Sudah tidak asing lagi, hal yang paling menarik dan tidak bosan untuk menjadi bahan perbincangan tersurat maupun tersirat setiap saat adalah perempuan. Al-Qur’an juga banyak membahas tentang perempuan dalam beragam bentuk tuturan. Bahkan, kodifikasi al-Qur’an tak lepas dari peranan penting perempuan.

Dalam al-Qur’an sendiri Allah mengabadikan sebuah surat secara khusus tentang perempuan yang dapat dijadikan sebagai tuntunan. Begitu pula al-Hadist, tak sedikit menuturkan hal tentang maupun terkait perempuan. Malahan perawi al-Hadist yang paling dominan adalah perempuan. Tak heran kalau kemudian perempuan memiliki tempat tersendiri dalam pembahasan kitab kuning, khususnya fiqih, sebab berbagai persoalan perempuan tidak bisa lepas dari hukum fiqih.

Kitab kuning adalah buku klasik yang berisikan uraian ulama tentang ajaran Islam dengan format dan pola penulisan pra-modern. Namun, dalam artikel ini yang dimaksud dengan kitab kuning adalah tidak seluas itu, walakin disempitkan hanya kepada kitab kuning yang sering dipakai oleh kalangan ulama pesantren tradisional, dengan basis pesantren, dalam penyampaian ajaran agama kepada umat.

Secara umum paling tidak terdapat empat tipe penempatan posisi perempuan oleh kitab kuning. Keempat tipe penempatan tersebut ialah: melebur dalam lelaki, separuh harga lelaki, sejajar dengan lelaki, dan lebih tinggi dari lelaki.

[1] Melebur dengan Lelaki

Dalam kitab kuning, ternyata sangat ketara perbedaan antara perempuan (muannas) dan lelaki (mudzakkar). Salah satunya adalah, jika para lelaki pada dasarnya cukup menutup bagian tubuhnya (‘aurat) antara pusat dan lutut, perempuan sebaliknya menutup seluruh badannya. Atau ketika lelaki sholat pada waktu sholat jahr, maka menyuarakan dengan jahr, berbeda jika hal itu perempuan mereka akan tetap dengan suara lirih.

Perbedaan paling menyolok terletak pada aspek bahasa Arab yang digunakan dalam penulisan Kitab Kuning. Pada dasarnya Bahasa Arab melek kelamin, dengan membedakan antara lelaki dan perempuan. Namun, yang paling unik adalah klaim adanya dasar kesukuan kata (kalimat) itu ternyata lebih kepada unsur muzakkar daripada unsur muannas, jadi untuk mengatakan muannas itu perlu pembuktian bahwa sebuah kata itu muannas.

Contoh adalah kata “an-Nass” dalam dimensi arti ini mengandung arti perempuan dan lelaki, tetapi dalam dimensi hukum lafadhnya adalah mudzakar, walau dalam artinya mempunyai unsur perempuan. Superioritas itu memuncak apabila kita lihat dalam penulisan lafadz Allah, ar-Rahman, ar-Rahim, al-Qohhar, dan sebagainya, atau lafadz malaikat secara eksistansi lafadnya itu selalu menunjukkan mudzakar. Serta nama Nabi-Nabi Allah itu juga menunjukkan lelaki, kecuali kalau Umat Islam berani mengatakan Miryam, Masyithoh, Asiah, Maryam, Khadijah, Aisyah, dan Hafshah sebagai seorang Nabi.

[2] Separuh Harga Lelaki

Kitab kuning, dalam tata kehidupan sosial, menempatkan perempuan sebagai makhluk yang separuh harga lelaki. Misalnya dalam hal menyembelih hewan ‘aqiqah, anak lelaki  minimal 2 ekor kambing, perempuan 1 ekor kambing. Dalam hal diyat ganti rugi pembunuhan, nyawa seorang lelaki diganti dengan 100 ekor unta, sedangkan nyawa orang perempuan diganti dengan 50 ekor unta. Dalam hal persaksian, persaksian 2 orang perempuan sama dengan persaksian 1 orang lelaki. Dalam hal pembahagian waris, 2 orang anak perempuan sama dengan bahagian satu anak lelaki. Dalam hal menikah, lelaki merdeka boleh menikahi empat orang perempuan dengan syarat yang ketat, sementara perempuan mutlak hanya satu suami sahaja.

Karena harganya yang separuh, maka jangan disalahkan kalau selanjutnya dalam kitab kuning serba lelaki sebagai pemimpin, perempuan tidak boleh jadi Imam sholat, atau menjadi pemimpin politik. Hal inilah yang menunjukkan bahwa sebenarnya perempuan kelak akan hanya sebagai perempuan dalam negeri tetapi tidak dapat berkiprah secara internasional. Dalam istilah kita di luar rumah, fiqh berupaya ketat membatasi perempuan untuk keluar ke luar rumah. Kitab kuning pun mendukung anggapan bahwa perempuan adalah makhluk domestik dengan memandang rendahnya perempuan yang berkeliaran di luar rumah (bekerja), bahkan hal tersebut sampai merembet kepada konsep sholat di luar rumah, yaitu sholat di masjid.

[3] Sejajar dengan Lelaki

Dalam kitab kuning keadaaan sejajar antara lelaki dengan perempuan juga dapat kita jumpai, misalnya dalam ungkapan kedua makhluk itu dari kaca mata spritualis ketuhanan. Pendapat ini akan sangat mengemuka ketika kita menafsiri ayat al-Qur’an atau melihat tafsir al-Qur’an surat al-Hujurat ayat 13, “..di antara kalian yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling takwa”. Atau surat an-Nahl ayat 97, “Siapapun yang beramal soleh, apakah ia laki-laki atau perempuan dan ia beriman, maka niscaya akan kami hidupkan ia dengan kehidupan yang sangat baik.”

Dimensi arti di dalam penjelasan ayat tersebut adalah tidak ada penekanan kalau lelaki itu lebih taqwa, akan tetapi standarnya adalah ketakwaan. Baik lelaki mahupun perempuan mempunyai kesempatan yang sama. Terlihat kesejajaran dalam konteks ini.

[4] Lebih Tinggi dari Lelaki

Pandangan ini muncul berdasarkan hadist Nabi Muhammad yang menjelaskan, “Ridha Allah tergantung pada ridha kedua orang tua.” Adapun orang tua yang harus dihormati terlebih dahulu oleh sang anak adalah ibunya baru setelah itu bapaknya.

Mendahulukan penghormatan kepada ibu ini berdasarkan hadist yang cukup terkenal di kalangan pesantren, “Pada suatu saat datang sahabat bertanya kepada Nabi Muhammad Saw., Siapakah yang paling berhak diberi penghormatan?. Nabi menjawab: Ibumu!. Kemudian?. Tanya sabahat, Ibumu. Kemudian? Tanya sahabat lagi. Ibumu. Kemudian? Tanya sahabat lagi. Bapakmu.”

Dari kaca mata ilmu biologi, terdapat 3 peranan yang hanya bisa dilakukan oleh Ibu tanpa bisa dilakukan oleh Bapak, yaitu: mengandung, melahirkan, dan menyusui. Meskipun dengan cara pandang yang sama terdapat satu hal yang hanya bisa dilakukan oleh Bapak tanpa dapat dilakukan oleh Ibu, yaitu menghamili.

Terdapat hadist lain juga yang dikutip oleh kitab kuning dalam memberikan posisi terhormat kepada ibu, yaitu hadist yang cukup terkenal juga, “Surga berada di bawah telapak kaki ibu.” Hadist ini menegaskan bahwa betapa tingginya posisi dan derajat ibu yang harus dipandang oleh anak laki-laki maupun perempuan.

Penutup

Memang kalau kita memandang dari kaca mata daratan Eropa khususnya Prancis yang penuh dengan tuntutan kesamaan hak antara perempuan dan lelaki, kesan negatif akan timbul. Namun, kalau kita objektif (‘adil) melihatnya, maka kesan negatif itu akan sirna seketika karena kita diajarkan bagaimana kita memperlakukan teks itu.

Kenapa kitab kuning memperlakukan perempuan seperti itu? Tentu terdapat banyak faktor, antara lain;

1) ajaran al-Qur’an dan al-Hadist sendiri memang tidak punya pretensi untuk menyejajarkan perempuan dan lelaki, sekurang-kurangnya sebagaimana diobsesikan oleh penganjur “feminis jaman now”;

2) para penulis kitab kuning hampir semuanya lelaki, bias kelelakian pun menjadi sulit terhindarkan;

3) kitab kuning sendiri adalah produk budaya zamannya, zaman pertengahan Islam yang didominasi oleh cita rasa budaya Timur Tengah yang secara kekerabatan menganut kekerabatan Patrilineal, pro memokrasi bukan femokrasi.

Dari situ maka kita akan cermat membaca karya tulis dengan tidak langsung menyetigma sebagai warisan intelektual yang positif atau negatif secara mutlak. Kita perlu meresapi penulisnya, latar belakang penulisan, kecenderungan zaman ketika diterbitkan, dan alasan dibalik penerbitan. Itulah kira-kira model pembacaan dalam menilai suatu karya tulis, termasuk kitab kuning sebagai buku klasik yang berisikan uraian ulama tentang ajaran Islam dengan format dan pola penulisan pra-modern.

SUMBER: ARS, qureta.com., 3.2.2021

Translate »