SETIAP manusia mengenal dan selalu berkaca (cermin). Hampir setiap hari manusia berkaca dan menjadikannya sebagai kebutuhan. Menurut Kamus  Besar Bahasa Indonesia, kaca cermin ialah kaca bening yang satu di antara mukanya dicat dengan air raksa dan sebagainya, sehingga dapat memperlihatkan bayangan benda yang ditaruh di depannya.

Biasanya ia digunakan untuk melihat wajah (jasmani) ketika bersolek dan sebagainya. Ketika berkaca, manusia akan melihat dua sisi kemungkinan dirinya, yaitu wujud keindahan dan keburukan (kejelekan) jasmaninya. Tujuan manusia bercernin untuk melihat kualitas jasmaninya. Bila sudah baik, maka akan dipertahankan. Namun, bila ada yang kurang baik, maka akan diperbaiki. Semua dilakukan agar tampilan jasmani lebih rapi, cantik, indah, dan terlihat sempurna.

Kepercayaan manusia pada kaca cermin sangat tinggi. Sebab, kaca bersih akan menginformasikan dengan jujur apa adanya. Ketika terlihat sisi buruk, maka ia tampilkan buruk agar manusia berupaya memperbaikinya. Andai terlihat cantik dan menawan, maka ia tampilkan kebaikan agar manusia mempertahankan dan merawatnya. Proses perbaikan atas kejelekan dan mempertahankan kebaikan jasmani memerlukan waktu dan biaya yang besar. Namun, manusia tak memperdulikannya.  Sebab, upaya memiliki jasmani yang sempurna menjadi tujuan utama.

Namun, eksistensi kaca cermin untuk melihat aspek jasmani semata. Sementara, cermin tak digunakan untuk melihat aspek rohannya. Untuk itu, pepatah menukilkan ketidakobyek-tifan manusia berkaca. Di antaranya “bercerminlah dahulu sebelum kamu membuat cermin orang lain”. Pepatah ini muncul oleh hadirnya manusia yang tak pernah bercermin atas dirinya. Ia hanya melihat orang lain dengan cermin yang dibuatnya. Bila ia menyenangi dengan maksud terselubung, maka ia hadirkan kaca yang buram. Tapi, bila maksud tak dapat diraih, hadir kebencian yang membumbung dengan kaca pilihan agar terlihat semua aib sesama. Bahkan, adakalanya kaca  yang digunakan pun kaca pecah dan bernoda yang tak bisa melihat kebaikan orang lain. Tipikal manusia seperti ini masih tersisa dalam kehidupan. Ia tak melihat keburukan diri dan hanya melihat kebaikannya semata. Akibatnya, hadir kesombongan atas sedebu kebaikan yang dimiliki dan melupakan segunung keburukan dirinya. Sementara, ketika melihat orang lain, terutama pribadi yang dibenci, segunung kebaikan menutupi matanya. Ia hanya melihat sedebu kesalahan untuk digunungkan. Andai ia tak menemukan kesalahan yang dibencinya, maka ia akan ciptakan agar ada kesalahan. Demikian tipikal manusia yang tak pernah berkaca atas keburukan dirinya.

Berkaitan fungsi kaca cermin dalam kehidupan antara lain: Pertama, Kaca cermin zahir (tampilan jasmani). Fitrah (naluriah) manusia selalu menyenangi keindahan. Cermin menjadi media bagi manusia untuk bersolek mempercantik jasmaninya. Sebab, memiliki wujud jasmani yang indah menjadi tujuan utama. Berbagai upaya dilakukan. Tak perduli biaya yang harus dikeluarkan. Pakaian bukan sebatas membalut badan, tapi membantu jasmani tampil anggun sebagaimana yang diharapkan. Melalui bantuan cermin, manusia melihat dirinya. Menyempurnakan yang kurang agar tampil menawan.

Menyempurnakan tampilan jasmani dianjurkan dalam Islam. Sebab, Rasulullah SAW menganjurkannya. Hal ini disampai-kan melalui sabdanya : “Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan” (HR. Muslim).

Makna hadis di atas bahwa Allah SWT Zat Yang Maha Indah atas nama dan sifat-Nya Yang Maha Sempurna. Sedangkan mencintai keindahan bermakna mencintai hamba-Nya yang menjaga keindahan jasmani dan rohani (akhlak) dalam ruang beribadah pada-Nya.

Namun, bila tampilan jasmani diperindah hanya untuk mem-peroleh sanjungan sesama dan jalan kemungkaran, maka pilihan cermin yang dilakukan akan membawa pada perbuat-an dosa. Tampilan ini akan membangun kesombongan dan jalan kemaksiatan.

Kedua, Kaca cermin batin, menata hati, dan meluruskan niat yang menampilkan wujud prilaku. Tujuannya agar diri tak tergelincir dari perjanjian penciptaan untuk senantiasa beribadah pada Allah SWT (QS. az-Zariyat : 56 ; QS. al-A’raf :172). Batin merupakan wilayah yang hanya Allah dan diri yang tau. Peluang mendustakan dari jangkauan komunitas luas sangat tinggi. Tapi, meski manusia berhasil menyem-bunyikan keburukan sisi batinnya, tapi ia tak akan memper-oleh ketenangan menyimpan “bangkai” yang disembunyikan. Manusia pemilik hati yang busuk tak akan bertahan lama disembunyikan. Sebab, setiap diri berasal pada kesucian (fitrah) yang tak bisa harmonis dengan kotoran. Untuk itu, ruang batin tak pernah bisa menerima dan me-nyembunyikan kotoran. Kesengsaraan ini akan dirasakannya, meski zahir menampilkan sebaliknya. Bahkan, pada waktu-nya aroma busuk kotoran batin akan menyeruak dan tercium jelas. Kotoran hati akan bermuara tumbuhnya sifat hasad pada sesama. Rasulullah SAW mengingatkan bahaya hasad melalui sabdanya: “Jauhilah hasad (dengki), karena hasad dapat memakan kebaikan seperti api memakan kayu bakar” (HR. Abu Dawud).

Bagi manusia yang senantiasa bercermin atas kualitas batinnya, maka ia akan terjaga pada ad-din hanif. Jalan menuju akhlak Rasulullah yang membawa pada cinta-Nya. Hal ini diingatkan Allah melalui firman-Nya : “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang taubat dan membersihkan diri” (QS. al-Baqarah : 222).

Kebersihan diri akan menjadikan cermin yang bersih. Tapi, bila hati dan diri kotor, maka hadir cermin yang kotor. Kondisi ini membuatnya tak bisa melihat dirinya yang kotor. Bila hal ini terjadi, maka kotornya diri tak pernah terlihat dan semakin berkerak. Ia tampil seakan paling bersih, padahal sebenarnya sangat kotor. Andai sesamanya menyampaikan sisi kotor dirinya, maka ia akan memusuhi dan mengucilkannya. Pada-hal, Allah telah mengingatkan melalui firman-Nya : “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendak-lah Setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. al-Hasyr : 18).

Ketiga, Kaca cermin bersih merupakan karakter hamba yang jujur mengatakan kekurangan dan kelebihan diri tanpa tujuan terselubung. Sementara, kaca cermin yang kotor cerminan sifat manusia yang membenci kejujuran atas kelemahan dirinya. Akibatnya, hadir manusia “penjilat” yang memuji dan menutupi kelemahan diri bagaikan make up yang bekerja menutupi wajah. Bila make up hilang, maka kelihatan wujud buruk wajahnya yang disembunyikan. Bila jilatan hilang rasa manisnya, maka muncul hinaan yang pahit dan pedih. Rasulullah SAW mengingatkan : “Seorang mukmin adalah cermin bagi sesamanya. Bila melihat suatu aib pada saudaranya, maka ia akan memperbaikinya” (HR. Bukhari).

Sayangnya, cermin jasmani tak berkorelasi dengan cermin rohani. Tampilan zahir tak membuat hadirnya kesadaran memperbaiki diri. Padahal, Allah SWT telah memperlihatkan begitu jelas azab bagi pemilik hati yang kotor, baik melalui ayat tertulis maupun terbentang. Ada yang bijak bercermin, tapi ada pula yang kufur atas cermin yang dibentang. Ketika kekeliruan dalam memilih kaca dengan mencontoh pemilik kehinaan, maka nistalah diri. Andai merasa hebat atas asal kejadian, lihat akhir kesombongan Iblis yang merasa paling mulia. Andai merasa kuat digjaya, lihat Fir’aun dan Namrudz yang hancur dan dihinakan-Nya. Andai merasa kaya dengan tumpukan harta, lihat Qorun yang hancur ditelan bumi.  Andai merasa paling berilmu, lihatlah Hamman yang dihinakan.

Seyogyanya, pilih bercermin pada pemilik kemuliaan. Andai merasa hebat atas kuasa, lihat kekuasaan nabi Sulaiman yang terhampar dari masyriq dan maghrib, tapi beliau selalu tunduk pada Allah SWT. Andai merasa berilmu dengan titel berjejer, lihat luasnya ilmu nabi Khaidir yang tetap tawadhu’. Andai merasa paling sempurna, lihat kesempurnaan nabi Muhammad SAW yang begitu tinggi akhlaknya.

Gambaran nyata atas mereka yang memiliki apa yang disombongkan dimurkai oleh Allah dan hamba pilihan yang tawadhu’ atas anugerah Allah yang menghantarkannya sebagai hamba yang dirahmati-Nya. Sebab, ia sadar bahwa semua hadir pengakuan lahaula wa la quwwata illa billah. Sementara yang dititipkan pada hamba sebatas titipan yang tak perlu disombongkan.  Tapi, anehnya fenomena di zaman modern, kesombongan justeru hadir pada mereka yang baru memiliki secuil kelebihan, kemampuan, kekayaan, dan kuasa. Bahkan, kesombongan yang dimunculkan melebihi manusia yang memiliki kelebihan yang lebih banyak. Kesombongan yang bertujuan agar hadirnya karena sebatas “disukai” (berbagai varian penyebab), bukan karena dirinya mumpuni. Akibatnya, ia dikenal dan diposisikan karena sebatas popula-ritas, bukan kualitas. Sungguh, setiap sifat dan karakter manusia akan dikumpulkan oleh Allah SWT pada jenis dan kualitas yang sama. Bagai berkumpulnya air dengan air dan minyak dengan minyak. Tak mungkin air bersatu dengan minyak, bagai tak bertemunya kebaikan dan keburukan

Momentum pergantian tahun 2024 seyogyanya bercermin pada tahun-tahun sebelumnya. Melalui cerminan tersebut, tatapan dan karakter diri diharapkan akan lebih baik. Cermin atas karya apa yang telah dilakukan dan diberikan. Andai ada kelebihan, sadarlah semua atas izin-Nya semata. Untuk itu, semua pujian hanya milik-Nya. Andai ada kekurangan, sadarlah atas kedhaifan (kelemahan) diri untuk lebih baik pada masa yang akan datang.

Agar diri senatiasa tawadhu’, ketika berbuat baik, bercermin pada manusia lain yang ternyata lebih baik. Ketika melihat kekurangan manusia lain, bercermin pula pada kelemahan diri yang mungkin lebih banyak.  Kata bijak mengingatkan : “Cermin tidak hanya membantumu untuk melihat diri sendiri, tetapi melihat apa yang ada dibelakang. Ia bukan sekedar melihat sisi kedepan, tapi sisi belakang yang sebelumnya pernah dilakukan. Tapi, bagi pemilik sifat busuk hati, ia hanya menggunakan kaca cermin untuk melihat kebaikan atau kehebatan dirinya, tanpa melihat kesalahan yang dimiliki”. Akibat subyektifitas melihat diri dengan kaca buram, maka akan hadir rasa paling benar, paling baik, paling hebat, paling berjasa, dan varian keangkuhan lainnya. Padahal, ia menyisakan borok bau yang tak pernah mau diakuinya.

Mata rantai sifat individu yang tak berkaca diri perlu diputuskan. Kehadirannya hanya sebagai bumerang dan contoh buruk bagi generasi masa depan. Untuk itu, perlu ditanamkan pada generasi Z kebiasaan berkaca atas kualitas dirinya secara benar dan obyektif. Banyak contoh yang patut diteladani yang tampil bijak dalam sejarah. Dalam al-Quran, cerminan generasi berkualitas disampaikan Allah melalui kisah ashabul kahfi. Sosok pemuda yang memiliki cermin kekokohan keimanan, bukan sebatas ikut-ikutan. Sosok pemuda yang tak menjual keyakinan dan kebenaran dengan tumpukan materi dan popularitas posisi. Kualitas pemuda berkualitas dan berilmu pada tampilan sayyidina Ali bin Abi Thalib. Ia hadir dengan cerminan kualitas dan kebaikan dirinya, bukan menumpang ketenaran keturunan atau tempelan ikat pinggangnya. Semua itu merupakan cermin generasi berkualitas. Tipikal ini seyogyanya menjadi cerminan bagi generasi penerus untuk melihat dirinya. Andai cermin ini digunakan, maka akan tampil generasi pelanjut yang amanah dan siap menerima estafet pembangunan. Namun, tatkala cerminan yang diambil merupakan karakter Qobil, Qorun, Fir’aun, Namrudz, Hamman, Abu Jahal, Abu Lahab, dan lainnya, maka sejarah kelam akan berulang. Bila hal ini terjadi, maka alam semesta akan hancur, peradaban akan punah, dan kemanusiaan akan sirna. Hadirnya karakter ini diakibatkan oleh pribadi yang tak pernah berkaca dengan cermin yang bersih. Andai ia berkaca dengan cermin yang bersih dari hati yang suci, maka ia akan menemukan makna untuk saling menghargai. Tapi, bila hadir pribadi yang hanya bercermin pada kaca buram seiring kotor-nya hati, maka akan tampil sosok egois, fitnah, dengki, iri, sombong, dan varian buruk lainnya. Hanya melihat kehebat-an dan kuasa diri, tanpa menghargai bangunan yang telah disiapkan generasi sebelumnya. Padahal, semua yang ada merupakan titipan dan ujian dari Allah semata. Sikap dan prilaku ini tanpa disadari telah memperlihatkan sisi kotor diri yang selama ini ditutupi. Sungguh, sifat cela ini telah menghinakan diri dihadapan manusia dan mengkufuri nikmat-Nya.

Hanya hati dan kaca cermin bersih akan memantulkan gambaran yang baik. Bila hati kotor dan kaca buram, gambaran kotor diri tak akan terlihat secara baik. Sayangnya, manusia acapkali menggunakan kaca buram untuk dirinya dan kaca bersih untuk melihat orang lain. Bahkan, bila kaca bersih tak mampu menemukan kotoran, ia akan gunakan kaca cembung, cekung, bahkan kaca pembesar agar kotoran orang lain terlihat nyata. Lalu, bertanyalah pada setiap diri, cermin apa yang dipilih dan sisi mana yang dilihat selama ini ? Masih tersisa segelintir yang mau menjawab, di tengah banyak yang tak sadar dan peduli. Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.***

Oleh: Prof Samsul Nizar (Guru Besar STAIN Bengkalis)

Sumber: riaupos.jawapos.com

Translate »