Imam Abu Manshur al-Maturidi (230-333 H/843-944 M) merupakan seorang teolog besar dalam sejarah Islam. Pemikirannya, terutama dalam bidang ilmu kalam, dinilai turut menguatkan Ahlus Sunnah Waljamaah (ASWAJA).
Untuk menghormatinya, generasi yang sezaman ataupun sesudahnya memberikan pelbagai gelar kepada sang alim dari Samarkand, Asia Tengah, itu. Misalnya, Imam al-Huda (Pemimpin yang Memberi Petunjuk), Imam al-Mutakallimin (Pemimpinnya Para Cendekiawan Ilmu Kalam), Mushahhih ‘Aqaid al-Muslimin (Penjaga Akidah Kaum Muslimin), atau Ra’is Ahl as-Sunnah (Pemimpinnya Ahli Sunah).
Gagasan-gagasan yang dicetuskan al-Maturidi, dalam beberapa hal, agak berbeza dengan pemikiran teolog ASWAJA lainnya, misalnya Abu Hasan al-Asy’ari (260-323H/873-935 M). Bagaimanapun, keduanya secara tegas menentang Mu’tazilah kerana aliran itu terlampau mengagungkan akal untuk memahami agama.
Kaum Asy’ariyah menghadapi Mu’tazilah di pusatnya, yakni Kota Basrah. Sementara, Maturidiyah melawan sekte tersebut di daerah “pinggiran” wilayah Islam saat itu, Transoksiana.
Semasa hidupnya, al-Maturidi dikenal sebagai pengikut setia ajaran-ajaran Imam Abu Hanifah atau Hanafi (80-148H/699-767 M), seorang ulama dari generasi tabiin. Sebab, sejak akil baligh dirinya menimba ilmu dari guru-guru yang berhaluan Hanafi.
Di antaranya adalah Abu Nashr Ahmad al-‘Iyadh, Abu Bakar Ahmad al-Juzjani, Nushair bin Yahya al-Balkhi, serta Muhammad bin Muqatil ar-Razi. Kecenderungan teologi yang disebarkan al-Maturidi pun memiliki banyak persamaan dengan faham-faham yang dipegang Imam Hanafi.
Menurut Said Aqiel Siradj dalam Kontroversi Aswaja: Aula Perdebatan dan Reinterpretasi (2010), Imam Abu Hanifah bersama dengan beberapa ulama sezamannya—semisal Imam Sufar, Abu Muhammad, dan Imam Abi Yusuf—adalah orang-orang yang pertama kali menerima nalar sebagai alat dalam memahami Islam.
Hanafi berpandangan, kebenaran haruslah dicari dengan nalar. Untuk mencapai kebenaran pun perlu logik. Yang dipilih, diambil, lalu diolahnya sebagai alat dalam memahami kebenaran Islam ialah logik Arsitoteles. Sebab, pada zamannya, pemikiran Yunani Kuno mulai dikenal luas kaum Muslimin, seiring dengan meluasnya wilayah Islam di timur Mediteranian.
Pemikiran Hanafi kemudian memunculkan teori-teori tentang kebenaran, yakni ’ilm al-bayan, ’ilm al-irfan, dan ’ilm al-burhan. Ilmu bayan berkaitan dengan apa-apa yang diterima dari al-Qur’an, yaitu berupa doktrin yang tidak perlu difikirkan atau dipertanyakan akal rasional. Misalnya, shalat lima waktu, puasa Ramadhan, dan lain-lain. Ilmu irfan berkenaan dengan ilham, yakni upaya mendapatkan kebenaran secara intuisi.
Sementara itu, ilmu burhan bererti bahawa untuk memahami akidah pun diperlukan akal. Salah satu ucapannya yang masyhur ialah, “Al-fiqh fii ad-din afdhal min al-fiqh fii al-ahkam”, ‘pemahaman atas agama (akidah) lebih baik ketimbang pemahaman atas hukum (fikih). Ilmu burhan pun diistilahkan sebagai al-fiqh al-akbar, “ihwal memahami yang lebih besar (penting)” kerana dimaksudkan untuk mengerti dasar-dasar agama (ushul ad-din). Dari kajian atas ilmu burhan itulah, maka lahir ilmu kalam.
Hanafi menekankan, tidak ada yang lebih dipentingkan antara bayan, irfan, mahupun burhan. Ketiganya harus berjalan selaras. Antara satu sama lain tak terpisahkan agar seseorang boleh mencapai kebenaran Islam.
Al-Maturidi—yang lahir empat generasi sesudah Imam Abu Hanifah—berada dalam jalur yang sama dengan Hanafi. Ia menolak etos sebahagian kaum ulama saat itu yang mengkhuatirkan penalaran rasional dapat memicu kesesatan dan penyimpangan. Alhasil, seturut keinginan mereka, yang harus menjadi sandaran hanyalah dalil-dalil naqly.
Membenturkan antara argumen yang dibangun berdasarkan akal (hujah aqliyah) dan argumen yang berasaskan wahyu (hujjah naqliyah) bukanlah cara dan tujuan pemikiran al-Maturidi. Mereka yang condong menolak penalaran rasional semata-mata merasa cukup dengan penjelasan naqly, yang diyakini pasti benar dan kerananya cukup dikutip (dinukil, di-naqly) saja.
Padahal, al-Qur’an dan Sunnah adalah benar dari sisi wujudnya. Bahawa al-Qur’an adalah benar; bahawa apa-apa yang diucapkan, dilakukan, dan disetujui Rasulullah SAW mengenai syariat agama ini adalah benar; tetapi semua itu datang kepada manusia yang berada dalam konteks ruang dan waktu. Maka untuk memahami sumber kebenaran tidak mungkin meninggalkan penalaran.
Epistemologi yang diusung al-Maturidi tidak memperhadapkan antara empirisme dan idealisme, melainkan memadukannya secara kritis.
Patut diingat pula, memberikan penghargaan yang tinggi kepada akal tidak bererti mencampakkan autoriti naqly. Hujah aqliyah dapat dipegang selama tidak bertentangan dengan syariat. Ayat-ayat yang bermakna samar-samar (mutasyabihat) ditelaah melalui takwil untuk memahami apa-apa yang terkandung di dalam makna ayat-ayat itu.
Caranya pun tidak lepas dari hawwas dan khabar yang dikuasai atau diketahui si penakwil. Bila tidak mampu melakukannya, bagi al-Maturidi, maka bersikap menyerah—yakni menyerahkan pentakwilan kepada orang yang lebih “tahu”—adalah lebih selamat.
Menurut al-Maturidi dalam salah satu karyanya, At-Tauhid, jalan ilmu pengetahuan tentang substansi segala sesuatu ialah hawwas, khabar, dan fikr. Hawwas bererti pengetahuan yang berdasarkan penyelidikan inderawi atau empiris. Adapun khabar bererti pengetahuan yang berasal dari konsep, asumsi, atau informasi yang telah tersedia.
Maka, penalaran rasional atau fikr menjadi hakim bagi pengetahuan yang diperoleh melalui hawwas dan khabar. Epistemologi yang diusung al-Maturidi tidak memperhadapkan antara empirisme dan idealisme, melainkan memadukannya secara kritis.
Kritik Mu’tazilah
Al-Maturidi mengkritik aliran Mu’tazilah melalui buku-buku karyanya. Salah satunya ialah kitab Raddu al-Ushul al-Khamsah, yang memaparkan kelemahan argumen Abi Muhammad al-Bahili. Sebelumnya, ulama Mu’tazilah itu memberikan gambaran tentang konsep “Lima Dasar” (al-Ushul al-Khamsah), yakni tauhid, keadilan Allah, janji dan ancaman, posisi di antara dua posisi, serta tuntutan berbuat baik sekaligus mencegah perbuatan tercela (amar ma’ruf nahi munkar).
Tentang tauhid, kaum Mu’tazilah meyakini peniadaan sifat-sifat Allah adalah untuk peng-Esa-an Zat Allah. Kalau sifat Allah dikatakan berjumlah 99, menurut Mu’tazilah, maka Zat Allah pun berjumlah demikian, padahal Allah itu Maha Esa.
Kerananya, mereka memahami bahawa Allah itu Esa dan sifat-Nya adalah Maha Adil. Tidak ada sifat-sifat selain Esa dan Maha Adil itu bagi-Nya. Pemahaman itu pada akhirnya mengkristal pada khalq al-Qur’an, yakni meyakini bahawa al-Qur’an adalah makhluk, bukan kalam Allah.
Al-Maturidi menjawab pandangan Mu’tazilah itu. Menurut mutakalim ASWAJA ini, sifat-sifat itu bukanlah sesuatu di luar Zat-Nya, tidak pula terpisah dari-Nya. Sifat-sifat itu pun—yang menurut al-Qur’an berjumlah hingga 99 sifat—tidak mempunyai eksistensi yang mandiri dari Zat. Alhasil, tidak boleh dikatakan bahawa banyaknya sifat bererti banyaknya eksistensi (qadim).
Kritik lainnya dari al-Maturidi untuk Mu’tazilah ialah tentang keadilan Allah. Menurut Mu’tazilah, Allah bersikap adil sehingga tidak dapat berbuat zalim. Kemaha-adilan Allah menghendaki agar manusia sendirilah yang mewujudkan perbuatan-perbuatan melalui daya yang diciptakan Allah dalam dirinya. Konsekuensinya adalah bahawa manusia bertanggungjawab penuh atas segala tindakannya.
Sementara, al-Maturidi memandang, perbuatan terbahagi ke dalam dua macam, yakni perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia. Perbuatan Tuhan mengambil bentuk penciptaan daya-dalam-diri manusia. Pemakaian daya-dalam-diri itu adalah yang dimaksud sebagai perbuatan manusia. Pemakaian tersebut dapat pula diertikan sebagai ikhtiar atau al-kasb.
Menurut al-Maturidi, Allah menghendaki tidak akan adanya pahala atau azab tanpa ikhtiar manusia atau hamba-Nya berikhtiar. Manusia diberi pahala kerana ridha Allah atas pemakaian daya-dalam-diri (ikhtiar) secara benar. Sebaliknya, manusia diganjar hukuman kerana tidak ridha-Nya Allah atas kesalahan pemakaian daya-dalam-diri si manusia tersebut.
Mengenai syafaat Nabi Muhammad SAW, Mu’tazilah berpandangan bahawa jika orang Islam yang berdosa besar wafat dan belum sempat bertaubat, maka orang itu tidak mungkin mendapatkan ampunan Allah SWT dan syafaat Rasulullah SAW. Kaum pengikut aliran ini berdalih, kalau pandangan itu salah, “Niscaya Muslim akan sengaja berbuat dosa besar dengan keyakinan pasti kelak meraih ampunan-Nya dan syafaat Nabi SAW.”
Dengan kata lain, Muslim itu “disuruh lakukan saja dosa besar, toh akhirnya diampuni dan diberi syafaat.”
Menurut al-Maturidi, logik Mu’tazilah itu rancu (celaru). Sebab, yang benar adalah bahawa yang mendorong adanya syafaat bukanlah orang yang akan diberi syafaat, melainkan perbuatan baik yang dilakukannya. Terhadap orang yang sengaja berbuat buruk jangan diserukan, “tetap berbuat maksiatlah kerana toh nanti mendapat syafaat”, melainkan “kembalilah taat kepada Allah agar dengan ketaatan itu engkau mendapat syafaat di akhirat kelak.”
Al-Maturidi juga menekankan, iman kepada syafaat adalah sebuah perkara besar menurut Islam. Sebab, keberadaannya sudah disebutkan dan dijelaskan dalam hadis Nabi SAW.
Imam Abu Manshur al-Maturidi dikurniai usia yang panjang oleh Allah SWT. Mustafa Ceric dalam bukunya, Roots of Synthetic Theology in Islam: A Study of the Theology of Abu Mansur al-Maturidi mengatakan, sang mutakalim berumur lebih dari 100 tahun sebelum ajal menjemputnya. Ia pun merasakan jatuh bangunnya rejim-rejim kekuasaan, terutama di Daulah Abbasiyah yang merupakan kekhilafahan Islam saat itu. Tercatat, ada 12 khalifah yang memerintah silih berganti pada masa al-Maturidi hidup.
Sosok berjulukan Ra’is Ahl as-Sunnah (Pemimpinnya Ahli Sunah) ini berpulang ke rahmatullah pada 333 H/944 M. Samarkand menjadi kota tempatnya menghembuskan nafas terakhir. Jenazahnya dikebumikan di Kompleks Permakaman Jakardiza, yang terletak di sebelah timur kota tua Samarkand. Memang, umumnya masyarakat setempat memakamkan jasad tokoh-tokoh besar mereka di sana.
Sepeninggalannya, aliran teologi yang digagasnya terpecah ke dalam dua kelompok, iaitu Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah Bukhara. Ringkasnya, golongan yang pertama itu tidak begitu jauh dalam mengembangkan paradigma al-Maturidi. Keadaannya cukup berbeza dengan para pengikutnya di Bukhara. Di bawah pengaruh Abu al-Yusr Muhammad al-Bazdawi, ada beberapa corak pemikiran yang cukup signifikan perbezaannya dengan sang perintis.
Al-Bazdawi merupakan seorang pengikut al-Maturidi yang penting. Ia kerap disebut-sebut sebagai penerus yang paling penting dalam menjadikan teologi Maturidiyah besar dan berpengaruh luas.
Secara nasab, keturunan di atasnya pun merupakan pembela pemikiran sang Imam al-Mutakallimin. Nenek al-Bazdawi diketahui adalah seorang murid al-Maturidi. Begitu pula dengan kedua orang tuanya.
Perbedaan antara kubu Samarkand dan Bukhara terletak antara lain pada soal wewenang akal. Bagi Maturidiyah Samarkand, akal manusia dapat mengetahui adanya Tuhan. Selain itu, akal diyakini dapat mengetahui baik dan buruk, serta kewajiban bersyukur kepada Tuhan.
Sementara itu, Maturidiyah Bukhara berpandangan bahawa akal manusia hanya dapat mengetahui adanya Tuhan serta baik dan buruk. Adapun kewajiban manusia untuk bersyukur kepada-Nya merupakan wewenang wahyu, bukan wewenang akal.
Letak perbezaan juga ada pada hikmah. Menurut Maturidiyah Bukhara, Allah berbuat atas kehendak-Nya. Allah tidak harus berbuat sesuai hikmah. Contoh yang kerap disebut dalam hal ini ialah penciptaan iblis.
Secara garis besar, Maturidiyah yang dirumuskan al-Bazdawi lebih mendekati Asy’ariyah. Misalnya, dalam hal keefektifan daya manusia. Memang, Asy’ariyah mengakui adanya daya-dalam-diri manusia, tetapi pada hakikatnya perbuatan-perbuatan manusia diciptakan oleh Allah. Dan, Allah berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya.
Sumber: HASANUL RIZQA, https://www.republika.id/posts/18799/telaah-pemikiran-al-maturidi
Recent Comments