Ketika Iwan Fals menyenandungkan lagu “Manusia Setengah Dewa”, senandung sosok manusia yang diharapkan (ideal) terlihat jelas pada bait terakhir. Harapan akan hadir sosok “manusia yang bermoral (adab), peraturan yang sehat, kesejahteraan dan kemakmuran, serta menjunjung tinggi keadilan dan objektivitas”.
Manusia seperti ini disebutkannya sebagai sosok “manusia setengah dewa”. Kata “dewa” yang dimaksud merupakan simbolisasi sosok yang memiliki karakter kebaikan, berkeadilan, bermoral (adab), dan memiliki hati nurani (jiwa) yang suci (ikhlas).
Bila logika di atas digunakan sebagai alas berfikir filosofis, maka ketika sosok yang hadir merupakan manusia berprilaku sebaliknya (tak bermoral, aturan dilanggar, ketidakadilan, zalim, tanpa adab dan adat, serta hukum yang tebang pilih), maka hadir sosok “manusia setengah hewan”.
Meski kalimat ini menyakitkan, tapi logika terbalik atas syair yang disenandungkan oleh Iwan Fals memang demikian adanya. Bait lagu yang enak disenandungkan tapi tak sadar sedang menikam sisi harga diri ketika manusia memilih berwatak hewan.
Andai alur logika syair lagu “Manusia Setengah Dewa” dihayati secara cermat, maka akan terlihat karakter ideal dan nilai manusia yang diharapkan, antara lain : Pertama, Kualitas jiwa (an-nafs). Dalam al-Quran kata jiwa (an-nafs) setidaknya disebut sebanyak 300 kali. Secara garis besar, jiwa membaginya pada 4 (empat) bentuk, yaitu : nafs al-lawwamah, nafs amarah, nafs muthmainnah, dan nafs al-mulhamah.
Setiap bentuk terbagi lagi atas beberapa jenis sifatnya. Untuk itu, bila dikaji secara substansial, pengulangan kata jiwa menunjukan urgensi jiwa dan agar manusia selalu ingat agar dikelola dengan baik. Bila tidak, maka jiwa akan bergerak liar tanpa terkendali.
Sungguh, Allah tidak membebani ruh dan unsur jasmani atas berbagai perintah-Nya. Sebab, Allah hanya memerintahkan jiwa untuk melaksanakan amanah-Nya dengan menjalankan syariat yang telah ditetapkan-Nya.
Meski pelaksana secara syariat adalah sisi jasmani, tapi substansi yang menggerakkannya adalah jiwa. Sebab, jiwa pada hakikatnya bagai sosok “pilot” yang akan menerbangkan pesawat. Bila pilot amanah, maka pesawat dan seluruh penumpang akan selamat sampai ketujuan. Namun, bila sebaliknya, maka seluruhnya akan binasa. Sebab, pilot pemegang kendali atas gerak pesawat.
Sungguh, Allah telah memberikan pada jiwa pilihan, yaitu jalan kefasikan dan ketaqwaan (lihat QS. asy-Syams : 8). Pilihan tersebut diperintahkan oleh jiwa dan dilaksanakan oleh raga (jasmani).
Kedua, Gerak raga (jasad) dan nilai jiwa (an-nafs). Syekh Mutawalli Sya’rawi mengatakan bahwa jasad merupakan pelaksana atas perintah jiwa. Jika mata berfungsi untuk melihat, lidah untuk merasa dan berbicara, tangan untuk memegang, kaki untuk melangkah, atau telinga untuk mendengar. Seluruh anggota tubuh bergerak dan berfungsi sesuai keinginan dan berusaha memberi kebahagiaan pada jiwa.
Namun, jasmani tak mampu menilai atas makna kesenangan. Sebab, hanya jiwa yang bisa menilainya. Bila jiwa memerintahkan pada kebaikan, maka jasmani akan melakukan kebaikan. Namun, bila jiwa mengarahkan pada pelanggaran, maka jasmani akan melakukan pelanggaran. Untuk itu, wujud aktivitas jasmani dan hati merupakan gambaran kualitas jiwa yang memerintah-kannya. Demikian sederhananya mendetek-si kualitas setiap diri. Meski demikian, manusia acapkali tak mau mengakuinya.
Ketiga, Harmonisasi jiwa dan raga untuk meraih cinta-Nya. Bagai harmonisasi seorang pilot, kru pesawat, teknisi AME, penumpang, dan pesawat. Ketika pilot memiliki keahlian, kru yang terampil, dan penumpang yang teratur, namun pesawat mengalami kerusakan parah, maka kecela-kaan tak bisa dielak. Atau sebaliknya, pesawat keluaran terbaru dengan kualitas mutakhir, namun bila pilot diserang penyakit jantung secara tiba-tiba, maka pesawat yang canggih akan jatuh dan hancur.
Demikian eksistensi jasmani dan jiwa. Jasmani tak bisa berfungsi secara baik tatkala jiwa mengalami kerusakan (sakit hati). Hal ini diingatkan oleh Rasulullah SAW : “Ingatlah, dalam tubuh manusia itu ada segumpal daging. Kalau segumpal daging itu baik, maka akan baiklah seluruh tubuhnya. Tetapi bila rusak, niscaya aka rusak pula seluruh tubuhnya. Segumpal daging itu bernama qalbu” (HR. Bukhari dan Muslim).
Qalbu pada hadis di atas bukan berarti hati (liver), tapi pada makna jiwa. Hanya pada jiwa yang senantiasa bersama Allah dan Rasul-Nya akan memerintahkan roh dan jasad berperi-laku dengan adab Rasulullah. Tapi, ketika jiwa yang diliputi gemuruh nafsu hewani, maka roh dan jasad akan berperilaku layaknya hewan.
Meski jiwa dalam keadaan sehat, namun jasmani mengalami gagal fungsinya, maka tak banyak yang bisa dilakukan. Hanya ketika jiwa, roh, hati, akal, dan seluruh panca indera berfungsi dan tunduk pada aturan-Nya, maka amanah yang diperintah-kan akan dapat dilaksanakan. Untuk itu, Syekh Abdul Qadir al-Jailani pernah berpesan: “Belajarlah diam agar suaramu lebih terdengar. Belajarlah sabar agar tindakanmu lebih benar”.
Pesan di atas mengisyaratkan agar diri menjaga mulut dari untaian kebohongan dan kemunafikan. Hadirkan jiwa yang suci agar senantiasa mengagungkan-Nya. Sebab, andai mulut dilepaskan, maka wujud kualitas jiwa yang sebenarnya. Andai mulut mampu dijaga, maka jiwa yang bertasybih akan didengar oleh Allah, bahkan menggetarkan seluruh penghuni langit dan bumi.
Sedangkan, melalui kesabaran, jasmani akan terkontrol untuk membalas kejahatan. Sebab, jiwa yang suci akan memerintahkan untuk sabar dan tidak melakukan pembalasan. Dengan demikian, akan terhindar pertikaian. Serahkan semua pada pengadilan Allah atas kezaliman yang dilakukan oleh manusia yang kufur atas aturan-Nya.
Sungguh, apa yang disenandungkan Iwan Fals bisa dimaknai harapan akan hadirnya sosok manusia berkarakter “dewa” yang rahmatan lil ‘aalamiin. Meski demikian, lirik yang dinukilkan bisa dimaknai sebagai bentuk kekecewaan atas ketidakhadiran “manusia setengah dewa” di tengah gagah-nya sosok “manusia setengah hewan” yang tak lagi terbendung.
Kegelisahan ini sesuai firman Allah : “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan-nya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mem-punyai telinga (tetapi) tidak dipergunakan-nya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai” (QS. al-A’raf : 179).
Imam al-Ghazali dalam Ihya ‘Ulumuddin menjelaskan bahwa kedudukan manusia akan seperti hewan tatkala dominasi nafsu (jiwa) binatang menguasai dirinya. Bila hal ini terjadi, maka manusia akan lebih hina dibanding hewan. Sebab, hewan tidak memiliki kemampuan untuk menimbang baik dan buruk.
Sementara pada manusia, dianugerahkan seluruh potensi untuk mengetahui baik dan buruk. Bila semua potensi tersebut tak digunakan, maka ia telah mengkufuri nikmat Allah SWT yang diberikan padanya. Padahal, Allah berulangkali (31 kali) mengingatkan manusia melalui QS. ar-Rahman: “Maka nikmat-nikmat Tuhan kalian yang manakah yang kalian (jin dan manusia) dustakan ?”.
Namun, sebagian manusia acapkali tak mau peduli. Padahal, tanpa disadari, ia telah berubah menjadi “manusia setengah hewan”. Hal ini terjadi tatkala manusia tak mau menghadir-kan jiwanya untuk membuka hati, telinga, mata dan akalnya untuk melihat petunjuk dan hidayah yang ada dalam diri, al-Quran, hadis, dan alam semesta.
Bahkan, secara sadar ia telah mengabaikan perangkat potensi yang diberikan-Nya. Semua seakan tak berfungsi dan terbelenggu oleh kepentingan dan “kerakusan” dunia yang menggunung. Akibatnya, manusia menjadi lalai dan tak mau memikirkan, merenungkan, dan menyadari kesesatan yang dilakukan.
Akibatnya, tak ada lagi adab ta’lim wa muta’allim, tak ada ingatan pertanggungjawaban di akhir kehidupan, dan tak ada waktu lagi bercermin andai hal yang sama akan terjadi pada diri. Semua hancur oleh keserakahan atas keleluasaan berbuat zalim dan takut berkompetisi secara sehat.
Bak seekor hewan buas yang terbiasa makan enak dan kenyang, maka jiwanya akan mendorong untuk menguasai semua yang ada. Ia tak peduli jika harus saling memangsa (brutal). Semua dilakukan agar “makanan” yang diinginkan dapat nikmati dan dikuasai.
Untuk mencapai apa yang diinginkan, semua cara akan dilakukan. Tak lagi peduli halal atau haram, baik atau buruk, benar atau salah, adil atau zalim, dan beradab atau biadab. Semua dilakukan agar yang diinginkan tercapai.
Manusia seperti ini memiliki kebiasaan menilai keburukan orang lain seperti cerminan dirinya. Akibatnya, senantiasa hadir kecurigaan pada semua orang yang dinilainya akan berbuat sebagaimana yang dilakukannya. Sifat curiga dan serakah ini ditampilkan dalam kisah fabel “Anjing Yang Rakus” bernama Dogu.
Meski kisah pengantar tidur ini telah ditanamkan sejak kecil, namun anehnya setelah dewasa (bahkan tua), justeru segelintir manusia memperaktekan prilaku Dogu yang rakus dalam kehidupannya. Sungguh, dunia dan isinya tak pernah berubah. Semua berjalan sesuai sunnatullah. Hanya saja, manusia yang selalu berubah dengan melanggar aturan yang telah ditetapkan-Nya.
Dalam realita, perubahan karakter manusia acapkali terjadi tatkala belum jadi “siapa-siapa” akan berubah setelah jadi “siapa dan apa” (status, kuasa, atau harta). Teman berubah menjadi lawan, iman berubah menjadi kufur, tawadhu’ berubah menjadi angkuh, murid berubah menjadi durhaka, jujur berubah menjadi khianat, adil berubah menjadi zalim, menghargai berubah menjadi saling menghabisi, baik berubah menjadi buruk, qona’ah berubah menjadi serakah, dan varian perubahan lainnya.
Di sini terlihat nyata telah bergeser harapan dari sosok “manusia setengah dewa” menjadi tampilan realita sosok “manusia setengah hewan”. Tampilan ini akan semakin menggurita dan sulit diper-baiki. Apatahlagi bila ditopang komunitas berkarakter yang sama. Celakanya bila kondisi ini dianggap sesuatu yang wajar dan menjadi tradisi yang seakan telah “dipatenkan”. Akibatnya, terjadi pembiaran atau upaya untuk menutupi kezaliman dan kesalahan secara terencana.
Kondisi ini berhulu pada hadirnya penilaian kesalahan pada pemilik kebenaran dan berhilir sikap menilai diri seakan paling benar atau suci padahal salah. Padahal, pada waktu bersamaan ia melupakan bahwa tersisa daki dan najis pada diri yang menggumpal dan berkarat. Untuk itu, Allah mengingat-kan melalui firman-Nya : “Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan orang yang melakukan kezaliman, Allah tidak akan mengampuni mereka, dan tidak akan menunjukkan kepada mereka jalan (yang lurus)” (QS. an-Nisa’ : 168).
Menurur tafsir Ibnu Katsir, ayat di atas menjelaskan bahwa orang-orang kafir yang menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah dan risalah Rasulullah, sungguh benar-benar telah sesat sejauh-jauhnya.
Menurut penulis, bila ditelaah secara ilmu mantiq, makna kata “orang-orang kafir (kufur)” dapat dipahami pada makna kafir (tak beriman) dan kufur (beriman tapi ingkar). Tipikal pertama jelas status kekafirannya. Tapi, tipikal kedua beriman secara syariat, namun ingkar pada hakikat-nya. Sebab, jiwanya telah terbelenggu oleh kejahilan. Jiwanya telah memerintahkan jasmani, akal, hati, dan ruh untuk melakukan kezaliman dan kemunafikan.
Andai makna ini dijadikan cermin diri, maka seyogyanya manusia yang beriman, tapi melakukan kesalahan dan kekufuran, seyogyanya malu dan sedih atas nilai keimanannya. Pilihan selalu ada pada setiap diri, apakah segera menyadari kesalahan dan taubat an-nasuha atas kejahilan dan kekufuran yang dilakukan.
Atau, melanggengkan semua kesalahan, kesombongan, iri dengki, fitnah, kemunafikan, kebiadaban, memutarbalikan kata dan fakta, kebohongan, dan varian kezaliman lain sepuasnya. Mungkin, ada manusia yang senang bila jiwanya rusak (sakit). Sebab, totalitas jasmaninya bebas melaku-kan berbagai kesalahan tanpa peduli bila menjadi “manusia setengah hewan”. Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.***
Oleh: Prof Samsul Nizar (Guru Besar STAIN Bengkalis)
Recent Comments