Lidi merupakan peralatan rumah tangga yang sangat familiar dan diketahui semua orang. Lidi merupakan tulang daun kelapa atau pun aren. Lidi sangat diperlukan dan banyak bermanfaat bagi manusia. Ketika hanya sebatang, lidi bersih digunakan untuk membuang kotoran disela-sela gigi atau menusuk menyatukan dua sisi yang terpisah. Tatkala kumpulan lidi menyatu, ia dapat digunakan menjadi alat untuk membersihkan debu atau kotoran.

Meski eksistensi lidi begitu familiar, namun manusia mungkin tak sempat mengambil pelajaran, baik ketika lidi berdiri terpisah atau menyatu oleh ikatan. Di antara pelajaran yang dapat diambil dari lidi adalah :

Pertama, Kumpulan lidi yang terikat bermakna kekuatan dan persatuan. Satu lidi tak memiliki kekuatan berarti. Sebab, sifatnya yang rapuh dan mudah dipatahkan. Tetapi bila kumpulan lidi menyatu sebagai “sapu lidi”, maka ia mampu menyapu apa saja karena sifatnya yang lebih kokoh. Sungguh, lidi dan sapu lidi menjadi analogi yang tepat bagi manusia dalam memaknai persatuan dan kehidupan. Hal ini sesuai firman-Nya : “Dan, janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat” (QS. Ali Imraan : 105).

Makna persatuan atas lidi yang terikat, perlu dipahami secara komprehensif. Pada realita masyarakat pedesaan, lidi menjadi alat mengikat daun pisang (berikut varian lainnya) dengan menyatukan sisi-sisinya untuk dapat “menutup” isi di dalamnya agar tak tumpah. Makna lidi sebagai persatuan membungkus dan menjaga seluruh potensi negara agar tidak dirampas oleh pihak lain.

Eksistensi ikatan lidi bukan sebatas kesatuan secara material (fisik), namun perlu diiringi kesatuan immaterial (pikiran dan cita-cita). Sebab, persatuan material (fisik) akan terbangun kokoh bila terikat persatuan immaterial. Sungguh, persatuan immaterial menjadi faktor utama terbangunnya kesatuan material. Dalam rentang sejarah, persatuan immaterial menggerakkan keinginan yang sama dengan gerak yang harmonis. Sifatnya lebih bertahan lama, bahkan abadi. Sementara, kesatuan material (fisik) akan terbangun bila ada kepentingan sesaat yang sama. Tatkala kesamaan kepentingan telah sirna, maka persatuan hanya tinggal catatan pepesan kosong. Fenomena persatuan politis merupakan contoh persatuan material. Ia bagai sebatang tubuh tanpa ruh. Bagai ikatan lidi dengan tali yang rapuh. Ia bersatu tatkala sampah yang ringan. Namun, tatkala berhadapan onggokan sampah yang berat, maka ikatan putus dan lidi bercerai berai.

Kedua, Lidi muda bersifat lebih lentur untuk menjadi tali pengikat. Persatuan diikat dengan kelenturan. Kelenturan yang bermakna saling menghargai dan menghormati. Namun manusia ketika muda terkadang justeru memilih kebiasaan mengurai ikatan. Fenomena tawuran dan “pengelompokan gank” yang melakukan tindakan destruktif seakan bertolak belakang dengan sifat lidi muda. Sedangkan lidi yang tua lebih keras yang cocok untuk membersihkan kotoran.  Kotoran hanya bisa dibersihkan tatkala lidi kokoh pada kebenaran. Sementara pilihan segelintir generasi tua justeru menjadi lidi kontor yang mengotori peradaban.

Sungguh, bila bersama-sama, kumpulan lidi menjadi pembersih atas “sampah-sampah” yang ada sekitarnya. Agar lidi mampu melaksanakan tugasnya untuk membersihkan lingkungan, maka lidi harus bersih dan dibersihkan terlebih dahulu. Sebab, hanya lidi bersih yang mampu membersihkan kotoran. Sementara bila lidi kotor yang digunakan untuk membersihkan, maka bukan hanya tak mampu melaksana-kan tugasnya, bahkan lingkungan sekitar yang awalnya bersih justeru akan menjadi kotor, bahkan menyebarkan kotoran pada areal yang lebih luas.

Untuk itu, tatkala lidi telah kotor, perlu segera dilakukan upaya untuk membersihkannya. Bila kotor yang melekat tak mampu lagi dibersihkan, maka sapu lidi harus diganti dan dibuang. Ketika keinginan untuk membersihkan lidi tak dilakukan, maka berarti terjadi keinginan bersama guna memelihara lidi yang kotor untuk bisa “bermain area kotor bersama”pula.

Namun, terkadang manusia justeru memilih sebaliknya. Pemilik dan penjaga kebersihan justeru dihapuskan dan disingkirkan. Sementara pemilik dan penjaga kotoran justeru dilestarikan dan dijaga sesuai kepentingan.

Ketiga, Bila lidi bersih, meski tatkala berdiri sendiri, ia masih bisa menjadi penunjuk arah menuju kebenaran. Buktinya, banyak anak-anak di desa tempo dulu menggunakan lidi (bersih) untuk dijadikan alat penunjuk bacaan al-Quran.

Sungguh pelajaran berharga bahwa hanya lidi yang bersih dapat mendekati yang suci (al-Quran). Hal ini diingatkat Rasuullah SAW melalui sabdanya : “Sesungguhnya Allah SWT itu suci yang menyukai hal-hal yang suci, Dia Maha Bersih yang menyukai kebersihan, Dia Maha Mulia yang menyukai kemuliaan, Dia Maha Indah yang menyukai keindahan, karena itu bersihkanlah tempat-tempatmu” (HR Tirmidzi).

Hadis di atas demikian jelas memberikan tuntunan agar manusia senantiasa menjaga kesucian diri. Bila kesucian dimiliki, maka manusia akan memperoleh kemuliaan. Bila hidup selalu bergelimang hal yang kotor, maka kehinaan akan dimenderanya. Banyak fenomena telah Allah perlihatkan sedemikian nyata. Meski sejuta upaya menutupi kesalahan dengan berbagai rekayasa, pada waktunya akan Allah perlihatkan tanpa ada yang mampu menutupi. Meski manusia semakin aneh melihat kemuliaan pada tataran zahir yang dipoles kepalsuan dan menafikan kebenaran yang sebenarnya. Padahal, Ali bin Abi Thalib pernah berpesan : “Jangan lihat siapa yang bicara, tapi lihatlah apa yang dibicarakan”. Meski disampaikan oleh “pemegang kunci ilmu Rasulullah”, manusia justeru memilih sebaliknya. Mendengar dengan melihat “siapa yang berbicara, bukan kualitas atas apa yang dibicarakan”. Bagai lidi yang bersih hanya untuk dipatahkan dan lidi yang kotor justeru dijaga atau disanjung tinggi. Bahkan, lidi kotor justeru selalu dibersihkan. Sementara lidi bersih hanya disimpan dalam bungkusan. Pilihan sifat yang demikian hanya bertahan sementara. Tatkala Allah membuka kekotoran lidi yang dipuja, semua akan menjauh dan langkah “cuci tangan” akan dilakukan. Bila upaya “cuci tangan” sulit dilakukan, maka upaya “mencari kambing hitam” akan diupayakan.

Sungguh bahagia dan beruntung bila berkarakter lidi yang bersih. Bahkan meski sendiri, lidi bersih yang kokoh tetap membuang kotoran di sela-sela gigi.  Ternyata, meski lidi hanya berdiri sendiri, bukan berarti tak memberikan arti. Selama lidi tersebut bersih, maka ia tetap bermanfaat. Namun, tatkala lidi kotor, bila sendiri ia akan dipatahkan dan dibuang. Demikian pula bila lidi diikat secara bersama-sama namun ia dalam keadaan kotor, maka ia akan dibuang bersama tumpukan sampah.

Keempat,  Lidi harus lurus bila ingin menyingkirkan kotoran. Lurus pada niat dan lurus pada perbuatan. Hal ini merujuk pada sabda Rasulullah SAW : “Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafs Umar bin Al Khottob radiallahuanhu, dia berkata: Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda : Sesungguhnya setiap  perbuatan tergantung niatnya.  Dan  sesungguhnya  setiap  orang  (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan” (HR. Bukhari dan Muslim).

Kelima, Lidi bersih harus diatur, dijaga, dan diawasi agar tidak menjadi kotor. Untuk itu, diperlukan sistem kerja yang terukur dan orang yang akan menggunakan sapu lidi merupakan sosok pribadi yang suka kebersihan. Kesemuanya berkelindan untuk melengkapi. Bila kesemua unsur terbangun secara bersih, maka hasilnya akan bersih pula. Namun, bila salah satu berupa “lidi kotor dan bengkok, maka ruang kehidupan bagai tumpukan sampah yang hanya disenangi oleh langau dan belatung.

Meski aturan dan sistem dibangun sedemikian baik, bila pengguna berkarakter lidi kotor, maka aturan dan sistem akan dirubah dengan menggunakan “baju musyawarah” yang direkayasa. Demikian pula bila manusia berkarakter baik, namun tak ada aturan dan sistem yang menjadi dasar pijakannya, maka ia akan mudah tersesat dan melakukan kesalahan demi kesalahan.

Keenam, Lidi tak tau menilai dirinya bersih atau kotor. Sebab, lidi makhluk yang tak diberi akal. Sementara manusia acapkali seperti sifat lidi yang tak pernah menilai dirinya bersih atau kotor dan hanya tau yang kotor adalah semua di luar dirinya. Ia hanya mampu sekedar menyingkirkan beberapa kotoran tapi tak mampu membersihkan areal atas kotoran pada dirinya. Sebab, ternyata dirinya yang kotor menjadi penyebab ia tak mampu membersihkan areal yang ingin dibersihkan, bahkan membuat luas areal akan menjadi semakin kotor.

Merujuk fungsi ideal agar lidi tetap bersih, sebenarnya telah diingatkan Allah melalui firman-Nya : “Wahai orang-orang yang beriman, Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Penjaganya malaikat-malaikat yang kasar dan keras yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintah-kan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan” (QS. at-Tahrim : 6).

Demikian jelas firman-Nya mengingatkan agar setiap diri senantiasa terjaga untuk menjadi contoh bagi lingkungannya (keluarga), sehingga “pantulan cahaya” kebaikan menerangi lingkungan yang lebih luas. Namun bila sebaliknya, maka hanya kehancuran yang akan tercipta, baik pada lingkup terbatas maupun pada lingkup yang lebih luas. Ketidak-mampuan menjaga kebersihan bukan dengan mencari alasan “kambing hitam” atau menggunakan “kacamata kuda” belaka. Sebab, sumber kotoran justeru ada pada lidi yang kotor, bahkan bernajis. Apalagi bila lidi yang kotor menyatu pada ikatan yang kotor, maka kebersihan hanya sebatas slogan tanpa pernah mampu diwujudkan. Untuk itu, jadilah sapu bersih yang terikat erat untuk menyehatkan peradaban. Indikator kesehatan bila lisan terpelihara dari “kotoran dan penyakit”. Sebab, ikatan persatuan acapkali tercabik oleh lisan yang kotor dan berpenyakit. Untaian lisan yang sakit antara lain : berkata kasar, tarian kebohongan yang tak sesuai apa yang dilakukan, bergunjing, menyebar fitnah, menghujat, mengadu domba, merasa paling hebat dan mulia, dan varian lainnya. Untaian lisan yang tak sehat mengakibat-kan sayatan luka yang akan memutuskan persatuan. Apatahlagi era media sosial, acapkali “lisan yang sakit” akan menimbulkan kegaduhan, ketidakadilan, kesesatan, kezaliman, dan perpecahan. Sungguh lisan bagaikan muntah. Semua yang keluar ketika muntah adalah tampilan isi yang ada dan dimakan. Jadi, kualitas lisan (berikut tulisan dan variannya) merupakan wujud kualitas karakter setiap diri. Untuk itu, Allah mengingatkan agar lisan sehat melalui firman-Nya : “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik…” (QS. an-Nahl : 125).

Begitu jelas ayat di atas, Allah mengingatkan agar manusia senantiasa menjaga lisan yang sehat agar terpelihara kebaikan.  Hanya dengan cara yang beradab, cita-cita persatuan dapat diwujudkan. Manusia yang memliliki dan mendengarkan lisan yang sehat akan mampu menjaga persatuan dan membangun wajah peradaban. Sementara, manusia yang memiliki dan mendengarkan lisan yang sakit hanya akan berakibat perselisihan dan merusak peradaban.

Semua yang terjadi bagaikan air. Semua aliran pasti berhulu dan berhilir. Hadirnya berkelindan dan pasti bermuara. Meski manusia bisa dibohongi dan dipaksa untuk menutup atau menghilangkan kebenaran, namun Sang Pencipta tak pernah mampu dibohongi. Ketika Allah membuka aib hamba-Nya, jadikan sebagai i’tibar agar setiap manusia sadar pada aib dirinya sendiri. Jangan mengatakan diri paling sempurna. Sebab, setiap diri memiliki aib. Ketika Allah membukanya, manusia tak akan sanggup untuk berkaca melihat dirinya. Namun, terkadang semua ayat-Nya dan berbagai i’tibar acapkali dinafikan dan tak dipedulikan. Jadilah diri sebagai lidi yang bersih, namun perlu diikat oleh iman guna terjaga asa membangun bangsa. Jangan rusak ikatan lidi dengan busuknya hati dan pengkhianatan. Sungguh, sekeras-keras-nya besi masih bisa dicairkan dengan panasnya api. Namun, kerasnya hati manusia yang tertutup dari kebenaran Ilahi hanya akan luluh ketika kematian menjemputnya. Namun, ketika saat tersebut tiba, sejuta penyesalan tak lagi berguna.

Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.

Oleh : Samsul Nizar (Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis)

Translate »