Istilah titik nol selalu dikaitkan dengan ukuran jarak patokan wilayah. Beberapa kota (wilayah) yang menggunakan titik nol kilometer antara lain : Sabang, IKN (Kalimantan Timur) sebagai titik nol nusantara, Merauke, dan semua kota yang menjadikan kata titik nol sebagai pusat hitungan wilayahnya. Hampir semua berkeinginan untuk sampai di wilayah titik nol. Sejuta cerita, bangga, dan rasa bahagia hadir tatkala ia bisa menginjakkan kaki di wilayah titik nol.
Sementara, ada wilayah titik nol yang terlupakan dan alpa untuk dikunjungi. Padahal ianya hadir pada persoalan diri manusia. Sebab, pada dasarnya titik nol merupakan fitrah setiap hamba sebagai pengakuan atas keterbatasan (dhaif) diri dan mengharap pertolongan Allah SWT. Namun, pada tataran realita, titik nol fitrah acapkali diingkari dan dilupakan dari kajian atau renungan diri. Ada beberapa fenomena titik nol yang terjadi, antara lain :
Pertama, Konsistensi titik nol (fitrah) manusia. Bagi hamba pemilik sifat ini, maka derajatnya akan diangkat pada posisi kemuliaan dan dimuliakan-Nya. Sandaran totalitas dirinya merupakan wujud pengakuan la haula wa la quwwata illa billah. Konsistensi ini hanya dimiliki pada hamba yang dipilih-Nya. Hamba pada tingkat ini akan menjadikan seluruh gerak dan nafasnya merupakan untaian senandung asma-Nya, takdir yang terjadi merupakan cinta-Nya, putusan terbaik merupakan ridho-Nya, kelapangan hidup merupakan nikmat-Nya, dan kenikmatan hidup tatkala selalu bersama-Nya.
Bagi manusia yang mampu menjaga konsistensi titik nol pada dirinya, maka semua yang terjadi akan dikembalikan sebagai cinta Allah semata. Putusan terbaik menurut Allah bagi hamba-Nya. Sementara respon hamba senantiasa berbaik sangka atas ketetapan-Nya. Pasti disebalik semua, ada rahasia Allah yang belum mampu diungkap. Semua tertuju sebagai karunia-Nya bagi hamba yang mengharap cinta-Nya. Tersemat asa tak pernah padam, bahwa meski penduduk bumi melupakan dan mencoba menghilangkan jejak kehadir-annya, tapi yakin diri bahwa seluruh penduduk langit tak akan pernah lupa dan selalu menantikan karya penghambaanya. Demikian damai dan beruntung pribadi yang mampu mempertahankan titik nol pada dirinya secara konsisten. Hadir dalam titik-Nya Yang Maha Tunggal. Hanya harap pinta pada Yang Maha Kuasa, semoga diri ini bagian dari hamba yang dijanjikan memperoleh kemuliaan-Nya.
Kedua, Titik nol penghambaan yang mengalami fluktuasi. Titik nol dimensi ini hanya membangunkan kesadaran sebagai hamba (mengingat Allah) pada saat musibah menimpa. Tapi, ia akan kehilangan titik nol pada saat mendapatkan nikmat dunia. Hal ini terjadi pada semua manusia, tanpa melihat status sosial, pendidikan, bahkan amaliah yang dilakukannya. Fenomena kehadiran titik nol acapkali terjadi tatkala musibah atau ancaman yang menimpa diri seseorang. Apakah musibah yang akan terjadi, sedang terjadi, atau telah terjadi. Ketika kondisi ini, manusia berada pada posisi titik nol.
Di antara fenomena titik nol ketika musibah (ancaman) akan terjadi dan/atau terjadi dapat dilihat tatkala manusia meng-alami goncangan ketika sedang menaiki kendaraan (laut, darat atau udara). Situasi yang mencekam dan sangat kritis. Ketika hal ini terjadi, serentak semua ingat dan berteriak asma Allah. Demikian pula ketika musibah alam (gempa bumi, letusan gunung merapi, banjir bandang, tsunami, dan lainnya), semua secara spontan ingat dan berucap Yaa Allah. Meski sebelumnya kata mulia ini jarang terucap dan keluar dari mulutnya. Namun, tatkala kondisi psikologis mencekam, manusia berada pada titik nol begitu fasih dan nyaring melantunkan asma-Nya.
Ternyata, kondisi kritis membuat hadirnya titik nol yang menyadarkan manusia atas kelemahan diri dan keagungan Allah SWT Yang Maha Penolong. Manusia sadar atas ketakberadayaannya dengan membangunkan kesadaran sebagai hamba yang lemah dihadapan Allah SWT. Hal ini mengingatkan fitrahnya terhadap firman-Nya : “Hanya kepada Engkau kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan” (QS. al-Fatihah : 5).
Hal ini dinukilkan pada ayat lain, melalui firman-Nya : “Musa berkata kepada kaumnya, “Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah. Sesungguhnya bumi (ini) milik Allah. Dia akan mewariskannya kepada siapa saja yang Dia kehen-daki di antara hamba-hamba-Nya. Kesudahan (yang baik) adalah bagi orang-orang yang bertakwa” (QS. al-A‘raf : 128).
Hadirnya kesadaran titik nol model ini menunjukkan masih tersisa keimanan pada diri manusia. Meski eksistensinya hadir tatkala kondisi mencekam dan kembali alpa pada saat nikmat diperoleh.
Namun, ketika berada di luar titik nol, pemilik tipikal ini selalu melupakan-Nya, seiring hadir kesewenangan pada sesama dan alam semesta. Andai asesories agama terkadang dibawa, tapi semua hanya sekedar menutupi perilaku sebenarnya yang “mengangkangi” ayat-ayat-Nya.
Ketiga, Titik nol yang mengalami kemunduran dan punah. Kondisi ini merupakan musibah, bersamaan rusaknya akal dan hati dalam membangun berperadaban. Secara alamiah (sunnatullah), manusia tumbuh dan berkembang sesuai deret ukur dan deret hitung, baik jasmani dan rohaninya. Pada titik nol, jasmani dan rohani manusia belum berfungsi secara baik. Namun, ruhnya mampu berinteraksi dan berjanji dengan Allah SWT. Hal ini dinyatakan dalam firman-Nya : “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap roh mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini” (QS. al-A’raf : 172).
Seiring waktu, Allah menyempurnakan gerak dinamis dari titik nol menuju batas kesempurnaan sebagai hamba-Nya. Melalui dinamika dan potensi yang ada, manusia mampu membangun peradabannya. Demikian normalitas peradaban yang terjadi pada manusia secara umumnya.
Namun, teori dinamika manusia tak semua berjalan sesuai sunnatullah. Ada kalanya segelintir manusia berkembang dinamis secara jasmani, namun rohani (akal dan hati) bergerak mundur ke titik awal kembali. Bukan titik nol menuju fitrah-Nya, tapi titik awal menuju pada perilaku bak belum memiliki akal dan hati yang sempurna (aqil baligh). Diantara perilaku yang hadir antara lain : berfikir, bertingkah, dan berimajinasi seperti “kekanak-kanakan”, suka “bermain-main” tanpa peduli akibat yang timbul, memperebutkan mainan tanpa mau tau milik orang lain, euforia yang menghadirkan kesombongan atas derajat keluarganya, dan varian sikap lainnya. Sikap kesombongan ala anak-anak yang terjadi pada manusia dewasa mengarah pada hadirnya kesombongan. Andai terjadi pada ruang yang luas, maka muncul kezaliman kolektif yang dibiasakan.
Ada beberapa bentuk penyebab hadirnya kesombongan yang membuat manusia merasa mandiri dan melupakan hukum dan kuasa Allah SWT, antara lain : kesombongan atas ilmu dan derajat yang disandang, kesombongan atas harta yang dimiliki, kesombongan atas kedudukan dan kuasa yang diper-oleh, kesombongan atas keturunan dan keluarganya, dan kesombongan atas apa yang bisa disombongkan. Anehnya, ada pula segelintirnya sombong atas milik orang lain yang sebenarnya tak pernah dimilikinya (sekedar pinjaman).
Semua potensi di atas akan membangun kesombongan. Apatahlagi tatkala potensi tersebut berkorelasi dengan hadirnya “penjilat” yang selalu menempel, namun sebatas ketika memiliki kuasa. Semua terjadi ketika posisi manis bak gula dikelilingi semut. Namun, tatkala gula telah habis manisnya, semua sirna dan tak ada lagi yang tersisa. Semua berganti cibiran dan pergunjingan. Persis seperti anak-anak memperoleh mainan baru, maka mainan lama akan dibuang.
Namun, bagi hamba yang terjaga titik nol pada diri, jujur, bijak, dan amanah, maka kehadirannya akan selalu diingat dan tak pernah dilupakan oleh penduduk langit. Mereka merupakan hamba yang tawadhu’ dan membawa pesan kekhalifahan-Nya. Mereka merupakan hamba yang senanti-asa bersama Allah dan Rasulullah dalam setiap gerak nadi-nya. Mereka akan dikenang oleh hamba yang sefrekuensi dan terkoneksi dengan rahman dan rahim-Nya. Sebab, penilaian dan respon hanya terjadi sesuai dengan kualitas frekuensi yang sama. Keikhlasan hanya diterima pemilik kebaikan. Sementara kemunafikan hanya didukung oleh pemilik keburukan.
Kondisi terkikisnya kebajikan pada manusia akan menjadi petaka tatkala hilangnya kesadaran titik nol. Bila titik nol hilang dari manusia, meski tatkala musibah atau ancaman terjadi, maka berarti pada dirinya tak lagi tersisa iman, seiring kokohnya bangunan karakter ala Fir’aun dan Namrudz. Kesombongan atas kekuatan dan semua yang dimiliki, menjadikannya melupakan kuasa Allah SWT dan hilangnya kesadaran titik nol. Hal ini diingatkan Allah melalui firman-Nya : “Orang-orang yang bersikap sombong di muka bumi tanpa alasan yang benar, mereka akan Aku palingkan dari kebenaran sehingga mereka tidak dapat memahami bukti-bukti kekuasaan-Ku. Sekalipun orang-orang yang sombong itu menyaksikan bukti-bukti kekuasaan-Ku, mereka tetap tidak mau beriman. Jika mereka melihat jalan sesat justru mereka mau mengikutinya. Begitulah karakter orang-orang yang sombong, mereka telah mendustakan agama Kami, dan mereka telah melalaikan bukti-bukti kekuasan Kami” (QS. al-A’raf : 146).
Andai ketika musibah dan ancaman berulang kali terjadi, namun justeru tak mampu menyadarkannya, bahkan semakin menghilangkan titik nol, maka pertanda tak tersisa keimanan pada dirinya. Kerasnya hati dan akal yang tak tersentuh kebenaran, seiring kokohnya kesombongan pada diri. Sikap ini sangat dicela oleh Allah dan Rasul-Nya. Hal ini terlihat melalui sabda Rasulullah SAW : “Para penghuni neraka adalah orang-orang yang keras kepala, kasar lagi sombong” (HR. Bukhari dan Muslim).
Demikian jelas akibat hilangnya titik nol pada diri manusia. Bersamaan tumbuh subur kesombongan yang bermuara pada kezaliman yang tak terbendung. Semua dihadirkan Allah pada berbagai fenomena sejarah. Manusia yang memiliki tipikal seperti ini akan ditolak oleh alam semesta. Hal ini disampaikan Allah melalui firman-Nya : “Dan banyak sekali tanda-tanda (pelajaran) di langit dan di bumi yang mereka melaluinya tapi mereka (orang-orang ingkar) tak mempedulikannya” (QS. Yusuf : 105).
Meski demikian jelas pernyataan dan peringatan Allah dan Rasul-Nya, namun manusia acapkali mendustakan dan menafikannya. Hal ini dijelaskan Allah melalui firman-Nya : “Sebenarnya al-Quran itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang zalim” (QS. al-Ankabut : 49).
Melalui ayat di atas terlihat bahwa hilangnya titik nol bisa menimpa semua manusia. Tak peduli manusia berilmu atau jahil, kaya atau miskin, pejabat atau rakyat, dan strata lainnya. Semua memiliki peluang dan terjadi pada siapapun jua. Kesemua terjadi tatkala titik nol hilang dengan kuatnya dorongan nafsu kezaliman lebih dominan.
Hanya melalui terbangunnya kesadaran pada Ilahi dan sadar sisi sebagai hamba, manusia akan mampu mengembalikan titik nol penghambaannya. Menghadirkan Allah sebagai tujuan utama dan menyadari ketakberdayaan diri sebagai hamba. Hal ini diingatkan Allah melalui firman-Nya : “Wahai manusia, kamulah yang bergantung dan butuh kepada Allah; sedangkan Allah Dia-lah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji” (QS. Faathir : 15).
Wujud kesadaran yang ikhlas, bukan sebatas kata pemanis bibir seakan shaleh padahal salah. Andai hanya sebatas lipstick, maka sebenarnya ia sedang mempersendakan ayat-Nya. Bila hal ini menjadi katakter diri, maka akan semakin sulit menghadirkan titik nol penghambaan yang telah hilang.
Semoga pilihan pemilik tipikal hamba yang senantiasa konsisten menjaga titik nol dapat diraih dan dioertahankan. Sebab, hanya tipikal ini yang mampu mengundang turunnya kasih sayang Allah pada seluruh alam semesta.
Sementara, bila titik nol acapkali mengalami gangguan (fluktuasi), apatahlagi bila sampai punah permanen, maka kehancuran peradaban alam semesta pasti adanya. Meski sejuta retorika dan upaya hadir menutupi kebusukan diri, tapi alam sebagai ayat Allah yang selalu patuh pada-Nya tak pernah bisa untuk dikelabui.
Kehidupan merupakan sunnatullah dalam sejarah kemanusia-an di alam ini. Tatkala manusia menafikan hadirnya peristiwa sejarah, berarti ia telah menafikan sebagian ayat al-Quran yang berkisah tentang sejarah. Semua bisa terjadi tatkala tak tersisa titik nol pada diri. Bentuk sikap yang berupaya untuk menyembunyikan ketidakmampuan dan kekerdilan dirinya. Namun, sayangnya justeru semakin memperlihatkan watak aslinya yang demikian nyata. Pilihan tentu selalu ada. Cuma, tak semua manusia mampu memilih dengan bijaksana.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 8 Januari 2024
Oleh : Prof Samsul Nizar (Guru Besar STAIN Bengkalis)
Recent Comments