriku yang ke-80 (1945-2025). Sang merah putih terus berkibar menembus awan. Sekali layar terkembang, pantang biduk surut kembali. Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.***

Prof Samsul Nizar adalah Guru Besar IAIN Datuk Laksemana Bengkalis

Sumber: riaupos.jawapos.com

_____________________________________________________________________________________________________

Perhatian sebentar…

Kami berusaha gigih menyebarkan ilmu dan menyediakan bahan bacaan bermanfaat secara percuma untuk semua lapisan masyarakat. Usaha ini akan terus diteruskan selaras dengan misi kami memperkasa pengetahuan dan kefahaman ummah.

Namun, menyediakan bacaan dan program ilmu secara percuma memerlukan kos yang berterusan. Kami amat mengalu-alukan sumbangan anda bagi memastikan usaha ini dapat diteruskan dan dikembangkan.

Tidak seperti organisasi besar yang dibiayai pihak berkepentingan, PERTUBUHAN KEARIFAN ISLAM MALAYSIA (OMIW) berdiri secara bebas, demi memastikan setiap perkongsian ilmu kekal bersih daripada pengaruh politik atau agenda tertentu.

Kini, kami memerlukan sokongan anda. Walaupun kami memahami tidak semua berkemampuan, sumbangan sekecil RM1 pun amat bermakna. Dengan sokongan anda, lebih ramai akan mendapat manfaat daripada program dan bahan bacaan percuma yang kami sediakan.

Salurkan sumbangan anda ke:
PERTUBUHAN KEARIFAN ISLAM MALAYSIA
No. Akaun: 8602859886 (CIMB BANK)

Sokongan anda adalah pelaburan untuk manfaat ilmu yang berkekalan. Terima kasih kerana bersama kami dalam perjuangan ini.

Translate »