Tanpa terasa, Ramadan 1445 H kembali hadir menemui hamba pilihan, yaitu hamba pemilik iman. Ungkapan syukur tiada terkira diberi kesempatan bertemu kembali dengan bulan keberkahan untuk menambah perbekalan (amal) sebelum melakukan perjalanan panjang (kematian).
Bagi hamba yang mengerti dan bijak, hadirnya Ramadan disambut dengan kesyukuran dan kebahagiaan tiada terhingga. Kehadiran yang menggetarkan keimanan. Getar gemuruh iman yang membangunkan rindu tatkala bertemu kembali dengan Ramadan bulan yang mulia dan dimuliakan-Nya.
Kegembiraan hamba dengan hadirnya Ramadan dilakukan melalui berbagai cara.
Ada yang menyambut dengan melaksanakan rangkaian ibadah sunat selama Rajab dan Syakban, melakukan salat taubat, tradisi ziarah kubur, tradisi doa “ruwahan”, sampai tradisi “mandi balimau”.Terlepas perbedaan pendapat yang muncul, pada hakikatnya semua yang dilakukan sebagai bentuk kebahagian untuk memuliakan bulan keberkahan.
Ada beberapa sikap hamba beriman yang rindu bulan Ramadan, antara lain :
Pertama, Bahagia dan suka cita tatkala bersua Ramadan kembali. Kebahagiaannya bukan sebatas tampilan lahiriah, tapi gemuruh batin yang senang dan harapan penuh kerinduan. Sebab, tak semua hamba yang diberi kesempatan bertemu kembali dengan bulan Ramadan. Betapa banyak saudara atau keluarga yang tahun lalu bersama melaksanakan aktivitas puasa, namun tahun ini telah tiada atau mungkin masih ada tapi tak bisa lagi melaksanakan ibadah puasa karena terhalang oleh kondisi kesehatan.
Namun sayangnya, tersisa segelintir hamba yang diberikan kesempatan untuk bersua dengan bulan Ramadan, tapi hampa nilai. Bahkan, sebagian ada pula yang tak mengharapkan hadirnya Ramadan. Indikasinya, meski bulan mulia tersebut telah hadir, namun tak membuatnya tergerak melaksanakan dan mengisi amaliah Ramadan. Kehadirannya dianggap sebatas rutinitas tanpa ketundukan. Padahan, kehadirannya disediakan Allah kepada manusia dengan keberkahan yang tak terhingga. Hal ini dinyatakan Rasulullah melalui sabdanya: “Telah datang kepada kalian bulan yang penuh berkah, diwajibkan kepada kalian ibadah puasa, dibukakan pintu-pintu surga dan ditutuplah pintu-pintu neraka serta setan-setan dibelenggu. Di dalamnya terdapat malam yang lebih baik dari seribu bulan. Barangsiapa yang tidak mendapatkan kebaikannya berarti ia telah benar-benar terhalang atau terjauhkan (dari kebaikan)” (HR. Ahmad).
Meski hadis di atas masih menyisakan perdebatan atas kualitasnya, namun ruhnya menjadi pembangkit motivasi keberagamaan hamba. Bahkan, motivasi yang disampaikan menjadi cermin untuk melihat kualitas amaliah diri. Andai ramadhan tak mampu menggetarkan hati dan merubah perilaku, maka perlu diper-tanyakan asal dan akhir kejadianya kelak. Atau hingar bingar dunia membuatnya lupa batas akhir masanya di dunia ini. Begitu tebalkah dinding diri dan kerasnya hati sehingga tak mampu ditembus oleh Ramadan. Atau, semua keutamaan dan kemuliaan Ramadan yang dinyatakan Allah dan Rasul-Nya telah dikangkangi dan tak lagi dipedomani. Seyogyanya, hamba bijak yang beriman perlu berpikir ulang atas kesempatan yang diberikan-Nya dengan menghadirkan ramadhan tahun ini sebagai ramadhan terbaik yang diperuntukkan pada Allah. Sebab, bagi hamba yang bijak dan beriman, ia akan memaksakan dirinya meraih surga-Nya, tanpa pernah sukarela menuju neraka-Nya. Namun, bagi hamba munafik, keinginan hati masuk surga tapi perilaku sanggup mengeluarkan biaya besar untuk bisa masuk neraka.
Kedua, Bersihkan diri menuju bulan yang suci. Ramadan bulan yang suci untuk mendekatkan diri kepada Allah melalui peningkatan ibadah. Sebab, ia memiliki banyak keberkahan yang disediakan untuk hamba-Nya. Untuk itu, sebelum masuk bulan yang suci, hamba perlu mensucikan diri terlebih dahulu. Sebab, kesucian Ramadan akan terjaga pada hamba yang suci. Kesucian bisa dilakukan melalui taubat an-nasuha, mandi sunat, dan saling memaafkan. Tradisi ini sebagian besar telah dilakukan dalam tataran syariat dan adat. Namun, sebagian lagi belum sampai pada tataran keikhlasan yang hakiki. Akibatnya, masih tersisa kotoran hati yang menghalangi bertemunya ibadah hamba dengan kesucian Ramadan.
Ketiga, Berdialog bersama Ramadan. Sebab, Ramadan bukan sebatas melaksanakan aktivitas menahan haus dan lapar, serta ibadah-ibadah lainnya. Tapi, kehadiran Ramadan seyogyanya digunakan sebagai media berdialog dengan-Nya secara lebih intens. Ketika hamba mampu berdialog dengan-Nya selama ramadhan, maka ia akan mampu menangkap pesan, keutamaan, dan manisnya Ramadan. Hal ini dinyatakan Rasulullah melalui sabdanya :“Barangsiapa berpuasa Ramadan karena iman dan mengharap pahala (kasih sayang *pen) dari Allah, niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu” (HR. Muttafaq ‘Alaih).
Sungguh, Ramadan akan menyuguhkan hidangan kemuliaan dan ampunan-Nya. Rangkaian ibadah syariat, baik mahdhah dan ghairu mahdhah terhampar untuk dinikmati (dilakukan). Semua ibadah akan dimuliakan dan dilipat gandakan. Hal ini dinyatakan Rasulullah dalam hadis qudsi: “Setiap amalan kebaikan yang dilakukan oleh manusia akan dilipat gandakan dengan sepuluh kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus kali lipat. Allah SWT berfirman : ‘kecuali amalan puasa. Amalan puasa tersebut adalah amalan untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya. Disebabkan manusia telah meninggalkan syahwat dan makan karena Ku’. Bagi orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kebahagiaan, yaitu kebahagaiaan ketika berbuka puasa dan kebahagiaan ketika bertemu Rab-nya. Sungguh, mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah yang berasal wanginya minyak kasturi” (HR. Bukhari dan Muslim).
Begitu istimewa bulan Ramadan, bulan “munajat rahasia” hamba pada Khaliqnya. Setiap amaliah langsung dinilai oleh Allah. Sebab, semua amaliah hamba dapat dilihat oleh sesama, kecuali puasa. Meski demikian, jangan berhenti pada dialog syariat. Pahami pesan yang disampaikan atas ibadah syariat yang dilakukan. Melalui cara ini, hamba akan mampu berdialog dengan ramadhan secara baik. Keberhasilan untuk berdialog dengan-Nya dan seluruh media ramadhan, maka hamba akan memperoleh isi dan manisnya hakikat Ramadan.
Tapi, bila hamba tak mampu berdialog dengan-Nya dan Ramadan, maka ia akan merugi. Jangan hanya memahami maunya diri, tapi tak memahami maunya Ilahi. Untuk itu, jangan kecewakan Allah dengan keangkuhan diri dan mensia-siakan kesempatan ketika menemui Ramadan. Pahami hakikat puasa dan hadirkan puasa dalam seluruh gerak diri. Isi seluruh pori-pori dengan hakikat (inti) ramadhan. Hanya manusia bermental kerbau yang menjadikan Ramadan sebatas asesoris. Perilaku ini akan membuat Ramadan tak akan memberi pengaruh akibat bekunya hati, jahilnya akal, dan kokohnya keang-kuhan. Sikap ini akan membuat Ramadan hadir secara sia-sia. Hal ini diingatkan Rasulullah melalui sabdanya: “Berapa banyak orang yang berpuasa, tidak men-dapat pahala puasa kecuali hanya lapar dan hausnya saja. Berapa banyak orang yang bangun malam, tidak mendapat pahala kecuali hanya bangun malamnya saja” (HR. an-Nasai dan Ibn Majah).
Hadis di atas menegaskan sikap manusia yang beribadah secara sia-sia. Sikap ini hadir disebabkan ketidakmampuan memahami inti ramadhan. Aktivitas zahirnya seakan amaliyah hamba yang shaleh, tapi pada isinya melakukan kesalahan. Bak kata pepatah “tong kosong nyaring bunyinya”. Tampilannya demikian mengagumkan, tapi ternyata menyimpan kezaliman yang tak bertepi. Akibatnya, nilai puasa yang dilakukan hanya sebatas rutinitas (kulit), tanpa kualitas (isi vitamin).
Namun, bagi hamba yang “berdialog” dan berinteraksi dengan ramadhan, rutinitas (syari’at) yang dilaku-kan akan diiringi dengan kualitas (hakikat) penghambaan. Dialognya dengan ramadhan tak pernah kehabisan kata dan interaksi yang menghadirkan kebahagiaan. Meski Ramadan akan berlalu sesuai sunnatullah, namun suasana Ramadan tetap selalu dipertahankan. Kehangatan nikmatnya Ramadan tetap begitu terasa pada sebelas bulan kedepan. Bagi hamba yang menikmati ramadhan, sebelas bulan ke depan serasa tetap Ramadan. Bagaikan nilmatnya dialog Sayidina Ali bin Abi Thalib dengan Allah melalui salat. Kenikmatan dialog yang membuatnya tak merasakan sakit sedikit jua tatkala panah yang menembus dicabut dari tubuhnya.
Keempat, Memeluk erat Ramadan agar tak lepas dan terpisah. Memeluk Ramadan bukan sekadar melaksanakan rangkaian ibadah syariat, tapi mengisi ruang gizi bagi tumbuhnya adab diri melalui pendekatan hakikat. Hamba yang mampu memeluk Ramadan akan terlihat pada kesucian diri (spritual qustion), emosi dan nafsu yang terkendali (emotional question), suburnya kepedulian atau kepekaan sosial (social quetion), intelektual yang mencerdaskan (intelectual question), dan saling meng-hargai penuh tawadhu’ (sense humanity question).
Hamba yang mampu menikmati puasa yang benar akan menginginkan ramadhan agar tak pernah berlalu. Hal ini dinyatakan Rasulullah melalui sabdanya: “Seandainya umat manusia mengetahui pahala ibadah di bulan Ramadan, maka niscaya mereka akan meminta agar satu tahun penuh menjadi Ramadan.” (HR. Tabrani, Ibnu Khuzaimah dan Baihaqi).
Meski demikian mulia Ramadan dihadirkan Allah, namun acapkali Ramadan sebatas rutinitas. Ramadan hanya sebatas pengalihan jadwal makan dan minum, tanpa pesan dan kesan sedikit jua. Ada pula yang menjadikan Ramadan sebatas aktivitas amaliah yang tak pernah mampu mengubah karakter diri. Sungguh, tanda diterimanya amal adalah wujud kebaikan selanjutnya. Sebaliknya, tanda ditolaknya amal tatkala berkelanjutan keingkaran yang dilakukan.
Ramadan bagaikan air yang meresap keseluruh tanaman yang tak lupa pada air dan tanah. Tapi, bila tanaman lupa diri dan lebih senang pada kilauan marmer yang mengkilap, maka akarnya tak mampu menghunjam dan kehadiran air tak mampu dirasakan. Akibatnya, tanaman akan mati atas euforianya akibat sikapnya melupakan Bumi (tanah). Apa yang terjadi pada tanaman yang lupa tanah juga bisa terjadi pada seluruh makhluk yang ada di muka Bumi. Semua akan hancur tatkala ia melupakan asal kejadian dan akhir kehidupannya.
Dalam beribadah (terutama di bulan Ramadan), bagi hamba yang beradab, ia tak akan pernah “berhitung dan menghitung” amaliah yang dilakukannya. Sebab, tak ada waktu baginya menghitung pahala amalannya selama Ramadan. Waktunya juatru habis hanya untuk menghitung dosanya. Ia hanya ingin bersama bulan Ramadan untuk mengharap ampunan dan cinta-Nya semata. Ia jadikan ramadhan sebagai media membangun jembatan kebersamaan dengan Allah dan Rasul-Nya.
Demikian asyik dan bahagianya hamba yang mampu menikmati Ramadan. Ia hanya sibuk menikmati manisnya, sehingga puasa mampu melatih totalitas dirinya senantiasa terkendali. Sementara ada segelintir hamba hanya mampu menampil-kan kesibukan ber-euforia dengan makan ampasnya belaka. Sebab, aktivitas puasa yang dilakukan hanya pada tataran lahiriah (menahan makan dan minum) semata. Sementara aspek diri yang lainnya (akal, hati, panca indera, jasmani dan rohani) ia lepaskan secara bebas dan brutal tanpa kendali, bahkan melampaui batas sebagai manusia. Andai hal ini yang terjadi, maka binasalah diri dan punahlah peradaban di muka Bumi. Kusisipkan syair harap pinta pada-Nya :
Marhaban Yaa Ramadan
Ramadan, hadirmu kunantikan
kurangkai rindu yang menggebu
ku ketuk pintu langit tanpa lupa Bumi tempat berpijak
kupanjatkan munajat berharap cinta
Taut rindu pada Allah dan Rasul-Nya Aamiin yaa Robbi penguasa alam semesta.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.***
Oleh: Prof Samsul Nizar (Guru Besar STAIN Bengkalis)
Sumber : riaupos.jawapos.com
Recent Comments